Gambar dari : http://pinterest.com/pin/269230883944622121/ |
“Dimana lo? Gue udah mau balik nih.
Gue tunggu di kantor ya,” seorang gadis berambut panjang yang hari itu diikat
gulung berseru pada seseorang di sambungan telepon.
“Iya, buruan makanya,” tegasnya lagi
sambil menggerakkan tangannya pada mouse
yang ada di genggamannya. Matanya tak terlepas sedikit pun dari layar komputer.
Namanya Carina Nebula. Nama yang cukup
unik mengingat gadis tersebut memang langka jika dibandingkan dengan orang
kebanyakan. Sehari-hari ia senang mengenakan aksesoris etnik dan sepatu boots tak peduli kemana pun ia melangkah
dan sepanas apapun cuacanya. Sedikit hipster, tapi gadis ini ramah luar biasa.
Kecuali pada orang asing.
Sore itu, ia sudah berjanji untuk
menemani rekan kerja proyek lalu sekaligus sahabat ngobrolnya, El, untuk
menonton film Hollywood terbaru di
samping kantor baru Carina. Sudah dua bulan gadis ini pindah kerja ke tempat
yang lebih dekat dengan rumah kontrakannya. Dan kebetulan sekali kantor barunya
itu bersebelahan dengan teater yang cukup besar.
Carina sangat menyukai film lebih dari
apapun. Gaya etniknya ini tentu saja diadaptasi oleh berbagai film indie yang
ia tonton.
Seraya mengetuk meja kantornya tak
sabaran, ia kembali meraih ponselnya untuk memberi pesan kepada El. Namun tak
lama kemudian, orang yang dicarinya ini muncul secara tiba-tiba dari pintu
kantornya. Carina yang menempati meja paling depan, terlonjak kaget.
“Astaga, mbok ya pake ketok dulu kalo mau masuk,” ujarnya bersungut-sungut
pada El yang hanya bisa meringis jahil. Segera setelah ia membereskan meja
kerjanya, Carina pamit pada sebagian isi kantor yang belum pulang.
Selepas menutup pintu kantor, seorang
satpam menyapa Carina yang dibalas hanya dengan senyuman canggung olehnya. El
hanya melirik sesaat. Ia tahu benar ketakutan sahabatnya ini pada orang asing.
Namun yang tak habis pikir, setakut itukah Carina pada orang asing?
“Gue masih takut dan curiga kalo
disapa sama satpam disini, El. Walau udah kerja dua bulan, tetep aja berasa
aneh. Ntar lama-lama ilang kali ya perasaan itu,” Carina berkata panjang lebar
seakan mengetahui pertanyaan El. Yang diajak ngobrol hanya mengedikkan bahu
sesaat.
Mereka berdua berjalan bersisian
sambil membicarakan apapun yang terlintas. Sudah lama sekali sejak terakhir
kali mereka menghabiskan waktu bersama. El yang kini sudah memiliki kekasih,
tentu saja memiliki jadwal pacaran yang tak bisa diganggu gugat. Namun, rasa
rindu menyesaki dada Carina untuk segera bertemu dengan teman ngobrol
terbaiknya ini.
Bukan, bukan rindu jenis asmara yang
seringkali orang bicarakan. Walaupun orang bilang dua sahabat yang berbeda
jenis kelamin tak bisa benar-benar murni bersahabat, namun Carina ingin
membuktikan sekali ini pada dunia bahwa ia dan El memang bisa hanya bersahabat.
Teman ngobrol terbaik memang sangat disayangkan untuk dilepas, bukan?
Hari ini El tampak berbeda dari
terakhir kali Carina ingat. Sosok kurusnya semakin terawat dengan balutan kaos
yang dilapisi kemeja dengan lengan digulung. Sepengamatan Carina, tampaknya El
juga sudah mengganti kacamatanya menjadi bentuk bingkai penuh layaknya trend
zaman sekarang. Tak disangkanya El juga bisa mainstream, kekehnya dalam hati.
“Apa lo liat liat?” El membelalakkan
mata sambil tergelak pada Carina. Gadis itu hanya tertawa lepas sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
“Makin terawat lo ya, udah punya pacar
gini,” cemooh Carina dengan nada menyindir. Ia tak kuasa menahan geli.
