Senin, 01 Oktober 2012

#WritingClass - Surat Tak Tersampaikan

2 comments    
categories: 

Gambar dari : https://pinterest.com/pin/267401296595290658/


Halo Ayah,

Sudah lama ya kita tak bertemu. Aku harap kau menyesap kopi hitam pekat yang diseduh dengan cangkir porselen warna hitam kesukaanmu saat membaca surat ini. Dan oh iya, pasti kau lupa untuk sarapan. Kau biasanya melewatkan makan pagi dan langsung merangkapnya menjadi makan siang. Kuharap itu tidak terjadi padamu sekarang, Ayah. Fisikmu menua, dan aku khawatir akan hal itu.

Ayah ingat dulu saat aku kecil? Waktu itu aku jadi putri kecil kesayangan Ayah dan Ibu. Hahaha, dulu tak ada Aristha yang menggantikan singgasanaku. Ia tentu saja belum lahir. Aku ingat sekali ada waktu lima tahun sebelum  kasih sayang kalian terbagi dua pada Aristha.

Dulu aku sangat suka mengoceh, Ayah pasti masih mengenangnya sampai sekarang. Di rumah, tak hentinya aku berceloteh tentang apa saja yang ingin ku sampaikan. Ibu yang sudah kewalahan menanggapiku bahkan sampai rajin menyetel radio untuk menggantikan perannya sebagai lawan bicaraku. Sekarang aku tahu mengapa aku menyukai radio, Ayah. Ibu memang sudah membiasakanku dengan radio sedari kecil.

Ya, dari hobi mengoceh ku itu.

Dan aku ingat seusai Ayah pulang kerja pasti aku langsung menghambur ke pelukanmu untuk dapat kecupan di pipi sebagai bonus. Kau akan terkekeh senang dan pura-pura terlalu lelah untuk mengangkatku dari lantai. Tapi jangan sebut aku pengoceh handal, Ayah. Aku selalu bisa membujukmu untuk menggendongku. Saat itu, aku merasa melayang bebas tapi tetap aman dalam rengkuhanmu. Ah, aku rindu masa-masa itu, Ayah.

Oh, juga tingkahku yang selalu hanya bisa tidur jika sudah berada di ketiakmu. Ingatkah kau pada kebiasaan kecilku itu, Ayah? Ketiakmu bagiku adalah tempat ternyaman di seluruh dunia saat itu. Lihat saja, jika sudah berada di kepitan ketiakmu, beberapa menit kemudian pasti aku sudah terpulas. Dan kau akan menggendongku masuk ke kelambu agar tak ada seekor pun nyamuk yang menggigit.

Ayah berjanji untuk tidak menangis kan? Ayah tidak mengeluarkan air mata di bagian suratku yang ini kan? Ada banyak hal yang ingin ku sampaikan, Ayah. Tolonglah agar tak menitikkan kesedihan. Dan aku akan terus mengoceh untuk menemani pagimu.

Aku terus tumbuh besar, Yah. Aku masih ingat tatapan bangga Ayah saat aku menunjukkan NEM paling tinggi di SD. Lihat kan Yah, nilaiku dulu mungkin saja merah, tapi aku bisa kasih tunjuk ke Ayah kalau aku juga bisa berprestasi seperti yang Ayah inginkan. Walaupun suka mengoceh, aku tetap bisa jadi bintang kelas. Ayah dan ibu langsung mentraktir aku satu batang gulali merah jambu yang besar saat itu.

Gulali merah jambu selalu mengingatkanku pada setiap perayaan yang terjadi di keluarga, Ayah. 

Kehadirannya juga tak absen saat aku memenangkan lomba karya ilmiah se-kabupaten. Ayah ingat apa yang ku tulis saat itu? Iya, aku menulis soal rokok. Sangat berbalik dengan keadaan Ayah yang seakan tak bisa lepas menghembuskan asap nikotin setiap hari. Aku tahu mukamu saat itu pias, tapi juga ada semburat kebanggan disana. 

Aku terus menerus menahan geli saat itu. Ibu dan Aristha kerap menyinggung tentang ironi ini. Tapi kau hanya tersenyum sambil menyelipkan rokok pada bibirmu. Lucu sekali saat itu, Ayah.

