Rabu, 13 April 2011

H4 di #Misi21

No comments    
categories: 
First, Negative Statement : Lately I'm so sick with college stuff. I am losing my willing to learn, but not my abiltity to learn, of course. Many classes I skipped. I am stuck with the perspective!

Udah lama banget pengen nulis ini.
Diawali dari kepanikan saya di semester enam, dan ketidakcocokan saya dengan molekul, makin menambah jalannya reaksi kebosanan saya dengan jurusan kimia. Setiap orang melabelkan saya dengan kata "mahasiswa kimia". Dan embel-embelnya biasanya gak enak, seperti "katanya anak kimia, tapi kalo makan gak nyuci tangan", "katanya anak kimia, tapi naro makanan deket sabun cuci baju", "katanya anak kimia, tapi makan masih ga teratur" dan masih banyak lagi sindiran serupa. Well, iya saya memang salah karena melewatkan beberapa peraturan, tapi kan gak mesti dikaitkan dengan status saya sebagai mahasiswa kimia.

Di beberapa kelas, dosen dengan sengaja memanas-manasi mahasiswanya untuk ikut kompetisi sains A, memperebutkan beasiswa penelitian B, menjadi mahasiswa berprestasi, bla bla bla. Sikap otomatis saya, langsung teriak "Sorry, lecturer, I am not interested. I am really not into chemistry". Dan entah kenapa, langsung sebel selama sisa hari, gara-gara dipanas panasi dosen tadi. Saya juga heran, saya yang katanya gak tertarik kok malah jadi emosi.

Dalam hati, saya mencoba menginsepsikan diri saya bahwa saya jauh lebih cinta pada ilmu komunikasi, jurnalistik, pluralisme, dan youth activities. Saya keukeuh kalo saya akan lurus pada jalan itu dan membenci label kimia yang udah terlanjur ada pada saya.

Lalu, secara gak sengaja, saya baca buku "Mengatasi 7 Masalah Terbesar Remaja" karangan Bobbi DePorter. Dan langsung hanyut dalam bab tentang pemberian label. Disitu tertulis, saat kita diberi label oleh orang lain, kita gak serta merta menerima gitu aja. Kita juga punya hak untuk nolak label itu, lho. Apalagi kalo dirasa, label yang orang beri, bukan diri kita yang kita rasa. Contoh, misalnya saya menganggap saya adalah orang yang sangat friendly, ketika ada orang asing atau seseorang lah, yang mencap kita sombong, saya bisa ga menerima label itu dengan cara tetap bersikap friendly. Kita akan merasa tenang-tenang aja karena, kita tahu, penilaian si orang itu terhadap kita salah. Dan kita gak akan ambil pusing dengan segala kata yang ia labelkan pada kita.

Oke, balik lagi ke masalah label kimia dan minat saya pada sosial. Sejak semester satu, saya selalu punya "tempat pelarian diri" ketika kimia sudah mulai menggerogoti alam bawah sadar saya. Entah itu pada jurnalistik, diskusi masalah sosial, menulis, banyak deh. Nah, kan saya gak suka degan label kimia. Maka, saya bisa lepas label itu dengan mudahnya dong. Kimia hanya sebagai jurusan saya kuliah, jangan sampai itu menjadi tolak ukur untuk orang menilai saya. Kimia gagal mendefinisikan saya secara utuh, maka saya bisa menolak label kimia yang tertempel pada saya

saya sampe bikin sketsa pemikiran sehabis tercerahkan
Sosial (dalam hal ini, komunikasi) adalah passion saya, sedangkan kimia adalah jurusan saya kuliah. Dalam universitas, ilmu komunikasi juga digunakan sebagai jurusan kuliah. Saya suka ngiri sama si pacar yang emang jurusan Komunikasi, karena beruntung mendapatkan ilmu-ilmu komunikasi secara utuh. Sedangkan saya, hanya dapat di organisasi, training, konferensi, atau diskusi panjang. Tapi saya lupa satu fakta yang terjadi di Indonesia, dominasi jurusan di Indonesia, disampaikan dengan kesan tidak aplikatif. Kimia kan aplikasi buanget, tapi saya dapet teori dasar dasar (iya juga sih, secara saya kimia murni). Nah, Ilmu Komunikasi 11-12 dengan itu dong pasti. Siapa sih anak Ilmu Komunikasi yang 100% jatuh cinta dengan rutinitas kuliah dan tugasnya? Mungkin saja jika saya menjajal Ilmu Komunikasi sebagai jurusan kuliah, saya akan menemukan bahwa komunikasi juga terkesan sangat teoritis. Esensi aplikatif yang ingin saya dapatkan, bisa aja gak nyampe kalo saya benar-benar kuliah komunikasi.

Dang!

Akhirnya, sampai di satu kesimpulan, ya udah sih, jangan memperbesar masalah yang sebenarnya hanya membelokkan sudut pandang. Saya tetap kuliah di jurusan kimia saya mempelajari ilmu-ilmu eksakta ini dan mengambil alur berpikir analitis-sistematis dari kimia, dan tetap memiliki passion di bidang komunikasi. Case closed, kan?


Saya gak harus misuh-mish karena dipanggil "anak kimia", itu hanya sebutan, bukan label yang mendefinisikan saya seutuhnya. Passion saya di bidang komunikasi, toh mendatangkan manfaat dan kegunaan yang cukup di kehidupan saya masa sekarang. Kalaupun saya butuh mempelajari skill baru dalam berkomunikasi degan orang-orang, saya udah memiliki channel terpercaya untuk mempelajarinya. Toh, semua kerjaan saya di NGO, terkait dengan komunikasi dan jurnalistik, jadi gak usah takut gak kebagian ilmu :)

Last, Positive Statement : I can adapt to both social and science. I have to finish my education soon, in case to reach my passion in communication and jurnalistic. I have to thank with this passion and knowledge. I could reach the Ultimate Me!

0 respon:

Posting Komentar

Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?