Ini tentang nilai. Ya, nilai, angka, score, atau apapun kau menyebutnya. Sesuatu yang hanya tertera diatas kertas ujian mu dan dibanggakan dalam buku yang bernama raport.
Sudah tentu, topik ini sangat merakyat di kalangan siswa. Nilai menjadi momok bagi mereka yang mengenyam bangku pendidikan. Seberapa pintar kamu hanya diukur berdasarkan angka tersebut. Mengutip kalimat Ibu Setia dalam Sketsa Robot "Mutu itu abstrak, sedangkan jumlah piala bisa dihitung". Weks, menurut saya kalimat ini sangat realistis namun juga sangat miris. Bagaimana tidak, sesuatu yang bersifat kualitatif, dipaksakan untuk diukur berdasarkan kuantitatif. Ibarat peneliti tak punya otak, yang ingin menjadikan indikator perubahan warna sebagai metode kuantitatifnya. Oalaah, dua metode yang pastinya tidak bisa disamakan, sekaligus tidak bisa dipisah. Harus diletakkan berdampingan, bersisian.
Sejak SMP bahkan SD, siswa siswi di Indonesia dihadapkan pada persoalan nilai ini. Orangtua pun mulai berkicau ramai tentang bagaimana anaknya harus hebat, menjuarai segala kompetisi, juga berapa jumlah foto si anak dengan menteri. Lihat si siswa, depresi juga kelelahan menghadapi semua beban yang seperti ditudingkan ke depan mukanya. Alhasil, jalan samping juga belakang pun ditempuh. Entah itu yang melibatkan orangtua, ataupun yang diam-diam. Mulai dari nyontek massal, membeli jawaban ujian, sampai menyogok guru. Kasus kecurangan UAN sudah tidak heboh lagi. Ya karena, masyarakat menganggap itu wajar. Penulis sendiri juga tak pernah bangga dengan nilai UAN SMA, ya karena tidak mendapatkannya dengan murni. Buat apa dibanggakan. Saya sendiri percaya dengan kualitas otak saya tanpa melirik nilai itu. Ya, walaupun dulu saya mengikuti saja untuk melihat contekan, haha #pengakuan
Inilah potret bangsa.

Membaca buku itu, saya jadi bersyukur masih kuliah di Indonesia. Namun, setidaknya terbuka mata saya untuk tidak membanding-bandingkan secara ekstrim anatar negara kelahiran saya dengan negara berlabel maju. Toh, ternyata masalahnya juga serupa, walau mungkin tidak sama persis. Hemm, adakah yang salah dengan sistem dunia ini?
Sebenarnya apa sih hakikat sekolah? Untuk apa saya capek-capek menempuh pendidikan dari SD hingga 3 tahun kuliah gini? Apalah arti raport-raport gemilang saya? Apakah itu mengantarkan saya kepada pekerjaan yang saya cintai? Ini seperti siklus kapitalis. Kita harus sekolah dengan rajin, agar dapat nilai bagus, lalu dapat beasiswa dimana-mana, dan mendapatkan universitas unggulan sampai yang beasiswa di luar negeri, saat kuliah dapatkanlah IP 4,0 tiap semester, lalu lulus dengan gelar cum laude dan skripsinya dilabel "Skripsi Terbaik Abad Ini" oleh seluruh civitas kampus, setelah itu mendapat pekerjaan bergaji miliaran dollar dan kita akan hidup bahagia sentosa.
Well, apakah hanya segitu? apa kabar keahlian saya? apakah tidak ada yang peduli pada minat saya? Thank to Anes Baswedan yang mencetuskan "High GPA only brings you to job interview", setelahnya ya Leadership and Teamwork skill kita yang berbicara, juga beberapa specific skill lainnya.
Jujur saja, menurut saya, angka itu tidak penting. Mungkin memang perlu mengukur dengan angka, tapi jika sudah didewakan, wah arogansi yang salah, menurut saya. Yang terpenting adalah pengetahuan, ilmu. Ya, karena itulah yang membuka pintu kita kemana saja. Mau masa depan gemilang? Kuasailah berbagai ilmu! bukannya mengoleksi sertifiat dan raport gemilang. Selamat belajar pemuda Indonesia!
0 respon:
Posting Komentar
Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?