Senin, 28 Februari 2011

Generasi Paham

No comments    
categories: 

Anak belajar pertama kali ya di keluarganya. Kalo yang saya inget dari pelajaran sosiologi waktu SMA, lingkup sosial yang pertama dikenal sama anak-anak emang keluarga. Pada awal-awal usia anak, itu pas banget ditanamin berbagai budaya ataupun kebiasaan. Inilah yang biasanya dibawa oleh si anak sampai besar. Cara dia berpikir, perilaku sehari-hari, ataupun pembawaan dia, sedikit banyak dipengaruhi oleh keluarga.

Emang sih, nanti pas mereka udah besar, pasti ada pengaruh dari teman, sekolah, atau media. Nah, seberapa kuat masing-masing agen pembawa ‘budaya’ inilah yang akan benar-benar diambil oleh seorang individu. Contohnya, kalo di keluarga diajarin untuk on time, lalu si anak berbaur dengan lingkungan teman-teman yang selalu jam karet, nah kalo insepsi dari keluarga jauh lebih gencar daripada lingkungan teman-temannya, si anak tetep jadi orang yang on time. Begitu juga sebaliknya.

Kemaren baru aja saya ngobrol-ngobrol sama Kak Joan untuk proyek pluralisme saya (yang akan launch beberapa bulan lagi). Seneng banget dari brainstorming itu muncul banyak poin. Salah satu yang saya cermati adalah gimana bedanya pola asuh keluarga di Indonesia dengan beberapa keluarga di luar Indonesia.

Kalo di negeri saya ini, saat kecil, anak cuma dilarang jangan melakukan ini, harus berbuat itu, tanpa disertai pemahaman sederhana pada si anak. Paling banter hanya diberi kalimat “nanti juga tahu alasannya kalo kamu udah besar”. Beda dengan pola asuh luar, sebagai contoh adalah keluarga dari saudara Kak Joan. Anak-anak mulai dari kecil diberi alasan mengapa mereka tidak boleh melakukan sesuatu. Dan si anak pun bisa dengan bebas menyatakan ketidaksukaannya untuk melakukan sesuatu.

Sebagai contoh, melarang anak untuk tidak bermain pisau bisa dengan kalimat “Adek, jangan main-main pisau ya. Soalnya nanti kalo kena pisaunya, adek ntar bisa berdarah. Berdarah itu sakit lho. Trus kalo adek berdarah banyak, adek bisa masuk rumah sakit. Ntar kalo adek masuk rumah sakit, adek gabisa main lagi sama temen-temen”. Nah, urutan logis sederhana gini yang menurut saya cesplang banget buat diajarin. Si anak juga misalnya jika disuruh minum jus, bisa protes dengan bilang “Mom, why i should do that? I don’t wanna drink that guava juice, I don’t like it”. Nah, si anak udah dibiasain nanya kenapa alasannya, apa yg mendasari mereka harus melakukan sesuatu. Ini juga bagus banget, karena si anak bisa paham benar mengapa suatu perbuatan itu baik, atau mengapa tidak boleh melakukan sesuatu. Jadi bukan atas dasar “nanti dimarahin ibu lho”.

Kalo suasana di rumah segini terbukanya, saya yakin banget, anak diajari untuk selalu paham atas pilihan yang mereka ambil, mereka bisa beberapa langkah lebih kritis daripada teman-temannya, juga anak diajari untuk menghargai pendapatnya sendiri maupun pendapat orang lain. Tokcer kan?

Nah, prinsip pentingnya untuk ngebuat orang lain paham benar atas sesuatu itu kadang yang sering dilupain. Padahal, mengerti dan paham adalah dua kata yang memiliki makna berbeda. Kalo orang udah paham, dia tahu benar apa yang mendasari, dia bisa nyebarin pengetahuan yang dia pahami dengan lebih baik (daripada hanya mengerti doang), dan yang pasti, si orang ini akan punya pengetahuan secara total akan sesuatu yang dia pahami.

Nanti, saat saya punya anak, pengen banget menerapkan ini ke mereka. Ikutan yuk!

0 respon:

Posting Komentar

Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?