Gambar dari : http://pinterest.com/pin/235664992971138383/ |
Udara subuh yang dingin menelungkupi kulitku senti demi
senti.
Masih jam empat dini hari namun aku sudah terjaga, seperti
biasa tak mampu lagi terpejam. Enam Oktober 2012, aku tersenyum sambil melirik
kalender lipat di sebelah tempat tidurku. Rasanya begitu cepat sekali berlalu.
Seraya menapakkan kaki ke ubin yang dingin, aku berjalan
lamat-lamat menuju kamar mandi untuk membasuh muka. Sekelebat ingatan tahun
demi tahun yang ku lewati terhampar jelas dalam pandangan visual.
Waktu aku kecil dulu, teknologi foto belum ada. Terang saja
tak ditemukan fotoku sedang meniup kue ulang tahun pada umur satu tahun.
Boro-boro kue ulang tahun, masih bisa makan sehari dua kali saja sudah cukup.
Aku tersenyum membayangkan betapa beruntungnya anak-anakku yang sanggup
mengecap teknologi. Naka, Bayu, dan Sitta memang lebih beruntung daripada
ibunya ini, pikirku sambil membersihkan butiran air yang menyapu kulitku yang kini
mengeriput.
Pada masa remajaku, tentu saja samar-samar ku ingat aroma singkong yang diparut serta riuhnya
suasana rumah saat aku menginjak usia enam belas tahun. Ibuku tak sempat
mengucapkan apa-apa, karena memang ulang tahun pada masa itu tidak terlalu
penting. Aku yang beranjak dewasa pun segera dinikahkan dua minggu setelah 6
Oktober tersebut.
Bisa ditebak tahun-tahun berikutnya makin keras bagi aku dan
keluarga kecil yang kami bina. Namun, sejak memiliki pasangan, rasanya hidupku
lengkap sudah. Kami saling mendukung, mengingatkan, dan membuat kejutan satu
sama lain tiap tahunnya. Begitu seterusnya sampai Naka, Bayu, dan Sitta lahir.
Ah, masa-masa indah itu memang seperti kilatan api yang
melintas. Cepat sekali berlalu. Rasanya baru kemarin aku menggendong Sitta dan
menikmati tangisan pertamanya tepat di hari ulang tahunku juga. Dan tahun-tahun
berikutnya yang diisi pembaktianku secara total bagi keluarga.
Aku kembali ke dapur untuk memasak sesuatu di hari ini.
Walaupun tidak ada jaminan ketiga anakku akan datang, tapi toh memasak untuk
diri sendiri, apa salahnya. Sepeninggalan suami, aku memang memilih untuk
tinggal sendiri di rumah yang pertama kami bangun. Melepas satu per satu anakku
untuk membina keluarga mereka sendiri.
Apakah ada salah satu dari mereka yang mengingat ulang
tahunku hari ini? Ah, seperti anak muda saja, tepisku sambil tersenyum geli.
Masih bisa berjalan tegak dan mendengar suara cucu saja merupakan sebuah
anugerah dan kedamaian tersendiri untukku. Tak perlu ada tambahan perayaan
ulang tahun untuk seorang diri yang tua renta ini.
Seraya memotongi daun bawang, pikiranku kembali melana ke
tahun-tahun yang berhasil ku lewati untuk memperjuangkan hidup layak. Melihat
dari sisi sekarang, aku tersenyum damai menyaksikan apa-apa yang aku tanamkan
kini berbuah manis.
Ah, betapa tak ada yang mengalahkan indahnya memiliki keluarga.
Kring kring... kring
kring... kring kring.
Deringan telepon rumah yang ada di ruang keluarga
mngejutkanku. Siapa yang menghubungi nenek-nenek tua di dini hari seperti ini.
Aku berjalan lambat meraih gagang telepon.
“Ibu, selamat ulang tahun. Apa kabarnya ibu?” Aku terhenyak,
suara Naka yang khas membuat pelupukku tergenang air mata haru.
Ah, ternyata aku masih pantas untuk dikenang, rupanya.
---
Tulisan ini diikutsertakan untuk kompetisi Flash Fiction #KuisKBHaru @KlubBuku memperingati ulang tahunnya yang pertama, bekerja sama dengan @penerbitharu
-- hit me on @dinikopi
0 respon:
Posting Komentar
Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?