“Sial, jadi lo pikir gue dulu nggak
terawat gitu?” El membalas sambil pura-pura marah.
“Ya nggak gitu juga. Tapi ya... lo
rada berubah. Lebih rapi sih,” ucap Carina dengan nada menggantung. Ia
menjejakkan kaki ke luar trotoar. Melihat hal ini, El menariknya naik ke
trotoar lagi.
“Lo bayar pajak buat bangun trotoar.
Makanya kalo jalan, ya dipake trotoarnya,” omel El. Nah, bagian ini yang Carina
suka dari sahabatnya. Selalu mengingatkan hal-hal kecil yang tak disadari
banyak orang. Dan bisa ditebak, sepanjang sisa perjalanan mereka dihabiskan
dengan El berbicara tentang idealisme yang bercokol di otaknya. Carina menikmati
sambil bersenandung pelan.
Tak lama kemudian, Carina menyadari
sesuatu yang ia lupakan.
“Astaga, El. Gue lupa banget ke ATM.
Nggak ada uang tunai di dompet gue. Lo masuk duluan aja deh, beli tiketnya
dulu. Nanti duitnya gue ganti. Gue ke ATM dulu ya,” ucapnya panik. Carina
mengacak-acak isi tasnya untuk menegaskan fakta bahwa ia memang tak membawa uang
sepeser pun.
Belum sempat El membuka mulut untuk
menanggapi ucapan sahabatnya, Carina sudah melesat pergi ke ATM yang berada di
ujung tempat itu. El hanya menggelengkan kepala melihat polah sahabatnya yang
mudah panik. Ia melanjutkan langkah ke teater yang tinggal beberapa meter.
Sementara itu, Carina berusaha untuk
berlari menuju ATM yang untung saja dekat dari tempatnya tadi. Ia memacu
langkah mengingat jadwal film akan dimulai setengah jam lagi. Tak sedikit pun
ia ingin membuang waktu bersama El. Mengobrol sebelum film diputar memang waktu
yang tepat untuk bersenda gurau dengan sahabatnya itu.
Belum reda jantungnya akibat dipacu,
ia segera menarik pintu ATM tersebut. Bangunan itu sempit dan dirancang persegi
panjang yang mana memungkinkan nasabah yang ingin bertransaksi untuk agak
menyempil. Di dalam ATM tersebut hampir kosong, hanya ada satu laki-laki
separuh baya yang memegangi dompet dan kartu ATM-nya.
Jantung Carina kembali berdetak lebih
keras. Terperangkap sendirian oleh orang asing tidak pernah menjadi pilihannya.
Namun, ia harus bergegas. Seraya mengenyahkan pikiran buruk, ia melangkah super
hati-hati melewati pria tersebut dan meraih mesin ATM di sebelahnya.
Carina mencabut kartu ATM-nya dengan
cepat dari dompet yang sedari tadi ia genggam. Mengetikkan sederet pin, lalu
menunggu mesin tersebut bekerja. Keringat Carina mulai berjatuhan di
pelipisnya. Posisi ini membuatnya sangat takut.
Deg.
Carina terlonjak kaget tatkala melihat
pria di sebelahnya itu tak jadi memasukkan kartu ATM-nya ke mesin, namun
memandangi Carina dengan tatapan aneh. Alih-alih bertanya, Carina pura-pura tak
menyadari tatapan tersebut. Lututnya langsung lemas tertangkap basah sedang
diperhatikan lekat-lekat oleh pria asing di sebelahnya.
Berbagai kemungkinan terburuk
menghampiri gadis ini. Bagaimana kalau ternyata pria tersebut mengajaknya
ngobrol? Bagaimana jika pria tersebut sudah mengincarnya sedari dulu? Apa yang
akan ia lakukan apabila pria tersebut menanyakan namanya? Atau jangan-jangan
pria ini ingin merampoknya? Pikiran-pikiran tersebut sangat menyiksa sendi-sendi
pikiran Carina
Ia merasa sangat takut.
