Gambar dari : https://pinterest.com/pin/25262447879830516/ |
“Kamu susah banget sih ditelpon?” Pacarku yang berada di
ujung telpon malah tertawa jahil.
Aku mengumpat pelan.
“Kenapa sih, sayang? Tadi sinyalnya parah banget di lapangan. Makanya nggak bisa ditelpon. Daripada boros baterai, kumatikan
saja sekalian,” ucap Nata bersungguh-sungguh. Rajukanku berlanjut. Pasalnya, hari ini hatiku sedang tak karuan.
Pertama, jam sebelas malam aku baru saja pulang dari kantor ditemani dengan ucapan
supervisorku yang meminta agar datang jam tujuh pagi keesokan harinya. Tampaknya klien baru di kantor memang sedang
rewel.
Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa
ini adalah malam kedua memimpikan mantan pacarku. Adegannya aneh. Seperti mengasosiasikan ia berusaha
mendapatkanku kembali. Namanya Aksa Legawa. Pria ini memang sangat obsesif pada apapun yang
menjadi keinginannya. Aku tahu betul itu karena sudah empat tahun bersamanya.
Tapi itu sudah berlalu setahun silam. Semuanya
baik-baik saja sampai aku berulang kali memimpikannya belakangan ini. Adegan
Aksa merebut pegangan tanganku dari pagar dermaga, juga
dimana ia memelukku erat-erat seakan takut kehilangan. Dan aku diam saja.
Membiarkan semua terjadi, padahal di mimpi itu, aku menyadari sudah ada Nata.
Kalau terus menerus memimpikan seseorang, artinya ia sedang merindukan
kita. Begitu yang pernah ku ketahui. Aksa merindukanku? Duh, itu adalah fakta
terakhir yang ingin aku ketahui.
Supaya bebas mimpi buruk, aku membeli kalung berbentuk dreamcatcher yang kupasangkan pada tiang tempat tidur. Semoga manjur. Andai saja dreamcatcher juga berfungsi menentramkan hati, maka Nata sudah
bebas dari rajukanku malam ini. Pria yang kucintai selama tiga bulan terakhir,
sungguh sabar. Padahal besok pagi ia harus berangkat ke luar kota untuk urusan
pekerjaan.
Berulang kali Nata membujukku agar tenang. Mulai dari bercanda sampai
berjanji akan datang secepatnya setelah semua selesai. Karena mengantuk, aku
segera setuju. Semakin lama, mataku semakin berat. Nata pun sudah mendengkur di
seberang sana. Angin sepoi-sepoi dari kipas yang berada di langit-langit kamar mengantarkan
tubuh lelah ini pada ketidaksadaran.
***
Tok tok tok.
Badanku tersentak mendengar ketukan di pintu kontrakanku. Siapa yang datang
sepagi ini? pikirku sambil melirik jam di dinding kamar. Jam enam? Astaga cepat
sekali. Teringat kalimat supervisorku tentang meeting pukul tujuh. Rasanya badan
ini masih menempel erat pada kasur.
Tok tok tok. Bukan mimpi ya? Gerutuku
tak senang.
Tok tok tok. Duh, gigih amat sih!
Seharusnya kalau tidak ada yang membukakan pintu, pergi saja. Aku
bersungut-sungut dalam hati. Sambil refleks meraih ponsel, aku berjalan gontai
melihat tamu tak tahu diri ini.
Deg.
Sedetik kemudian, jantungku berdebar dua kali lebih cepat daripada
biasanya. Bahkan lebih cepat daripada selepas menegak kopi.
Aksa?
“Ragini! Aku rindu sekali,” ucap Aksa riang. Ia makin tampan dengan bekas
cukuran yang membayang di dagunya.
“Kamu... tahu darimana aku disini?” Kataku setengah menggantung.
“Dari foursquare,” jawabnya. Aku
merutuki kebiasaan check in yang
akut.
“Aku bawa sarapan nih. Gado-gado kesukaanmu. Nggak pakai daun singkong dan ekstra
kuah.” Aksa menunjukkan plastik yang digenggamnya. Aku masih melongo sambil
mengerjap-ngerjapkan mata.
“Temani aku sarapan sekalian ya,” kata Aksa sambil menerobos masuk. Badannya
refeleks kutahan, dan mendorong keluar dengan pelan.
“Aku nggak mempersilahkan kamu masuk tadi.” Wajahku mulai menegang. Aku
baru sadar tadi malam aku memimpikan pria yang sama. Tampaknya kalung berbentuk
dreamcatcher saja tak cukup.
Aksa terlihat kaget melihat reaksiku. “Maaf Aksa, lebih baik kamu cari
orang lain. Kekasih barumu mungkin?” Lelaki itu terkesiap. Sebelum ia berbuat
lebih banyak, aku menutup pintu. Kunci rangkap.
Ringtone yang familiar, bergema
dari ponsel di tanganku.
Deariest Nata
“Halo sayang,” ucapku kepada sang penyelamat pagi ini.
-- hit me on @dinikopi
0 respon:
Posting Komentar
Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?