Aku selalu jadi gadis kecil favorit Ayah, kan?
 Senyum Ayah membawa ketenangan sendiri bagiku, berjanjilah Ayah untuk tetap tersenyum. Aristha juga kerap membuatmu bangga sekarang kan? Kami berdua memang bersekongkol untuk membuat lelaki nomor satu kami selalu bahagia.

Walaupun pada kenyataannya Ayah pernah menangis karena aku. Maafkan aku Ayah. Aku berusaha keras untuk selalu membuatmu bahagia. Ya, salah satunya dengan bertutur seperti sekarang ini padamu. Kau tidak akan kesepian kan? Masih ada aku disini, Ayah. Aku melihatmu setiap hari. Melihat kalian.

Aku memang suka ngobrol, Yah. Sampai-sampai tak ragu lagi memilih jurusan komunikasi saat masuk kuliah dulu. Kau sangat mendukungku dalam hal ini. Radio langsung menjadi duniaku, Ayah. Seakan rumah keduaku.

Ingat saat siang hari di bulan Mei tanggal dua puluh, aku menelponmu hanya untuk menyalakan radio? Ya, aku meminta lagu How Deep Is Your Love diputarkan khusus untuk Ayah. Aku tahu benar itu lagu kesukaanmu, mengingat aku sudah hapal menyanyikannya lantaran kau putar terus saat bepergian dengan mobil. Saat itu Ayah seperti tercekat kan? Aku bisa merasakan suara Ayah dipenuhi oleh rasa haru.

Akhirnya aku jadi penyiar, Ayah. Aku mencapai impianku dulu, cita-citaku sedari kecil. Tidak sia-sia bukan usaha Ibu menenangkanku dengan radio. Eh, ternyata ktika besar, aku sukses berprofesi menjadi penyiar. Punya jadwal cuap-cuap tersendiri di salah satu stasiun radio swasta di Jakarta memang impianku dari dulu, Ayah. Jangan salahkan radio jika di beberapa tahun umurku, kita sempat jarang bersua. Tapi aku tetap mengingatmu dengan lengkap, Ayah. Mana bisa ku lupakan seseorang yang melindungi ku sedari kecil.

Kesibukanku memang makin ketat. Kita sudah jarang lagi mengobrol. Saat aku pulang, kau sudah terlelap. Saat pagi menjelang, aku sudah terbirit-birit mengejar bis untuk siaran paling pagi. Sudah tak ada obrolan sore hari di depan televisi atau sesederhana mencuci mobil bersama sambil membicarakan masa depan. Ah, andai bisa ku ulang waktu itu.

Perasaan bersalah memang mendera hatiku tatkala aku tak mampu meluangkan waktu denganmu. Semenjak kepergian Ibu di usiaku yang sedang puber, kita memang makin dekat satu sama lain, begitu juga dengan Aristha. Maafkan aku Ayah jika aku tak ada untuk kau pantau. Aku tahu masih ada Aristha yang mengurusimu. Izinkanlah aku Ayah menyampaikan penyesalan terdalamku atas waktu-waktu yang terbuang percuma.

Terkadang di beberapa kesempatan, makan pagi adalah satu-satunya kesempatan kita bersama bisa berkumpul. Memang bukan waktu yang lama, namun aku menikmati saat-saat kita bertiga mengelilingi meja makan. Itu adalah saatnya aku mengoceh singkat tentang jadwal siaranku seraya memaksakan beberapa suap nasi masuk ke dalam mulut. Aristha juga pasti akan mulai bercerita soal gurunya yang menyebalkan atau banyaknya pekerjaan rumah yang dibebankan. Dan kau hanya tersenyum memandangi polah kami berdua.

“Jaga kesehatan, Kak. Kalau sibuk tapi sehat kan jadi lebih enak beraktivitasnya.” Aku ingat kata-kata Ayah yang itu. Ya, Ayah memang selalu benar. Kalau aku lebih sehat, pasti aku masih jadi penyiar favorit di ibukota. Kalau aku menuruti perkataanmu, tak mungkin aku menuliskan surat ini diam-diam padamu. Pasti kita sudah bercengkrama sembari mendengarmu mengomel soal kebiasaanku lupa makan.

Aku memang bukan manusia paling sempurna, Yah. Aku seringkali mengecewakanmu dengan berbagai keteledoran yang ku lakukan. Maafkan aku, Ayah. Andai kata maaf mampu membalikkan kemudi waktu. 

Andai saja...

