Langkah besar selalu dimulai dengan langkah kecil. Bukan berarti langkah kecil tidak berarti. Namun, langkah kecil lah yang memulai segalanya.
Panas yang menyengat dua bulan belakangan ini dirasakan sangat aneh. Mengapa tidak, jika panas di pagi hari terkadang lebih menyengat daripada siang hari. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mengemukakan bahwa di beberapa kota, suhu meningkat lebih dari 1 derajat celcius dalam jangka waktu 10 tahun. Inilah mengapa panas terasa sangat membakar di kulit.
Menurut Kepala Bidang Analisis Klimatologi dan Kualitas Udara BMKG, Soetamto, menyatakan bahwa Kota Sibolga, Sumatera Utara, mengalami kenaikan suhu paling rendah, mencapai 0,036°C dari rata-rata 31,52°C. Sedangkan Kota Wamena, Papua, mengalami kenaikan suhu tertinggi, mencapai 1,38°C dari rata-rata 25,97°C.
Kota-kota lain yang mengalami kenaikan suhu ialah Jakarta (0,9730°C/10 tahun), Cilacap (0,6959°C/10 tahun), Merauke (1,1562°C/10 tahun), Jayapura (1,2245°C/10 tahun), dan kota lainnya. Namun, hal sebaliknya terjadi pada Kota Tarempa yang mengalami penurunan suhu sebesar 0,2683°C/10 tahun.
Hal ini penulis perkirakan karena Tarempa terletak berdekatan dengan Samudera Pasifik. Yang mana Samudera Pasifik memiliki arus dingin (oyashio) yang sedikit banyak mempengaruhi suhu di sekitarnya juga.
Kurangnya Air Bersih
Kurangnya Air Bersih
Meningkatnya suhu ini dikarenakan banyak hal, seperti meledaknya produksi gas rumah kaca, polusi kendaraan, industri yang kian menjamur, hingga pemakaian CFC yang sangat bebas. Faktor sinar matahari tidak seberapa mempengaruhi naiknya suhu udara di Indonesia. Yang justru mendominasi adalah faktor dari manusia penghuni bumi itu sendiri.
Dampak dari peningkatan suhu Indonesia tidak sesederhana peningkatan suhu termometer saat praktikum kimia, yang hanya menyebabkan panas lokal. Akan tetapi, peristiwa ini mampu menimbulkan sederet malapetaka. Contohnya adalah musim panen yang waktunya berubah-ubah, kenaikan permukaan laut, munculnya berbagai penyakit, dan menurunnya pasokan air.
Berkurangnya air bersih mengundang permintaan air bersih di beberapa daerah. Curah hujan yang menurun mengakibatkan masyarakat membutuhkan air untuk dikonsumsi. Mengingat keterbatasan air yang beredar, maka diperlukan cara untuk memberdayakan air kotor sehingga layak untuk dikonsumsi.
Biji Kelor
Berkurangnya air bersih mengundang permintaan air bersih di beberapa daerah. Curah hujan yang menurun mengakibatkan masyarakat membutuhkan air untuk dikonsumsi. Mengingat keterbatasan air yang beredar, maka diperlukan cara untuk memberdayakan air kotor sehingga layak untuk dikonsumsi.
Biji Kelor
Kelor diidentikkan dengan pepatah “tak selebar daun kelor”, namun ternyata biji dari tumbuhan yang memiliki nama latin Moringa oliefera ini mampu menyelamatkan umat manusia dari krisis air bersih. Walaupun hanya mampu tumbuh di beberapa daerah saja dan memiliki keterbatasan reproduksi, biji kelor ini ampuh untuk memurnikan air kotor dalam sesaat.
Cara pemberdayaan biji kelor ini tergolong mudah, biji kelor yang kering ditumbuk hingga halus. Setelah itu, masukkan sedikit air bersih hingga mengental seperti pasta. Lalu tambahkan lagi 200 ml air bersih ke dalam campuran tadi. Selanjutnya, kocoklah percampuran tadi selama lima menit hingga tercampur sempurna. Selama proses pengocokan ini, terjadi reaksi antara zat kimia yang terdapat di biji kelor dengan air. Setelah itu, saringlah larutan ini dengan kain kassa.
Filtrat dari penyaringan inilah yang digunakan untuk memurnikan air kotor. Hanya dengan melarutkan filtrat ke dalam air yang akan dimurnikan, kemudian aduk perlahan selama 10-15 menit. Pada proses pengadukan, biji kelor yang telah dilarutkan akan mengendapkan pengotor dan mikroba pada air. Air bersih ini bisa dimanfaatkan setelah satu jam proses reaksi.
Mengurangi Pemanasan
Mengurangi Pemanasan
Pemurnian air dengan biji kelor ini dinilai memiliki beberapa keuntungan yang tentunya juga bisa mengurangi dampak pemanasan global. Pemurnian alami ini tidak berbahaya bagi kesehatan, mampu mengurangi kuman yang tersebar di air, meminimalisasi zat organik penyebab pencemaran, serta mempercepat proses pendidihan.
Air hasil pemurnian biji kelor harus dimasak terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. Dan nilai positif pada proses pendidihan yang cepat dapat mengurangi gas karbon dioksida (CO2) yang terbuang akibat aktivitas pemanasan. Sehingga sedikit banyak mempengaruhi suhu di sekitar kita.
Pemurnian dengan biji kelor mungkin adalah kontribusi kecil kita dalam mengurangi pemanasan suhu secara global. Namun, jika kita tidak memulai langkah kecil kita, maka tidak akan ada lagi langkah untuk menyelamatkan bumi. Apalagi, metode ini adalah metode dengan pendekatan alami, metode alami untuk menyelamatkan alam.
0 respon:
Posting Komentar
Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?