Senin, 23 Agustus 2010

Jalur Lain, Nekat Saja

Adek : kak, masa aku ga dibolehin ikut buka puasa bareng KIR sama ibu

Saya : loh, masa ga boleh sih? Emang kenapa?

Adek : gatau (mulai nangis) katanya bla bla bla bla (menjelaskan sambil nangis)


Saya bukan orang yang bisa duduk manis dan diam saja lebih dari 15 menit, kalaupun duduk diam, pasti otak saya selalu bekerja. Makanya sejak SMP saya memilih untuk aktif berorganisasi, karena menurut saya sekolah bisa saja sangat membosankan, hey saya kan butuh selingan, hehe. Sejak saat itu, saya selalu berseliweran di dunia organisasi.


Dulu, orang tua saya tidak suka saya terlalu aktif di organisasi, karena beliau berdua adalah tipe orangtua yang score oriented, dimana nilai akademik adalah segalanya. Yaa, tipe orangtua yang sangat berbangga diri jika anaknya selalu ranking satu (lagipula siapa yang menolak, hehe). Pada awalnya saya berlaku defensif jika dilarang ikut ini itu, maklum darah muda sangat mengalir deras di pembuluh darah saya sejak kecil. Dan satu lagi sikap yang saya putuskan untuk diambil adalah, mencoba “bandel” dengan tetap pulang sekolah sore karena alasan organisasi, tak peduli ibu saya mau mengomel sepanjang apa di rumah. Yang penting nilai akademik saya tidak turun dan tetap menjalankan tanggung jawab di rumah (walaupun berat membagi waktu)


Lama kelamaan karena melihat anaknya yang keras kepala dan prestasi non akademik saya yang ga tanggung-tanggung, maka orang tua saya mulai percaya dengan apa yang saya ambil. Mereka mulai “membebaskan” saya hidup di dunia organisasi (dengan beberapa syarat tentunya). Saking bebasnya, saya bahkan boleh beberapa kali menginap di sekolah untuk mengurus beberapa acara dan izin luar biasa lainnya. Wow, itu sangat membantu saya untuk belajar lebih jauh tentang hidup yang sebenarnya (secara, akademik tak membantu banyak untuk belajar tentang real life)


Itu jalan yang saya ambil, jalan yang di awal penuh tangisan, luka, serta sikap keras kepala, tapi saya tetap konsisten di dalamnya.


Kasus lain, saat di universitas, saya mencoba untuk mengambil organisasi yang tidak diambil oleh satupun teman saya di kelas, bahkan untuk ukuran fakultas MIPA, bisa dihitung dengan satu tangan. Seperti kata pepatah, acuhkan saja anjing menggonggong, saya tetap jalan terus tanpa mundur. Dan voila! Setelah hampir tiga tahun, terbukti pilihan saya benar karena organisasi yang saya ambil itu bisa dibilang organisasi pentolan, andalan di universitas. Sedangkan teman-teman saya yang lain? Ya, mereka juga berproses dengan apa yang mereka ambil. How if it is compared? Well, i have no rights to judge


Ada lagi, seorang senior pernah menganjurkan saya untuk berorganisasi “pada jalan yang benar dan sistematis” yaitu aktif di BEM jurusan, lalu tahun berikutnya ke BEM fakultas, dan pada akhirnya ke BEM universitas. Pada saat itu, saya hanya manggut-manggut saja. Lalu bagaimana? Saya mengambil jalur yang samasekali berbeda dengan anjuran senior itu, saya mendobrak pakem sistematis yang selama ini beredar. Pada tahun pertama di universitas, saya langsung bergabung aktif di unit level universitas, tak lewat jalur jurusan, bahkan fakultas. Tancap gas saja. Dan di tahun berikutnya langsung berada di unit nasional, bayangkan unit se-Indonesia pada tahun kedua saya kuliah.


The last but not least, dulu saya kepengen banget ikut LSM yang cakupannya regional, seperti Greenpeace Jakarta, atau perkumpulan di Jakarta yang tak membawa identitas kampus. Namun, seorang partner kerja saya di unit kampus bilang bahwa menurutnya lebih baik berproses di kampus dulu, karena takut waktunya gak kebagi. Saat itu saya lagi-lagi hanya manggut saja dan menunda bergabung. Tapi di tahun ketiga saya kuliah, saya nekad bergabung di Non Government Organization regional, bahkan nasional. Dan satu yang terpop-up di otak saya, hey i can make it! Ya, kalo ditanya bisa bagi waktu apa ga, itu adalah hal yang saya kira orang-orang di dunia ini pun sedang belajar. Yang terpenting adalah seberapa banyak ilmu yang tertempel di fragmen otak kita. Dan ternyata menjadi salah satu bagian NGO regional atau nasional memungkinkan kita bergaul dengan banyak orang dengan latar belakang berbeda, dengan perspektif yang memiliki deviasi jauh dengan kita.


Sebenarnya tulisan ini diperuntukkan untuk adik saya. Saya kepengen banget ngeliat dia lebih sukses dari saya, karena sebenarnya dia memiliki potensi yang jauh lebih beragam daripada yang saya miliki. Juga untuk orang-orang yang berpikiran sistematis, untuk teman-teman yang bingung dengan jalan pikir pemilihan organisasi saya. Showing off? Well, itu adalah hal yang paling ngaco tentang apa yang saya tulis. Saya hanya sharing, mumpung bulan Ramadhan manatau dapet pahala lebih, hahahaa.


Saya memang berbeda, i am limited edition. No matter how you all see me, no matter how you judge me. Because i am enjoying my life and i am learning in every steps i take.


Think out of the box and the world will see you in briliant perspectives


4 komentar:

  1. keren mbak!!
    optimistis harus ada dalam diri kita, apalagi sebagai seseorang yang berjiwa aktivis. hilangkan jauh-jauh yang disebut dengan pesimistis. because nothing is imposibble, right? tapi ada hal yang juga harus kita ingat sebagai sebagai seorang aktivis, yaitu tanggung jawab terhadap organisasi yang kita pegang. nice article!! keep posting!! =)

    BalasHapus
  2. wah pagi pagi sudah blogwalking rupanya :D

    iya andri, insyaAllah tetap amanah dengan memegang beberapa prinsip personal, hehehe

    BalasHapus
  3. Iya kok Din... Been there done that gw. hehehe Pada akhirnya, mereka akan sadar klo lo mencintai sesuatu dan menggelutinya dengan serius, mereka pasti mendukung lo, meskipun setengah hati, tapi lumayan lah daripada lu manyun,,,hehhehe Semangat ya Din!!!

    BalasHapus
  4. hahaaa, bener banget!
    gada sesuatu yang gampang ternyataa, fuu fuu

    tapi iyalah yaa, mendingan semangat daripada terus diem dikunyah sama hidup, heee

    BalasHapus

Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?