Selasa, 19 Oktober 2010

Popularitas Pengamen

No comments    
categories: 
Masih tentang pengamen, entah kenapa saya menulis tentang topik ini lagi, mungkin karena belakangan saya lebih sering bepergian, bolang kemana-mana. Ini yang membuat saya banyak menemui tipe pengamen dan lucu juga jika saya menuliskan beberapa hal yang sempat tertumbuk di pikran saya

Saya adalah jenis orang yang akan memberi uang pada pengamen yang benar-benar membuat saya terkesan. Entah lagunya yang pas, liriknya yang tiba-tiba menyentuh, atau memang suaranya yang bagus. Tapi, melihat kondisi pengamen yang saya temukan, sangat langka jenis ini. Jadilah saya orang yang tidak terlalu sering merogoh dompet saat kantong plastik pengamen disodorkan di depan muka saya.

Tapi jika memang pengamennya benar-benar klik dan dalam hati bilang "this is it!" rasanya ingin memberi lebih untuk mengapresiasi karya mereka. Tidak salah bukan? Ada juga beberapa pengamen yang tidak menyanyi. Seperti saat itu di metromini 47 jurusan Pondok Kopi-Senen, saya bertemu dengan pengamen yang memainkan biola! Serius, saya yang sedang terkantuk-kantuk saat itu langsung melek dan menghayati dua buah lagu yang si pengamen lantunkan. Walaupun terdengar menyayat di hati (entah kenapa suara biola lebih memilukan daripada piano di kuping saya), tapi saya benar-benar takjub ada yang berani dan bisa mengamen dengan biola. Langka bukan? Saya lihat, penumpang lain pun tak segan memberikan apresiasi mereka berupa uang ribuan dan bukan recehan.

Namun banyak juga yang membuat hati miris. Masih juga tersebar anak-anak yang mengamen. Saya tak tahu apakah itu keinginan mereka atau hanya karena suruhan. Tapi yang pasti, sangat tidak pantas melihat seorang anak kecil berdiri oleng di atas bis sambil membawa gitar kecil atau hanya bernyanyi sambil mencari pegangan agar tak terjatuh. Ada pula yang didampingi oleh orang dewasa, entah remaja atau memang orang yang jauh melebihi umurnya, tapi tetap saja, adanya anak kecil yang ikut mengamen di dalam bis selalu sukses membuat kuping dan mata saya gerah.

Akibatnya, saya tak pernah menyisihkan uang untuk mereka. Karena saya pikir, jika mereka mengamen karena sudah nyaman dengan kondisi jalanan, saya tak ingin makin "memperkaya" mereka, itu akan membuat mereka betah tinggal di jalan dan melupakan pendidikan. Atau jika mereka disuruh atau bahkan dipaksa mengamen, saya tak ingin membantu anak ini untuk mendapatkan uang yang lebih banyak. Selalu ada saja kemungkinan uang yang mereka dapat, tak seratus persen untuk mereka, kadang adegan di sinetron tentang abang-abang preman yang menindas pengamen anak kecil selalu membuat saya gelisah. Gak mau membuat mereka makin sulit dengan kondisi mereka, jadi lebih baik saya tak usah menyumbang.

Lain halnya dengan penumpang lain, saat amplop putih yang biasanya disobek menjadi dua sisi itu dibagikan, mereka langsung menyelipkan ribuan maupun recehan ke dalam lipatan amplop tersebut. Padahal si anak belum juga bernyanyi. Nah, ketahuan kan mereka memberi hanya karena kasihan yang ngamen anak kecil. Bagaimana ini tidak makin "memperkaya" mereka dan membuat mereka makin betah tinggal di jalanan? Atau bagaimana tidak si abang preman senang akan uang setoran si anak yang mungkin saja lebih besar daripada pengamen remaja? Tidak tidak, sudah cukup gatal mata saya melihat mereka mengadu nasib di bis.

Namanya juga Jakarta, kota yang kata orang kejam. Apabila tak pandai-pandai, maka tergilaslah di kota yang sangar ini. Begitu pula dengan perpindahan pengamen yang satu dengan yang lain. Baru saja si pengamen satu turun dari bis dengan mengantongi sejumlah uang, eh datang lagi pengamen selanjutnya, begitu terus dari terminal satu ke terminal yang lain. Pokoknya full music deh. Saya selalu geleng-geleng kepala melihat pengamen yang tak putus-putus itu.

Tapi tanpa pengamen, Jakarta rasanya tak lengkap. Tapi apa jadinya kalau jumlah pengamen yang beredar di jalan melebihi seharusnya? Hemm perlu dipertanyakan lebih lanjut, seenak itukah menjadi pengamen hingga menjadi pekerjaan paling top diantara masyarakat berekonomi rendah?

0 respon:

Posting Komentar

Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?