Ayah ingat pertengahan bulan Juli yang memulai semuanya? Saat itu aku memang sedang tak berkonsentrasi ke hal apapun kecuali promosi acara off air kami. Rasanya mahakarya yang aku dan tim buat sudah sangat sempurna. Tak mungkin kami meninggalkan sedetik pun bayi yang telah kami rancang bersama-sama. Kami sangat sibuk saat itu, Ayah. Kau tahu sendiri aku tipe perfeksionis. Tak akan ku lewatkan satu kesalahan lepas dari mataku. Pantas saja aku dipercaya sebagai ketua tim untuk acara tersebut.

Semuanya sudah siap. Seluruh pengisi acara sudah menyanggupi permintaan kami. Aku dan segenap kru sudah bersiap di belakang panggung saat itu. Dada kami bergemuruh oleh gambaran betapa suksesnya acara tersebut akan berlangsung.

Tebakan kami memang benar, Ayah. Acara pun bergulir satu demi satu. Di sela-sela acara, aku melihat banyak sekali penonton yang tampak larut dengan penampilan yang kami sajikan. Bahkan Pak Dimas, atasanku itu, menjanjikan promosi jabatan padaku setelah acara ini.

Bukankah itu hebat, Ayah?

Aku terus terang sangat girang. Tampaknya setelah ini, semua masa depanku akan terpenuhi. Mimpi sebagai penyiar, kuliah yang lancar dengan indeks prestasi memuaskan, bahkan Aristha pun datang saat acara tersebut. Ayah kemana saat itu ya? Padahal aku ingin sekali memeluk Ayah menyalurkan rasa kebahagiaan yang menjalari sendi-sendi tubuhku. Ayah pasti bangga sekali padaku.

Ah, di bagian ini Ayah memang selalu benar. Aku memang belum memasukkan makanan apapun sedari sore lalu. Dan tentu saja setelah acara penutupan yang gegap gempita, aku sudah tak mampu mengingat apa-apa lagi. Semuanya gelap, Ayah. Aku sangat takut saat itu.

Kalau saja aku punya satu permintaan yang sanggup diloloskan malaikat, aku hanya ingin bertemu dengan Ayah. Meminta maaf soal betapa keras kepala dan teledornya aku. Jujur, aku tak ingin membuatmu sedih.
Sudahkah ku bilang bahwa senyummu adalah ketenangan bagiku, Ayah?

Tapi tentu saja itu tidak mungkin. Untuk sesaat, tubuhku terasa tersedot ke dalam pusaran yang kuat. Bagaikan ada sebongkah magnet besar yang menarik tubuhku sebagai partikel besi. Aku merasa sangat pusing saat itu. Aku terjaga, Ayah. Tapi tak memiliki kekuatan banyak untuk menggerakkan tanganku apalagi menghambur ke pelukanmu.

Aku ingat kau menahan kesedihanmu dengan susah payah. Bibirmu gemetar dan remasan pada tanganku kau perkuat. Aku tahu kau tak sanggup melihatku seperti itu. Ah, maafkan aku Ayah. Maaf.

Sampai di saat aku bahkan menyerah pada arus sedotan magnet tersebut. Rasanya sangat sakit, Ayah. Kalau saja aku punya kekuatan untuk berteriak, pasti sudah terdengar raungan maha dahsyat dari bibirku. Tapi aku tak berdaya. Perasaan itu tergantikan oleh perasaan kebas. Aku seperti melayang, Ayah.

Tubuhku bebas dari semua himpitan yang seolah mampu membuat kepalaku pecah. Tapi aku tertegun melihat kau memeluk ragaku sambil mengerang sedih, Ayah. Apa artinya? Tolong berhentilah bersedih. Aku tak kuat harus melihatmu terluka.

Di sisi lain aku merasa bebas dari himpitan sesak yang menekan tubuhku, namun di sisi lain, aku tak ingin membuatmu khawatir. Aku memang sudah bebas, Ayah. Melayang. Tapi perasaan ini berbeda dengan perasaan melayang yang kau timbulkan. Saat kau mengangkat badanku versi belia, aku merasa melayang namun aman. Namun sekarang aku memag melayang tapi terlepas dari renguhanmu. Aku takut, Ayah.

