Sabtu, 06 Oktober 2012

Seseorang, Tolong!

3 comments    
categories: 
Gambar dari : http://pinterest.com/pin/269230883944622121/


“Dimana lo? Gue udah mau balik nih. Gue tunggu di kantor ya,” seorang gadis berambut panjang yang hari itu diikat gulung berseru pada seseorang di sambungan telepon.

“Iya, buruan makanya,” tegasnya lagi sambil menggerakkan tangannya pada mouse yang ada di genggamannya. Matanya tak terlepas sedikit pun dari layar komputer.

Namanya Carina Nebula. Nama yang cukup unik mengingat gadis tersebut memang langka jika dibandingkan dengan orang kebanyakan. Sehari-hari ia senang mengenakan aksesoris etnik dan sepatu boots tak peduli kemana pun ia melangkah dan sepanas apapun cuacanya. Sedikit hipster, tapi gadis ini ramah luar biasa.

Kecuali pada orang asing.

Sore itu, ia sudah berjanji untuk menemani rekan kerja proyek lalu sekaligus sahabat ngobrolnya, El, untuk menonton film Hollywood terbaru di samping kantor baru Carina. Sudah dua bulan gadis ini pindah kerja ke tempat yang lebih dekat dengan rumah kontrakannya. Dan kebetulan sekali kantor barunya itu bersebelahan dengan teater yang cukup besar.

Carina sangat menyukai film lebih dari apapun. Gaya etniknya ini tentu saja diadaptasi oleh berbagai film indie yang ia tonton.

Seraya mengetuk meja kantornya tak sabaran, ia kembali meraih ponselnya untuk memberi pesan kepada El. Namun tak lama kemudian, orang yang dicarinya ini muncul secara tiba-tiba dari pintu kantornya. Carina yang menempati meja paling depan, terlonjak kaget.

“Astaga, mbok ya pake ketok dulu kalo mau masuk,” ujarnya bersungut-sungut pada El yang hanya bisa meringis jahil. Segera setelah ia membereskan meja kerjanya, Carina pamit pada sebagian isi kantor yang belum pulang.

Selepas menutup pintu kantor, seorang satpam menyapa Carina yang dibalas hanya dengan senyuman canggung olehnya. El hanya melirik sesaat. Ia tahu benar ketakutan sahabatnya ini pada orang asing. Namun yang tak habis pikir, setakut itukah Carina pada orang asing?

“Gue masih takut dan curiga kalo disapa sama satpam disini, El. Walau udah kerja dua bulan, tetep aja berasa aneh. Ntar lama-lama ilang kali ya perasaan itu,” Carina berkata panjang lebar seakan mengetahui pertanyaan El. Yang diajak ngobrol hanya mengedikkan bahu sesaat.

Mereka berdua berjalan bersisian sambil membicarakan apapun yang terlintas. Sudah lama sekali sejak terakhir kali mereka menghabiskan waktu bersama. El yang kini sudah memiliki kekasih, tentu saja memiliki jadwal pacaran yang tak bisa diganggu gugat. Namun, rasa rindu menyesaki dada Carina untuk segera bertemu dengan teman ngobrol terbaiknya ini.

Bukan, bukan rindu jenis asmara yang seringkali orang bicarakan. Walaupun orang bilang dua sahabat yang berbeda jenis kelamin tak bisa benar-benar murni bersahabat, namun Carina ingin membuktikan sekali ini pada dunia bahwa ia dan El memang bisa hanya bersahabat. Teman ngobrol terbaik memang sangat disayangkan untuk dilepas, bukan?

Hari ini El tampak berbeda dari terakhir kali Carina ingat. Sosok kurusnya semakin terawat dengan balutan kaos yang dilapisi kemeja dengan lengan digulung. Sepengamatan Carina, tampaknya El juga sudah mengganti kacamatanya menjadi bentuk bingkai penuh layaknya trend zaman sekarang. Tak disangkanya El juga bisa mainstream, kekehnya dalam hati.

