Sabtu, 16 Mei 2009

Malapetaka Bantar Gebang

No comments    
categories: 

Manusia dengan sampah selayaknya tumbuhan dengan karbon dioksida.



Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang sudah cukup banyak membawa masalah dalam topik lingkungan di Indonesia. Namun, pemerintah provinsi DKI Jakarta dan pemerintah Kota Bekasi nampaknya belum mempermasalahkan masalah yang sebenarnya masuk ke dalam taraf pelik ini. Sampah-sampah yang masuk pun tidak hanya dari daerah Bekasi saja, tetapi juga dari daerah Jakarta.

Sampah pastinya menimbulkan masalah, yang paling serius adalah dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar. Walaupun telah ditetapkan bahwa tempat pembuangan sampah ini setidaknya harus berjarak 3 km dari pemukiman warga, namun pada kenyataannya, TPA Bantar Gebang dengan pemukiman warga baerjarak pendek. Desa Taman Rahuyu contohnya, desa ini hanya berjarak 200 meter dari zona 3 TPA Bantar Gebang. Tak heran jika di sekitar pemukiman warga, sudah tercium bau menyengat dari hasil-hasil pembuangan masyarakat ini. Jika dalam musim hujan, maka jalanan tak ayal lagi menjadi becek, bau menyengat berjalan dimana-mana, dan air sumur pun terkontaminasi.

Jika musim kemarau tiba, daerah sekitar TPA diselimuti oleh kabut yang tidak hanya hadir pada siang hari namun juga pada malam hari. Kabut ini bukan sembarang kabut, tapi kabut yang menyebarkan bau busuk kemana-mana. Kebakaran sampah pun tak dapat dihindari, karena adanya gesekan antara sampah-sampah yang mudah terbakar dengan udara sekitar yang memang sedang memanas. Masyarakat juga mengeluhkan disamping udara mereka yang sudah terjangkiti oleh bau busuk, air mereka juga berbau tak sedap dengan kualitas air yang buruk.
Biasanya, untuk menutup mulut para masyarakat, pengelola TPA Bantar Gebang meberikan tiap kepala keluarga uang sebesar Rp 100.000,- . Namun, kegiatan pemberian dana tutup mulut ini sempat terhenti. Maka pada sekitar tanggal 15 Desember 2008 mereka memblokir jalan truk-truk pengangkut sampah yang akan menuju TPA Bantar Gebang sebelum mereka diberikan kompensasi yang pantas atas kerugian pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh TPA Bantar Gebang.

Namun, menurut konsep tata ruang dan demi kesehatan warga sekitar juga, tidak baik untuk membuka pemukiman di sekitar tempat pembuangan sampah. Bahkan menempati tempat bekas pembuangan sampah pun tidak boleh, apalagi menempati daerah sekitar lahan yang masih dipakai sebagai tempat pembuanagn sampah akhir. Mungkin mereka memang telah beradaptasi secara fisiologis, namun tetap saja akan menimbulkan berbagai penyakit dan ketidaknyamanan. Para pemulung disana bertutur bahwa mereka seringkali pusing, kembung, dan maag saat memulung sampah disitu, apalagi mereka juga menetap di sekitar TPA Bantar Gebang.

Segala masalah kesehatan dan pencemaran yang berlangsung, mengindikasikan bahwa belum ada pengolahan sampah yang baik dan efektif dari pemerintah. Mungkin karena pemerintah tidak terlalu memusingkan apa bentuknya TPA Bantar Gebang, mereka terlalu memusingkan berbagai masalah lain diluar masalah lingkungan hidup. Begitulah, masalah lingkungan hidup jarang mendapat sorotan utama.

Sistem yang dipakai dalam pengelolaan sampah saat ini di Bantar Gebang dengan menggunakan sistem Sanitary Landfill. Dimana sistem ini bekerja dengan menimbun sampah-sampah organik di tanah dan membiarkannya membusuk. Namun, penulis pikir, cara ini belum efektif karena sedikit banyak telah menyebabkan pencemaran air tanah. Lagipula, belum ada pemisahan sempurna antara sampah organik dan sampah anorganik, sehingga proses pembusukan disini belum berlangsung secara sempurna.

Pemisahan sampah, itu kata kuncinya. Proses pemilahan sampah yang biasanya dilakukan warga sepertinya tidak memberi dampak berarti dalam pengelolaan sampah di TPA Bantar Gebang. Karena pada saat sampai di TPA, sampah itu akan dimasukkan pada lahan yang sama bercampur dengan sampah-sampah lain. Namun, sebenarnya ini ide bagus yang menuntut sebuah keseriusan dari masyarakat dan pemerintah.

Pemisahan sampah menjadi sampah organik dan sampah anorganik ini sudah bagus jika dibiasakan dalam masyarakat. Dan sebaiknya pemerintah menyediakan 2 jenis truk pengangkut sampah. Jadi, ada truk sampah yang mengangkut sampah organik, ada yang mengangkut sampah anorganik. Sesampainya di TPA Bantar Gebang juga sebaiknya ada pemisahan zona. Ada zona sampah-sampah organik, juga ada zona untuk sampah-sampah anorganik. Selanjutnya, untuk sampai anorganik, sudah pasti bisa menjadi lahan uang (baca : didaur ulang kembali). Sedangkan untuk sampah organik, ini bisa dijadikan sebagai bahan baku pembuatan kompos dan biogas. Apalagi didukung fakta bahwa satu ton sampah bisa menghasilkan 50 kg gas metana yang digunakan sebagai bahan baku biogas.

Untuk tambahan, pada zona sampah organik pun sebetulnya pemerintah bisa mendirikan suatu pabrik atau kantor pengolahan sampah-sampah organik ini menjadi kompos dan biogas secara langsung. Jadi, bahan baku dari pabrik atau kantor pengelolaan ini dapat diambil dengan jarak dekat. Sedangkan untuk zona sampah anorganik, pemerintah bisa menerapkan sistem bagi pemulung yang ingin memulung sampah anorganik, sebaiknya tidak hanya ambil lalu jual. Tapi lebih baik lagi jika sampah anorganik yang pemulung dapatkan, mereka olah menjadi barang-barang kerajinan tangan, baru hasilnya mereka jual. Ini justru bisa menambah pendapatan mereka.

Bukan tidak mungkin bila nantinya Indonesia menjadi negara pengekspor pupuk kompos dan juga metana terbesar. Mengingat sampah yang dihasilkan oleh seluruh masyarakat juga tak terhitung banyaknya. Dan juga kreativitas para warganya dapat terdongkrak dengan pemanfaatan barang-barang bekas.

0 respon:

Posting Komentar

Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?