Tahu apa yang paling ku inginkan? Saat melihat kau menggenggam tanah merah keesokan harinya, aku merasa ingin menarikmu ikut bersamaku. Sebut aku egois, Ayah. Namun tentu saja aku tak mampu. Aku hanya bisa terdiam di sampingmu. Melihatmu terdiam dengan pandangan kosong.

“Saatnya pulang, Ayah,” begitulah kata Aristha saat itu. Dirinya tampak muram dengan setelan hitam-hitam. Ah, apakah aku juga membuatnya sedih? Sebesar itukah aku meyakiti kalian semua, orang-orang yang aku sayang?

Kau tampaknya tak mampu meninggalkan ragaku barang sesenti pun. Sejenak kau menggeleng perlahan. Aristha terlihat rapuh dan mulai menghampirimu. Tangisnya pun pecah untuk yang entah keberapa kalinya. Hatiku teriris, Ayah. Aku harus menyaksikan pemandangan seperti itu. Anak durhaka macam apa aku ini.

Tempat perbaringan terakhirku  kini macam-macam warnanya. Aroma bunga kamboja yang tajam tampak menguar liar. Tapi ada banyak bunga krisantium di  atasnya juga. Ah, Ayah memang tahu kesukaanku. Bunga krisantium warna kuning pun tampak mendominasi disitu. Aku ingat Ayah memperkenalkan bunya krisantium saat aku berumur 14 tahun.

“Itu bunga apa, Ayah?” tanyaku suatu hari sambil mengusap sebuah bunga berwarna kuning dengan kelopak yang banyak.

“Namanya krisantium. Cantik ya, Kak. Lihat deh, bunga ini punya banyak kelopak”, Ayah mengelus kelopak bunga tersebut satu per satu. Aku mengikutinya sambil terkagum-kagum. Saat itu, nama krisantium sangat indah sekali bagiku.

“Kelopaknya banyak nih, Kak. Kalo dibagikan ke banyak orang, pasti kebagian semuanya. Hehehe. Nah, kamu juga harus kayak bunga krisantium. Harus cukup untuk banyak orang. Harus memberikan keindahan dan ketenangan bagi orang banyak,” jelasmu sambil mencabut satu kelopak buga tersebut dan menaruhnya di telapak tanganku.

Aku hanya bisa tersenyum cengengesan saat itu. Konsep bunga krisantium memang sudah berakar di otakku berkat kau, Ayah. Harus cukup untuk orang banyak, harus memberikan keindahan dan ketenangan bagi orang banyak. Jadi memang tak ada salahnya jika aku ingin menyenangkan orang banyak, bukan? Tapi maafkan aku, Ayah jika prinsip in yang akhirnya membuat aku terenggut dari sisimu.

Ah Ayah, berhentilah tersedu. Aku tidak apa-apa kok. Aku hanya tersentuh jika kau bersedih.
Bunga krisantium terakhir yang kau persembahkan padaku itu jadi pusat pandanganku saat aku harus menyaksikan ragamu tak mau beranjak dari tubuhku. Tanganmu terkepal keras, Ayah. Aku mampu merasakannya dari sini.

Untung saja Aristha cekatan membujukmu. Meski harus perih melihat kalian berdua berjalan menjauh, aku dapat merasakan betapa inginnya kau kembali ke sebelah ragaku. Kau berjalan lamat-lamat seakan tak mampu dipisahkan dari tempat ini.

Aku ingin menangis saat itu, Ayah. Aku menyayangimu dan Aristha begitu dalam. Berhentilah menyiksa diri kalian karena kesalahanku. Bahkan sampai sekarang, setelah waktu terus bergulir, kalian berdua masih saja terus melamun. Puncaknya adalah ketika kau melewati kamarku. Saking tak sanggupnya menahan panas di mata, kau menutup kamarku dan tak menyentuhnya lagi.

Aku melihatnya, Ayah. Aku melihat semuanya.

Tapi Ayah tenang saja. Aku disini sudah tenang kok. Seharusnya ayah tak usah merisaukan aku. Aku sudah tak lagi terhimpit sesuatu yang selama setahun terakhir ini menggangguku. Aku sudah terbebas, Ayah. Sesekali aku memang melihat kalian, memantau dari kejauhan untuk menenangkan hatiku.

Sekali lagi aku harus menghaturkan banyak-banyak maaf padamu dan Aristha. Aku memang salah, aku memang keras kepala, aku yang teledor ini melupakan pesan-pesanmu. Dan sekarang lihat saja kalian yang harus menanggung kesedihan akibat kealpaanku.

