Jumat, 01 April 2011

Bias Kriteria

4 comments    
categories: 
You got every right to a beautiful life

Hari ini, saya kembali mengajar kimia untuk anak kelas 2 SMA di SMA 8 Jakarta. Menurut rumor yang beredar, SMA 8 Jakarta, adalah sekolah paling top se-ibukota. Kalau boleh saya menambahkan dan mempertegas, karena Jakarta adalah pusatnya Indonesia, maka (secara selewat pikiran) boleh dong saya bilang bahwa SMA 8 adalah sekolah paling diidam-idamkan satu Indonesia?

Nah, entah karena labelnya yang merupakan sekolah paling top atau apa, saya perhatikan, kurikulum di SMA 8 itu LUAR BIASA bikin mumet. Oke lah, saya memang bukan orang pendidikan yang paham bagaimana cara menyusun kurikulum. Namun, dari mata saya yang merupakan orang awam, kurikulum mereka sangat gemuk. SMA 8 mengambil kurikulum asing, spesifiknya adalah dari Cambridge. Saya sempat terkaget-kaget melihat fakta bahwa murid yang saya ajar ini telah mempelajari mekanisme reaksi kimia organik. Well, dalam pengalaman hidup saya, itu hanya diajari dalam perkuliahan saya. Dan setau saya, adik saya yang duduk di SMA kelas 2 pun belum belajar mekanisme reaksi

Sepengamatan saya, kok sekolah-seolah negeri yang punya label atau reputasi top, mengunggulkan kurikulum yang susah. Mugkin kalau mau dibuat hubungannya secara sekilas jadi begini : makin susah kurikulum di suatu sekolah, makin tinggi lah reputasinya.


Ckckck, saya jadi miris. Bukan apa-apa, masa-masa SMA adalah masa pengembangan diri. Masa trial and error, masa mengumpulkan pengalaman. Nah, kala masa SMA hanya dihabiskan untuk belajar, karena gak mungkin dong pelajarannya ditinggal. Wong, tekanan pendidikan makin keras datang dari berbagai arah. Nilai minimum untuk pelajaran semakin naik, seiring meningkatnya kesulitan soal yang diberikan guru. Wow, saya bersyukur SMA saya gak sekejam itu.

Hemmm, kalau mau ditarik lebih panjang lagi, bisa dong saya bilang kalo tekanan pendidikan yang keras, ngebuat waktu anak semakin sedikit untuk mengurusi hal-hal diluar sekolah dan diri mereka sendiri. Imbasnya, gak heran pemuda sekarang makin apatis. Punya waktu untuk tidur saja, alhamdulillah.

Waaaaah, gawat ini. Bahan bakar dari suatu bangsa yang paling potensial adalah anak muda-nya. Heemmm, sepertinya saya dan teman-teman akivis yang lain, perlu merumuskan cara bagaimana pemuda "sibuk sekolah" ini agar dapat ikut mengembangkan potensialnya untuk membantu Indonesia, tanpa meninggalkan sekolahnya. Berarti untuk sekarang, solusi belum disintesiskan. Ada ide?

4 komentar:

  1. Terdengar seperti curhatan college life penulis secara colong-colongan.. :)

    BalasHapus
  2. jiahahaa, hemm, at least my college life is mooreee moooreee easier than my sudent above :P

    at least, i still have my spare time, my own me-time :P

    BalasHapus
  3. Tapi iya kaan? Ngaku, ngaku! :D

    BalasHapus
  4. hahaaa, selain masalah salah jurusan, semua sih masih baik baik aja, wakakakaaa

    BalasHapus

Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?