Sabtu, 23 Oktober 2010

Saya anak Eksakta. Saya Berjiwa Sosial.

2 comments    
categories: 
ada yang bilang, bahwa setiap orang bisa saja memiliki banyak sisi,
apa yang publik lihat belum tentu adalah apa yang ia ekspresikan di saat sendiri,
atau bisa saja tingkahnya di depan teman berbeda dengan yang ditampilkan di depan adik sendiri

Kira-kira mungkin begitulah manusia saking dinamisnya. Ya, kami manusia, kami dinamis, kami melakukan perubahan, kami bermutasi dan bertransformasi sebagaimana yang kami inginkan. Layaknya virus, pasti akan selalu berubah menjadi bentuk yang lebih resisten terhadap lingkungan dan musuh-musuhnya.

Terutama saya,
saya pernah bilang bahwa saya adalah anak eksak yang menyimpang. Namun, seorang teman punya opininya sendiri, di abilang saya hanya menyukai banyak topik, bukan berarti saya menyimpang. Mungkin kata menyimpang lebih berkonotasi negatif. Sedangkan menyukai beberapa hal sekaligus versi saya ini jauh dari pandangan negatif (setidaknya menurut saya).

Akhirnya saya bisa menerima diri saya yang amfibi isu. Eksakta nyambung, dunia sosial bisa dibilang lebih gape. Susahkah saya dengan kedua kubu yang berbeda itu? Well, pada kenyataannya memang selalu ada pertentangan. Seperti misalnya, sangat miris melihat anak eksak yang mendiskriminasi pelajaran atau topik sosial. Seorang dosen dengan jelas-jelas membandingkan belajar kimia dengan belajar sejarah. PAda deskripsinya, beliau bilang belajar sejarah itu lebih simpel dan gak perlu banyak aturan, mau mulai dari mana aja bisa, gak harus berurutan seperti belajar kimia organik. Jauh di dalam lubuk hati saya, ada ketidaksetujuan disana. Jelas sudah jika ingin belajar sejarah harus kronologis. Bagaimana tidak harus kronologis? namanya juga sejarah, ya pasti membahas urutan waktu. Jika dibahas secara random, maka pengetahuannya pun menjadi acak dan setengah setangh. Oke, satu poin.

Lain halnya dengan anak sosial yang ngakunya lebih beradab daripada anak eksak. Banyak teman saya yang menempuh dunia dan penjurusan sosial tapi masih saja menganggap kami yang mengutak ngatik rumus dengan sebutan "nerdy". Olalalaa, lihat saya, jauh sekali dari kata nerdy, tapi masih bisa mengikuti perkuliahan dengan lumayan lancar (gak bisa dibilang dengan spektakuler juga soalnya). Beberapa dari mereka bahkan gak betah bersosialisasi dengan kami yang akrab dengan erlenmeyer dan tabung reaksi. Bahkan sangat bangga dengan label sosialnya dikarenakan untuk menekan gengsi anak ipa.

Hahaha, kadang lucu melihat perseteruan halus kedua kubu ini. Karena menurut saya, semua aliran, semua ilmu, semua pengetahuan, itu baik sifatnya. Eksak gak mungkin berjalan tanpa sosial, bagaimana si peneliti atau proffesor bisa memberikan presentasi tentang hasil observasinya dengan spektakuler dan gak bikin ngantuk para hadirin kalo bukan pake ilmu komunikasi. Karena menurut Bu Yasnita, seorang dosen di Fakultas Ilmu Sosial UNJ, menurut ilmu komunikasi, dalam presentasi itu yang paling pertama dilihat penonton adalah penampilan si presenter, bukan apa yang dibicarakan. Penampilan ini mencakup gaya berpakaian, cara penyampaian, bahasa tubuh, juga interaksi dengan penonton. Geez, lihat bagaimana penampilan bisa sangat menentukan semua (setidaknya untuk kesan pertama). Sedangkan apa jadinya para penganut sosial itu tidak memakai alur berpikir orang eksakta? Dalam ilmu pasti, ada alur berpikir yang harus sistematis dan penuh teori serta analisa. Sebuah penelitian sosial, pasti memiliki alur berpikir yang sistematis dan penuh logika juga analisa dalam. Darimana datang ini semua, jika tidak dikembangkan dari eksakta?

Untuk yang satu itu, saya sangat berterima kasih kepada jurusan Kimia yang saya ambil. Setidaknya alur berpikir saya yang sangat random ini bisa diorganisir secara sistematis. Karena disana kami diarahkan juga dibiasakan berpikir sistematis dan penuh analisa. Imbasnya, ketika sebuah kondisi atau masalah dilemparkan kepada saya, otak ini langsung memproses alur dimana akar masalah ini, apa dampaknya, seberapa besar kemungkinan masalah ini jika dibiarkan, dan yang pastinya bagaimana penyelesaiannya. Yah, walau mungkin alur berpikir saya belum sesistematis dosen-dosen saya yang mengurutkan logika penelitian di depan kelas, tapi setidaknya saya sangat belajar untuk hal ini.

Oke, terus gimana dong?
Yah, balik lagi ke apa yang saya tulis di atas, para pengambil jalan sosial dan pemuja eksakta harus saling toleransi satu sama lain. Tak ada yang lebih tinggi daripada yang lain. Mau menjadi dokter, peneliti atau menjadi pembaca berita atau wartawan, sama saja! apa sih bedanya? Karena yang terpenting adalah, apakah yang kita lakukan ini berguna untuk Indonesia? Kalau memilih menjadi orang eksak lalu menjadi peneliti dan memutuskan bekerja di luar negeri, sama aja bohong, kebanyakan yang seperti ini adalah mereka yang melihat profit saja (atau adakah opini lain? tolong di-share ke saya). Ngakunya bangga menjadi anak eksak, tapi kok gak bangga dan gak mau memajukan Indonesia. Sama saja dengan menjadi anak sosial yang setelah jauh-jauh membahas teori tentang kesejahteraan masyarakat, tapi setelah kuliah malah menganggur. Kemana ilmu wirausaha dan seabrek analisis sosial tentang keadaannya?



Oke, lagi lagi dialog.
Sepertinya Indonesia butuh satu tempat besar dimana disana aktif mewadahi dialog dari berbagai komunitas yang saling bersebrangan ini. Tak hanya tentang ipa dan ips, tapi beragam komunitas yang telah lama berperang dingin bisa saja didamaikan. Buka usaha yang mudah, saya tahu. Tapi bagaimana kita tahu ini sukses atau tidak, jika tidak diaplikasikan?

Selamat berkarya anak muda Indonesia!

2 komentar:

Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?