Aku mencintaimu, Ayah. Sampaikan salamku pada Aristha. Aku tahu benar dia akan tumbuh menjadi gadis paling tegar dibandingkan teman-temannya. Ayah juga harus tetap bahagia. Banyak-banyaklah pergi keluar atau sekedar mengobrol dengan teman lama. Ayah harus lebih banyak tersenyum mulai saat ini.

Aku baik-baik saja, Ayah. Kapan-kapan kita ngobrol ya. Aku rindu sekali pada kalian.

Salam kecup,
Sera.

***

Aristha terbangun dengan satu hentakan keras.

Mimpi apa yang baru dialaminya tadi? Entahlah, ia tak begitu ingat. Bulir-bulir keringat jatuh menetesi pakaiannya. Napasnya tersengal-sengal seakan lega sudah keluar dari satu pusaran yang menghimpit badannya sesak.

Sekilas ia merasakan kehadiran Sera, kakak sulungnya, di bunga tidur tadi. Tapi hanya sesaat. Sera hanya tersenyum padanya sambil melambai ringan. Terdengar pula tawanya yang begitu khas, tergelak sampai badannya ikut terjungkal. Dan bagian yang paling iingat Aristha ialah ia melihat tubuh kakaknya ini disinari pendar-pendar putih yang setengah redup, setengah menyala.

Namun setelah itu, ia tak ingat apa-apa lagi. Apakah ia melompat ke mimpi yang lain atau langsung terbangun, juga tak mampu direka oleh Aristha. Sampai dimana ia tersadar dengan keadaan basah keringat seperti itu. Ah, mungkin ini akibat kesedihan yang sudah berminggu-minggu mendera keluarganya. Terlalu dipikirkan sampai masuk dalam mimpi, pikirnya singkat.

Aristha mengerling ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul empat pagi. Ia ada kuliah jam sebelas siang nanti. Tak ada tugas yang menghantui pikirannya. Mungkin hanya Sera yang menghantuinya pagi ini.

Ia terkesiap oleh pikirannya sendiri. Bisa-bisanya ia mencetuskan pemikiran seperti itu. Aneh.

Buru-buru ia melangkah keluar kamar untuk membasuh muka. Mungkin mandi dini hari ini bisa menyegarkan pikirannya. Teringat menu yang akan ia masak. Menyebutan satu per satu bumbu yang ia masih ingat ada persediannya di dapur. Semenjak peninggalan Ibu dan Sera, kini peran mengurus rumah dan Ayah adalah total tanggung jawabnya. Ini membuat Aristha tak mampu berlarut-larut dalam kesedihan. Ada keluarga kecil yang harus ia kelola. Mereka harus melanjutkan hidup.

Ayah memang masih bekerja di percetakan miliknya. Belakangan ini, beliau bekerja dua kali lipat lebih keras daripada biasanya. Pergi saat matahari terbit dan pulang saat malam sudah setengahnya. Ada banyak pesanan, begitu timpalnya saat Aristha menanyakan perihal ini. namun Aristha tahu, jauh di lubuk hati Ayah, ia hanya tak ingin kesepian.

Andai Aristha bisa menemani ayahnya setiap saat.

Seusai mandi ia melangahkan kaki ke arah dapur. Berusaha membuat kebisingan seminim mungkin saat memasak. Tak ingin membangunkan ayahnya yang baru pulang jam sepuluh malam kemarin. Aristha tersenyum seulas memandangi lembar-lembar daun kangkung yang sedang ia petik dari batangnya. Sera sangat suka sayur kangkung. Dulu kakaknya ini sanggup memasak sayur kangkung selama seminggu tanpa jeda!

Ah, ternyata tak hanya Ayah, dirinya pun sangat merindukan sosok Sera yang selalu enerjik serta tak mampu berhenti mengoceh. Pantas saja ia menjadi penyiar. Sampai sekarang, masih banyak penggemar siaran kakaknya yang mengirimkan bunga ke rumah. Berbagai surat juga banyak dilayangkan ke email Sera. Aristha memantau ini semua karena jelas ia tahu password kakaknya. Tak ada rahasia diantara mereka berdua.

Aristha cepat-cepat menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Ia tak boleh bersedih, ide itu pasti tak disukai oleh Sera. Ya, kakaknya itu cepat sekali merasa sedih jika orang di sekitarnya sedih. Namun, ia bisa jadi penarik kebahagiaan paling kuat pada orang-orang di lingkarannya.