“Apa lo liat liat?” El membelalakkan mata sambil tergelak pada Carina. Gadis itu hanya tertawa lepas sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Makin terawat lo ya, udah punya pacar gini,” cemooh Carina dengan nada menyindir. Ia tak kuasa menahan geli.

“Sial, jadi lo pikir gue dulu nggak terawat gitu?” El membalas sambil pura-pura marah.

“Ya nggak gitu juga. Tapi ya... lo rada berubah. Lebih rapi sih,” ucap Carina dengan nada menggantung. Ia menjejakkan kaki ke luar trotoar. Melihat hal ini, El menariknya naik ke trotoar lagi.

“Lo bayar pajak buat bangun trotoar. Makanya kalo jalan, ya dipake trotoarnya,” omel El. Nah, bagian ini yang Carina suka dari sahabatnya. Selalu mengingatkan hal-hal kecil yang tak disadari banyak orang. Dan bisa ditebak, sepanjang sisa perjalanan mereka dihabiskan dengan El berbicara tentang idealisme yang bercokol di otaknya. Carina menikmati sambil bersenandung pelan.

Tak lama kemudian, Carina menyadari sesuatu yang ia lupakan.

“Astaga, El. Gue lupa banget ke ATM. Nggak ada uang tunai di dompet gue. Lo masuk duluan aja deh, beli tiketnya dulu. Nanti duitnya gue ganti. Gue ke ATM dulu ya,” ucapnya panik. Carina mengacak-acak isi tasnya untuk menegaskan fakta bahwa ia memang tak membawa uang sepeser pun.

Belum sempat El membuka mulut untuk menanggapi ucapan sahabatnya, Carina sudah melesat pergi ke ATM yang berada di ujung tempat itu. El hanya menggelengkan kepala melihat polah sahabatnya yang mudah panik. Ia melanjutkan langkah ke teater yang tinggal beberapa meter.

Sementara itu, Carina berusaha untuk berlari menuju ATM yang untung saja dekat dari tempatnya tadi. Ia memacu langkah mengingat jadwal film akan dimulai setengah jam lagi. Tak sedikit pun ia ingin membuang waktu bersama El. Mengobrol sebelum film diputar memang waktu yang tepat untuk bersenda gurau dengan sahabatnya itu.

Belum reda jantungnya akibat dipacu, ia segera menarik pintu ATM tersebut. Bangunan itu sempit dan dirancang persegi panjang yang mana memungkinkan nasabah yang ingin bertransaksi untuk agak menyempil. Di dalam ATM tersebut hampir kosong, hanya ada satu laki-laki separuh baya yang memegangi dompet dan kartu ATM-nya.

Jantung Carina kembali berdetak lebih keras. Terperangkap sendirian oleh orang asing tidak pernah menjadi pilihannya. Namun, ia harus bergegas. Seraya mengenyahkan pikiran buruk, ia melangkah super hati-hati melewati pria tersebut dan meraih mesin ATM di sebelahnya.

Carina mencabut kartu ATM-nya dengan cepat dari dompet yang sedari tadi ia genggam. Mengetikkan sederet pin, lalu menunggu mesin tersebut bekerja. Keringat Carina mulai berjatuhan di pelipisnya. Posisi ini membuatnya sangat takut.

Deg.

Carina terlonjak kaget tatkala melihat pria di sebelahnya itu tak jadi memasukkan kartu ATM-nya ke mesin, namun memandangi Carina dengan tatapan aneh. Alih-alih bertanya, Carina pura-pura tak menyadari tatapan tersebut. Lututnya langsung lemas tertangkap basah sedang diperhatikan lekat-lekat oleh pria asing di sebelahnya.

Berbagai kemungkinan terburuk menghampiri gadis ini. Bagaimana kalau ternyata pria tersebut mengajaknya ngobrol? Bagaimana jika pria tersebut sudah mengincarnya sedari dulu? Apa yang akan ia lakukan apabila pria tersebut menanyakan namanya? Atau jangan-jangan pria ini ingin merampoknya? Pikiran-pikiran tersebut sangat menyiksa sendi-sendi pikiran Carina

Ia merasa sangat takut.

