Jadi ceritanya saya sangat suntuk minggu kemarin dan memutuskan untuk ke kantor Transparency International Indonesia. Rencananyanya sih mau ketemu Mbak Soraya buat ngobrol tentang SDM di kantor itu, eh gataunya ketemu Mbak Lila sama Mas Wawan di perpus. Jadilah diskusi berjam-jam dimulai. Sebenernya banyak banget topik diskusi yang mengalir. Random banget, dari satu topik ke topik yang lain. Tapi disini saya mau nulis satu topik tentang gender.
Saya memang lahir di Jakarta, tapi cuma numpang lahir doang, dan malah besar di Bekasi. Tempat saya tinggal termasuk yang pinggiran, masih sangat desa dan memang perbatasan antara Bekasi dan Bogor. Karena kulturnya yang masih desa, maka pendidikan di tempat saya bukanlah sesuatu yang penting. Banyak banget temen perempuan saya yang cuma bersekolah sampai SD atau paling mentok SMA, lalu setelah itu kerja di pabrik atau dipinang orang.
Pendidikan masih menjadi sesuatu yang mewah di tempat saya tinggal. Dan anggapan masyarakat disana adalah "ngapain capek-capek dan tinggi-tinggi sekolah kalau toh perempuan pada akhirnya turun ke dapur juga". Geez, jujur kalau denger kalimat itu, hati saya seperti disilet-silet. Perempuan sekarang masih saja disamakan dengan masa sebelum Kartini ada, yaitu diremehkan dan hanya diharapkan sebagai pelayan di rumah. Perempuan sekarang seperti tidak ada untungnya sekolah tinggi-tinggi.
Belum lagi siklus buruh di pabrik-pabrik itu yang merekrut perempuan jauh lebih banyak daripada laki-laki. Kenapa begitu? Karena perempuan yang labelnya bukan "pemimpin keluarga" jadi bisa dengan seenaknya diputus kerja setelah tiga bulan. Istilahnya hanya jadi karyawan sementara dan tidak diangkat jadi karyawan tetap. Jadilah banyak teman-teman perempuan saya hobi berganti-ganti pabrik tempat mereka kerja. Jarang ada yang menetap di satu pabrik saja.
Mbak Lila menambahkan, kalau di daerah dia tinggal, yaitu Cileungsi, ada lagi yang bilang "udahlah abis sekolah musti kerja, jadi tulang punggung keluarga, nanti kalo kamu kerja dengan keras bakal ada cowok sempurna yang mau nikahin kamu". Ya tuhaaaan, hanya sampai disitu kah perempuan diberdayakan? Hanya sampai menjadi tulang punggung keluarga lalu disuruh menikah? Dan setelah menikah hanya berfungsi sebagai "pelayan" untuk suami-nya? Geez...
Salah satu perempuan hebat di sekitar saya - Alanda Kariza |
Salah satu perempuan hebat di sekitar saya - Niesrina Nadhifah |
Salah satu perempuan hebat di sekitar saya - Retha Dungga |
Saya rasa, ini jadi tantangan buat kita, para perempuan. Kalo kita bosen dipandang sebelah mata, yuk kita tunjukin bahwa kita juga bisa setara dengan laki-laki. Eits, setara bukan berarti disamakan. Maksudnya, kita punya kesempatan yang sama besar dengan laki-laki. Belajarlah skill leadership, olah emosi dengan baik, jadilah multitalenta (apalagi kita udah dianugerahi dengan otak yang dapat memikirkan banyak hal dalam satu waktu), jadilah perempuan yang kuat dan bisa dipercaya. Kita putus siklus tadi, kita buktikan bahwa perempuan juga bisa hebat.
Saya setuju dengan mbak.
BalasHapus"Kesadaran Palsu" itu memang tidak mudah dihilangkan, apalagi telah mendarah daging dan menjadi produk budaya.
Tapi yang disayangkan, terkadang perempuan pun "nyaman" dengan proses pemanjaan yang ia terima. Terlalu lama dimanja, maka lemah lah ia.
nah makanya ayo perempuan, yuk bangkit dari kesadaran palsu :)
BalasHapus