Orang asing di ini sanggup berbuat
macam-macam padanya. Dan Carina tak meragukan kemungkinan itu. Siapapun, tolong
masuk ke bilik sekarang sebelum ia mati ketakutan, pikirnya terdesak.
Carina segera mengetikkan nominal Rp
50.000 ke mesin ATM tersebut. Lagi-lagi loading.
Pria tersebut masih menatapnya dengan tatapan yang tak dapat diartikan Carina.
Oh, kali ini ia memberikan seringai. Matilah aku, pikir Carina setengah
menangis.
Damn!
Mesin ATM ini hanya untuk transaksi minimal Rp 100.000. Kesalahan ketik ini
membuat Carina tertahan lebih lama bersama pria yang tak dikenalnya. Kali ini
pria tersebut memasukkan kartunya ke dalam mesin.
“Sendirian aja, Carina?”
Astaga, pria tersebut mengetahui
namanya! Apa yang akan ia katakan? Pikiran Carina seketika mampet. Kakinya
terpaku keras ke lantai. Jantungnya berdegup dengan keras.
Alih-alih menjawab pertanyaan pria
asing tersebut, Carina hanya diam seribu bahasa. Sungguh, terjebak bersama
orang asing membuatnya sanggup mati ketakutan detik itu.
Terlanjur kacau, tangannya langsung
memilih untuk menarik Rp 300.000 sekaligus dari daftar pilihan tarik tunai
cepat. Mesin di hadapannya berdengung perlahan namun tak mengeluarkan lembaran
uang seketika. Keringat lagi-lagi mengalir menjalari tengkuk Carina. Pendingin
ruangan di bilik tersebut seakan tak ada gunanya.
Pria tersebut lagi-lagi tersenyum pada
Carina.
Orang asing mana yang menyeringai
padanya? Carina merutuk dalam hati. Ia heran setengah mati, setelah tak
berhenti menyunggingkan senyum misterius, lalu mengetahui namanya pula. Mimpi
apa ia tadi malam, rekanya dalam hati.
Sesaat setelah mesin tersebut
meyodorkan lembaran uang yang diminta Carina, secepat itu juga ia menarik
lembaran tersebut dengan paksa lalu menunggu kartunya keluar dari mesin. Ayo
ayo ayo tinggal sedikit lagi, pacu Carina tak sabar. Ia melirik sekilas pada
pria disampingnya yang kini tengah memencet tombol mesin di hadapannya.
Wajah pria tersebut tampak penuh
dengan mimik misterius. Sekitar empat puluh tahun, taksir Carina dalam hati.
Setelan kantor yang necis tak mampu menyembunyikan perut tambunnya. Tipe om-om
mesum, tandas Carina dalam hati.
Seraya bergidik, Carina langsung
melesat keluar dari bilik tersebut. Sambil menyenggol keras pria tersebut, ia
langsung berlari ke arah teater dengan terengah-engah. Tak dihiraukan gesturnya
yang kasar saat ia menyelinap melalui celah antara dinding dan pria tersebut. Terlepas
sudah dari saat-saat paling menegangkan dalam hidupnya.
Sejak kecil, Carina dibiasakan untuk
tidak pernah menyapa orang asing. Ibunya sangat keras akan hal ini. Sosok yang
belum dikenalnya segera menjadi momok kemanapun Carina melangkah. Agak
berlebihan memang. “Tante Dyana bilang gitu? Dan akhirnya itu yang jadi alasan
ketakutan lo akan orang asing? Sakit lo, Rin. Lo kayaknya perlu ke psikiater”,
begitu cemooh El saat ia mencurahkan masalah ini suatu waktu.
Entahlah, perlu atau tidak ke
psikiater, tentu saja tak pernah dipikirkan oleh Carina. Mengunjungi psikiater
tentu saja berarti menjambangi orang asing pula. Bagaimana ia bisa mempercayai
apapun yang dikatakan psikiater tersebut jika belum apa-apa Carina sudah
ketakutan setengah mati duduk di satu ruangan yang sama?
“Kenapa lo?” tanya El pada sosok
Carina yang tersengal-sengal dan basah oleh keringat.
“Itu... ada.... orang asing...” ucap
Carina terputus-putus lantaran napasnya belum teratur.