Orang asing di ini sanggup berbuat macam-macam padanya. Dan Carina tak meragukan kemungkinan itu. Siapapun, tolong masuk ke bilik sekarang sebelum ia mati ketakutan, pikirnya terdesak.

Carina segera mengetikkan nominal Rp 50.000 ke mesin ATM tersebut. Lagi-lagi loading. Pria tersebut masih menatapnya dengan tatapan yang tak dapat diartikan Carina. Oh, kali ini ia memberikan seringai. Matilah aku, pikir Carina setengah menangis.

Damn! Mesin ATM ini hanya untuk transaksi minimal Rp 100.000. Kesalahan ketik ini membuat Carina tertahan lebih lama bersama pria yang tak dikenalnya. Kali ini pria tersebut memasukkan kartunya ke dalam mesin.

“Sendirian aja, Carina?”

Astaga, pria tersebut mengetahui namanya! Apa yang akan ia katakan? Pikiran Carina seketika mampet. Kakinya terpaku keras ke lantai. Jantungnya berdegup dengan keras.

Alih-alih menjawab pertanyaan pria asing tersebut, Carina hanya diam seribu bahasa. Sungguh, terjebak bersama orang asing membuatnya sanggup mati ketakutan detik itu.

Terlanjur kacau, tangannya langsung memilih untuk menarik Rp 300.000 sekaligus dari daftar pilihan tarik tunai cepat. Mesin di hadapannya berdengung perlahan namun tak mengeluarkan lembaran uang seketika. Keringat lagi-lagi mengalir menjalari tengkuk Carina. Pendingin ruangan di bilik tersebut seakan tak ada gunanya.

Pria tersebut lagi-lagi tersenyum pada Carina.

Orang asing mana yang menyeringai padanya? Carina merutuk dalam hati. Ia heran setengah mati, setelah tak berhenti menyunggingkan senyum misterius, lalu mengetahui namanya pula. Mimpi apa ia tadi malam, rekanya dalam hati.

Sesaat setelah mesin tersebut meyodorkan lembaran uang yang diminta Carina, secepat itu juga ia menarik lembaran tersebut dengan paksa lalu menunggu kartunya keluar dari mesin. Ayo ayo ayo tinggal sedikit lagi, pacu Carina tak sabar. Ia melirik sekilas pada pria disampingnya yang kini tengah memencet tombol mesin di hadapannya.

Wajah pria tersebut tampak penuh dengan mimik misterius. Sekitar empat puluh tahun, taksir Carina dalam hati. Setelan kantor yang necis tak mampu menyembunyikan perut tambunnya. Tipe om-om mesum, tandas Carina dalam hati.

Seraya bergidik, Carina langsung melesat keluar dari bilik tersebut. Sambil menyenggol keras pria tersebut, ia langsung berlari ke arah teater dengan terengah-engah. Tak dihiraukan gesturnya yang kasar saat ia menyelinap melalui celah antara dinding dan pria tersebut. Terlepas sudah dari saat-saat paling menegangkan dalam hidupnya.

Sejak kecil, Carina dibiasakan untuk tidak pernah menyapa orang asing. Ibunya sangat keras akan hal ini. Sosok yang belum dikenalnya segera menjadi momok kemanapun Carina melangkah. Agak berlebihan memang. “Tante Dyana bilang gitu? Dan akhirnya itu yang jadi alasan ketakutan lo akan orang asing? Sakit lo, Rin. Lo kayaknya perlu ke psikiater”, begitu cemooh El saat ia mencurahkan masalah ini suatu waktu.

Entahlah, perlu atau tidak ke psikiater, tentu saja tak pernah dipikirkan oleh Carina. Mengunjungi psikiater tentu saja berarti menjambangi orang asing pula. Bagaimana ia bisa mempercayai apapun yang dikatakan psikiater tersebut jika belum apa-apa Carina sudah ketakutan setengah mati duduk di satu ruangan yang sama?

“Kenapa lo?” tanya El pada sosok Carina yang tersengal-sengal dan basah oleh keringat.

“Itu... ada.... orang asing...” ucap Carina terputus-putus lantaran napasnya belum teratur.

