Minggu, 24 Februari 2013

Elegi Kebebasan

No comments    
categories: 
Gambar dari : http://weheartit.com/entry/53280397/via/_imlovely


Gemerisik daun adalah satu-satunya musik yang mendominasi indra pendengaranku. Hari ini adalah hari keempat aku berlibur ke Palan seorang diri. Menyenangkan sekali rasanya dapat berlibur tanpa adanya paksaan harus kesana atau kemari menurut keinginan orang lain. Sekarang hanya ada aku, dedaunan, dan terpaan angin di wajah.

Bobby, anak petani yang rumahnya tepat di seberang hostel yang ku sewa, mengantarkan ku ke kota Colus untuk membeli beberapa helai pakaian. Aku memutuskan untuk memperpanjag masa berliburku yang semula tiga hari menjadi satu minggu. Bobby membawa mobil pick up dan aku menolak untuk duduk di sampingnya. Hei, duduk di kap mobil terasa lebih menantang daripada mengamankan diri dalam  balutan seatbelt.

Lagipula, aku dalam masa berlibur, bukan sedang kunjungan kerja. I do what I want to do.
Di bawahku, terdengar sayup-sayup lagu Landon Pigg dari radio

I think that possibly, maybe I'm falling for you
Yes there's a chance that I've fallen quite hard over you.
I've seen the paths that your eyes wander down
I want to come too
I think that possibly, maybe I'm falling for you

Nadanya enak, adem. Tapi mengapa liriknya harus drama percintaan? Seperti tak ada lagi yang berharga di dunia ini tanpa harus membahas cinta? Ah, damn. Lagi-lagi perasaan muak itu. Muak dengan cinta beserta embel-embel tanggung jawabnya.

“Tahun depan, kamu udah harus menikah, Sara!”
“Bangun pagi aja nggak bisa, apalagi yang lainnya”
“Aku sih siap, kamu sendiri apa udah siap?”
“Lelaki yang bertanggung jawab adalah lelaki yang mau menikahi kekasihnya”

Sekelebat ucapan mereka terdengar kembali dalam benakku. Masuk menyelonong ke dalam rencaa escape holiday ku yang sempurna.

“SIALAN KALIAAAN SEMUAAA!” Aku sekeras mungkin berteriak sambil menarik rambut ke belakang. Rasanya sesak itu tak akan pernah hilang, walau aku berusaha mengikisnya sedikit demi sedikit. Tapi, lihat saja, ocehan mereka masih muncul sesekali.

Bobby tak memelankan laju mobil sedikit pun. Entahlah apa ia mendengar teriakanku barusan atau tidak. Sebut aku nelangsa, tapi aku memang harus berlari dari desakan menikah orang tuaku yang gila dan calon suami yang menuntut. Siapa yang sangka masa-masa senang akan berakhir di altar pelaminan. Tak akan ada lagi pesta piyama di rumah Kaithlyn, lembur di studio untuk menyelesaikan proyek, atau bangun siang di hari Sabtu dan Minggu.

Tapi biarlah, biarlah aku menghela napas sejenak sampai akhir minggu depan. Karena disinilah aku, di Palan seorang diri, tak memiliki rencana perjalanan, duduk di atas mobil pick up dengan rambut terbang bebas menyambut kebebasannya. No more cell phone, email, social media, or even a pager. Hidup itu indah, bukan? Aku menyunggingkan senyum paling lebar. 


-- hit me on @dinikopi

0 respon:

Posting Komentar

Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?