“Terus? Takut lagi?” El memiringkan
kepalanya tanda heran. Tak habis pikir dengan momok tak beralasan sahabatnya.
“Bentar,” sahut Carina sambil
mengambil napas dalam-dalam lalu mengeluarkan lamat-lamat. “Dia senyum ke arah
gue dan tahu nama gue! Orang asing mana yang seaneh itu? Takut banget gue, El,”
jelasnya dengan muka pasrah. Carina duduk di sebelah El sambil mengelap
keringatnya dengan sapu tangan.
“Ya nggak aneh sih dia bisa tahu nama
lo, kan ada ini,” jawab El sambil menunjuk tas selempang Carina yang terajut
nama lengkapnya disitu. Gadis itu terhenyak sesaat menyadari kebodohannya.
Tentu saja pria itu bisa tahu, nama “Carina Nebula” yang terajut di tasnya kan
berukuran besar, umpat Carina dalam hati.
Ah, tapi tetap saja tak ada orang
asing yang terus menerus menyeringai seram sambil memanggil namanya, tepis
Carina sambil bergidik. Fakta itu tak diceritakannya pada El. Tak ada seorang
pun yang mampu memahami ketakutan Carina pada orang asing. Perasaan ini aneh,
namun sangat nyata. Mengancam kemanapun ia melangkah.
“Ya udah lah, kita masuk aja yuk. Dah dibuka
juga pintu teaternya. Lumayan lo nggak tegang lagi, sembari nonton trailers,” El mencoba memenangkan
Carina, Biar bagaimana pun, tujuan utama mereka bertemu adalah menghabiskan
waktu dengan bersenang-senang bukan dengan berpanik ria.
Carina pun dengan gontai menyetujui
usul El. Tak ada yang lebih diinginkannya daripada pengalih perhatian.
Ketakutannya ini masih menggerogoti fragmen otaknya.
***
“Astaga endingnya itu lho, El. Gue nggak membayangkan akhir ceritanya jadi
sekocak itu. Kayaknya baru kali ini gue nonton film yang endingnya sekuat tadi,” Carina tergelak puas seusai keluar dari
teater. Dirinya dan El memang menonton film komedi, genre favorit mereka berdua.
El hanya terbahak-bahak, pilihan
filmnya memang tak pernah salah menghibur siapa pun yang menjadi teman
nontonnya.
“Dan lo liat nggak sih, muka Taylor
Lautner nya tuh cocok banget sama adegan terakhir. Lo denger sendiri kan satu
bioskop pada ketawa,” jelas El sambil memegangi perutnya yang berguncang akibat
terlalu banyak menahan tawa.
Carina menginterupsi El. “Ke kamar
mandi dulu, nggak tahan ini kebanyakan ngakak di dalem bioskop,” ujar Carina
sambil terkikik dan berlalu.
Ia mengantri untuk masuk ke toilet dan
menuntaskan hajatnya secepat mungkin. Setelah mencermati pakaian dan aksesoris tepat
pada tempatnya, gadis ini bergegas menyusul El ke lobi teater dengan senyum
yang mengembang.
Namun, betapa kagetnya ia saat
mendapati El sedang berbincang dengan pria asing yang tadi ada dalam bilik ATM!
“Eh Rin, kenalin ini bos gue di
kantor,” ujar El riang. Kelanjutan kalimat sahabatnya ini tak didengar lagi
oleh Carina. Pikirannya sudah terhenti.
Dan pria tersebut menyeringai dalam
senyuman yang diingat Carina.
Tubuhnya lemas seketika.
***
Cerita ini diikutsertakan untuk lomba fiksi Elfarizi
-- hit me on @dinikopi
Wah, Carina xenophobia yaaa :))
BalasHapusTerimakasih, sudah dicatat. Tunggu pengumumannya segera, ya! :)
Nggak tahu namanya, ada yang bilang obsessive compulsive. Xenophobia mungkin lebih tepat. Ditunggu ya :D
HapusAda award nih sekaligus pengumuman Elfrize. Cek, ya, kawan-kawan :)
BalasHapushttp://elfarizi.wordpress.com/2012/10/30/akhirnya-ini-dia-pemenangnya/