Gambar dari : https://pinterest.com/pin/225954106274944679/ |
Rasanya lama sekali menunggu akhir
minggu, mungkin itulah yang sedang dipikirkan oleh anak-anak dari setengah
kelas Kimia Fisika ini. Namun, seorang Taluni Karmika tentu tidak mengharapkan
adanya akhir minggu sama sekali. Jika akhir minggu datang, maka siapa lagi yang
ia jadikan semangat untuk bangun pagi setiap hari? Belakangan ini, efek kopi
paginya kalah dengan semangat bertemu Nagendra Bimantara di kampus.
Nagendra bukan tipe cowok populer yang
hobi main basket. Di kampus, ia hanya the
ordinary boy, mahasiswa semester lima dari jurusan Kimia yang mana
kebanyakan dari cowok di jurusan ini, bukan jadi favorit anak-anak satu kampus
untuk dikagumi. Nagendra memang hanya mahasiswa biasa, sebelum Taluni
melihatnya dengan persepsi yang berbeda di awal semester ganjil ini.
Taluni dan Nagendra sudah satu kelas
sejak awal kuliah. Pertama memang tak ada apa-apa diantara mereka berdua, hanya
kebetulan satu jurusan. Namun sampai pada kejadian Nagendra terus-terusan
menggodanya dengan alat-alat percobaan di laboratorium, Taluni tak dapat
mengenyahkan bayangan wajah Nagendra sesudahnya. Kebetulan pula meja lab mereka
bersebelahan. Ya, sekali lagi, hanya kebetulan.
Kebetulan yang indah, pikir Taluni
dengan muka memerah. Pasalnya, wajah Nagendra terus-terusan muncul di pikirannya
setelah lewat kejadian tersebut berhari-hari. Biasanya tak seperti ini. Mata
jahil Nagendra yang selalu muncul saat mengusili Taluni, senyum lebarnya yang
selalu disusul dengan tawa terkekeh-kekeh, sampai kulit hitam manis Nagendra
yang membuat ia semakin lincah di mata Taluni.
Hari itu, perkuliahan terakhir di hari
Jum’at. Kimia Fisika. Nama kelas dan konten kuliah yang sangat berat itu
ternyata tak mampu mematahkan semangat Taluni untuk tetap ceria. Tentu saja
karena ada Nagendra di dalamnya. Laki-laki pujaan hatinya itu kini memakai kaos
berkerah warna biru langit, jeans, dan sepatu kets berwarna hitam. Biasa sekali
memang, tapi di mata Taluni, Nagendra terlihat sedang memakai jubah istana
saking tampannya.
Siska, Dira, dan Mili sengaja menjauh
dari Taluni yang sedang duduk di pojokan kelas sambil membuka buku diktat Kimia
Fisika yang tebalnya mirip bantal. Di sebelahnya, duduk Nagendra yang sedang
sibuk bermain game di ponselnya. Tiga teman akrab Taluni saling bisik-bisik
sambil tersenyum mengerling dua orang yang sedang kikuk itu. Taluni mati-matian
berusaha agar wajahnya tetap biasa.
“Rajin amat sih, Ni baca diktat.
Dosennya aja belum tentu dateng,” timpal Nagendra akhirnya berbicara memecah
kebisuan di antara mereka. Pipi Taluni memerah saking kagetnya ia diajak
ngomong tiba-tiba.
“Abisnya nggak ngerti yang bab keempat
ini. Fisika banget. Iya nggak sih?” kata Taluni sambil menunjuk halaman yang
lebih banyak grafiknya daripada kata-kata. Berusaha keras ia menahan jarinya agar
tak gemetar saat dilihat Nagendra.
“Gue nggak ngerti yang kayak gituan.
Kan ntar bisa diajarin sama lo. Oke mamen?” ucap Nagendra sambil mengangkat
tangannya untuk toss dengan Taluni.
Namun saking piasnya muka Taluni, ia hanya mengedikkan bahunya pelan.
“Ih apaan sih lo. Enak aja,” balas
Taluni sambil tertawa.
Sedetik kemudian, ia merasa menyesal. Untuk apa ia
bereaksi seperti itu. Bikin malu saja. Menyambut uluran tangan Nagendra untuk toss dan tertawa bareng tampaknya lebih
oke daripada reaksi yang baru saja ia berikan. Tampak menolak, kesannya.
Nagendra tampaknya tak menyadari
kegelisahan yang Taluni pikirkan, ia malah mengajak gadis berambut pendek
sekuping ini untuk mengobrol segala macam hal. Mulai dari keinginannya untuk
masuk angkatan udara yang ternyata tak lolos, kampung halamannya di Solo,
sampai mantan-mantan pacarnya. Selama percakapan berlangsung, jantung Taluni
berderap tak tahu malu. Saking kencangnya.
“Ah, nggak percaya gue lo punya
mantan! Cowok kayak lo, ada gitu yang suka?” tanya Taluni jahil. Ia hanya ingin
mengetahui reaksi Nagendra atas pertanyaan isengnya ini.
“Ada dong. Enak aja lo bilang gitu.
Kalo mau, sekarang gue juga bisa buktiin kalo ada yang lagi suka sama gue.
Berani?” tantang Nagendra. Matanya berkilat-kilat jahil ke arahku. Mengetahui
kemana arah pembicaraannya, Taluni terkesiap. Instingnya bicara.
“Eh jangan! Udah nggak usah, gue cuma
bercanda kok. Percaya deh, percayaaa,” kata Taluni dengan cepat. Takut jika ia
yang “ditembak” Nagendra pada saat yang belum ia antisipasi sebelumnya.
“Hahaha, takut kan lo! Gue tahu kok
ka...”
“Dosennya nggak ada! Bubar, bubar!” teriak
salah satu temanku memasuki kelas sambil keluar lagi dengan tasnya. Otomatis
seisi kelas bersorak dan membereskan buku masing-masing. Nagendra yang belum
menyelesaikan kalimatnya pun diseret oleh temannya keluar kelas. Janjian
futsal, dengar Taluni sayup-sayup.
“Ketemu Senin ya Taluni!” ucap
Nagendra dengan riangnya. Taluni yang hanya bisa mematung membalas perkataan
Nagendra dengan pelan.
Setelah dua per tiga kelas sudah keluar, Taluni
membereskan bukunya dan menyadari bahwa bab keempat Kimia Fisika yang tadi
ditunjuknya bahkan sudah habis dibahas dan dijadikan bahan ulangan tengah semester.
Ah, bodoh sekali, bikin malu saja, batin Taluni sambil membersekan tasnya dan
meninggalkan kelas.
-- hit me on @dinikopi
ini cerita bersambung ato beres di tempat din hehehehe....
BalasHapusaku justru belajar banyak dari tulisan ini. masih perlu banyak baca aku mah ehehhehe kamu juga din.. banyakin baca toh ntar deretan kalimat sama gambaran adegan bakal ngalir begitu aja karena terbiasa haahha percaya deh
Beres di tempat, Yu.
BalasHapusAku masih lemah di ending nih. Masih harus eksplor penyelesaian masalah gimana. Aaakkk ayuuu *tarik tarik baju Ayu*
kalo kata dina penggamabaran latar sama adegannya belom detil banget gitu kaa. jadi kayak cepet banget jalan ceritanya
BalasHapus