“Terus? Takut lagi?” El memiringkan kepalanya tanda heran. Tak habis pikir dengan momok tak beralasan sahabatnya.

“Bentar,” sahut Carina sambil mengambil napas dalam-dalam lalu mengeluarkan lamat-lamat. “Dia senyum ke arah gue dan tahu nama gue! Orang asing mana yang seaneh itu? Takut banget gue, El,” jelasnya dengan muka pasrah. Carina duduk di sebelah El sambil mengelap keringatnya dengan sapu tangan.

“Ya nggak aneh sih dia bisa tahu nama lo, kan ada ini,” jawab El sambil menunjuk tas selempang Carina yang terajut nama lengkapnya disitu. Gadis itu terhenyak sesaat menyadari kebodohannya. Tentu saja pria itu bisa tahu, nama “Carina Nebula” yang terajut di tasnya kan berukuran besar, umpat Carina dalam hati.

Ah, tapi tetap saja tak ada orang asing yang terus menerus menyeringai seram sambil memanggil namanya, tepis Carina sambil bergidik. Fakta itu tak diceritakannya pada El. Tak ada seorang pun yang mampu memahami ketakutan Carina pada orang asing. Perasaan ini aneh, namun sangat nyata. Mengancam kemanapun ia melangkah.

“Ya udah lah, kita masuk aja yuk. Dah dibuka juga pintu teaternya. Lumayan lo nggak tegang lagi, sembari nonton trailers,” El mencoba memenangkan Carina, Biar bagaimana pun, tujuan utama mereka bertemu adalah menghabiskan waktu dengan bersenang-senang bukan dengan berpanik ria.

Carina pun dengan gontai menyetujui usul El. Tak ada yang lebih diinginkannya daripada pengalih perhatian. Ketakutannya ini masih menggerogoti fragmen otaknya.

***

“Astaga endingnya itu lho, El. Gue nggak membayangkan akhir ceritanya jadi sekocak itu. Kayaknya baru kali ini gue nonton film yang endingnya sekuat tadi,” Carina tergelak puas seusai keluar dari teater. Dirinya dan El memang menonton film komedi, genre favorit mereka berdua.

El hanya terbahak-bahak, pilihan filmnya memang tak pernah salah menghibur siapa pun yang menjadi teman nontonnya.

“Dan lo liat nggak sih, muka Taylor Lautner nya tuh cocok banget sama adegan terakhir. Lo denger sendiri kan satu bioskop pada ketawa,” jelas El sambil memegangi perutnya yang berguncang akibat terlalu banyak menahan tawa.

Carina menginterupsi El. “Ke kamar mandi dulu, nggak tahan ini kebanyakan ngakak di dalem bioskop,” ujar Carina sambil terkikik dan berlalu.

Ia mengantri untuk masuk ke toilet dan menuntaskan hajatnya secepat mungkin. Setelah mencermati pakaian dan aksesoris tepat pada tempatnya, gadis ini bergegas menyusul El ke lobi teater dengan senyum yang mengembang.

Namun, betapa kagetnya ia saat mendapati El sedang berbincang dengan pria asing yang tadi ada dalam bilik ATM!

“Eh Rin, kenalin ini bos gue di kantor,” ujar El riang. Kelanjutan kalimat sahabatnya ini tak didengar lagi oleh Carina. Pikirannya sudah terhenti.

Dan pria tersebut menyeringai dalam senyuman yang diingat Carina.

Tubuhnya lemas seketika.


***

Cerita ini diikutsertakan untuk lomba fiksi Elfarizi




-- hit me on @dinikopi

3 komentar:

  1. Wah, Carina xenophobia yaaa :))

    Terimakasih, sudah dicatat. Tunggu pengumumannya segera, ya! :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak tahu namanya, ada yang bilang obsessive compulsive. Xenophobia mungkin lebih tepat. Ditunggu ya :D

      Hapus
  2. Ada award nih sekaligus pengumuman Elfrize. Cek, ya, kawan-kawan :)

    http://elfarizi.wordpress.com/2012/10/30/akhirnya-ini-dia-pemenangnya/

    BalasHapus

Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?