Krieeeet.

Aristha menoleh ke ujung koridor. Ayah pasti sudah bangun.

“Aristha masak dulu ya, Yah,” teriaknya pada sosok kurus yang keluar dari kamar. Ayahnya hanya tersenyum dan berjalan ke arah dispenser.

“Eh Ayah mau minum kopi? Tumben pagi banget. Sebenatar, biar Aristha saja yang bikin,” sahutnya bergegas menyudahi memetik kangkung.

“Udah, nggak apa-apa. Kamu terusin aja masak dulu. Biar Ayah bikin kopi sendiri,” jawabnya sambil memegang cangkir hitam favoritnya setiap menyeruput kopi. Warnanya hitam. Sengaja memakai gelas itu terus menerus agar aroma kopi yang menempel pada permukaan cangkir tak bercampur dengan cangkir lain.
Aristha melanjutkan urutan memasaknya sambil mengawasi gerak gerik Ayah melalui sudut matanya.

“Tadi malam Ayah mimpi soal Sera lho,” ucap Ayah singkat. Ia terpekur duduk di meja makan sambil memegang cangkirnya yang panas. Aristha tersedak.

“Hah?”

“Iya, Ayah mimpiin Sera tadi malam. Katanya kirim salam buat kamu. Dia bilang, kamu akan tumbuh jadi gadis yang paling tegar dibandingkan teman-temanmu. Hahaha.” Ayah tergelak pelan sambil menggelengkan kepalanya geli.

Aristha hanya bisa terpaku. Ayah memimpikan Sera? Astaga, apakah mimpinya tentang Sera tadi malam, juga nyata?

“Dia... ngomong apa, Yah?” Aristha berusaha keras menahan getaran pada kalimatnya.

“Banyak. Dia ngomong banyak hal. Dia ajak Ayah ngobrol ngalor ngidul. Soal masa kecilnya, tentang pekerjaan yang ia cintai, tentang acara off air yang terakhir kali itu, tentang kamu, impiannya, ah banyak sekali. Ayah... jadi bisa melepaskan sebagian rindu Ayah padanya.” Hati Aristha berdenyut-denyut nyeri mendengar ucapan Ayah.

“Dia cantik sekali, Ris. Ada pendar putih mengelilingi tubuhnya. Rasanya dia bersinar sekali, dan raut mukanya ceria. Katanya kita nggak boleh sering-sering sedih. Harus banyak-banyak tertawa seperti ini. Hahaha,” sahut Ayah sambil meneruskan tertawa. Aku hanya mampu terpekur.

Perlahan-lahan aku menghampiri Ayah. “Tadi malam, Aristha juga sepertinya mimpiin Sera, Yah. Tapi ingatan Aristha tentang itu buram. Entah beneran mimpi atau nggak. Apa kabar ya dia, Yah? Aristha kangen banget,” ucapnya terbata. Sudah menguap keinginan memasak. Yang tersisa hanyalah keinginan untuk mengenang Sera lebih dalam.

Ayah hanya terdiam mendengar ucapan anak bungsunya ini. Himpitan yang familiar Aristha rasakan sejak beberapa mingu lalu kini menggerogoti perasaan kembali. Matanya panas. Aristha menengadahkan wajah agar tak jatuh air mata yang sekuat tenaga ditahan. Tidak di depan Ayah, pikir Aristha.

Ayah meremas tangan Aristha pelan. Mata perempua ini tak dipungkiri,  semakin panas.

“Jangan nangis, Ris. Sera akan semakin sedih. Kakakmu itu, memang ngangenin sih ya,” kata Ayah lamat-lamat.

Pertahanan Aristha resmi jebol. Ia mengangkupkan wajah ke punggung Ayah. Keluar sudah semua air mata yang ditahannya pagi ini. Bayangan Sera yang cerewet, yang selalu jadi tempat curhat  tiap kali Aristha risau, Sera yang mengajari Aristha untuk jadi perempuan hebat, Sera yang ceria. Semua berkelebat ganas dalam pikiran Aristha.

Kini lupakan sudah Aristha yang tegar. Untuk saat ini saja Aristha ingin sekali menumpahkan kesedihan yang ia simpan pada Ayahnya. Betapa terlukanya ia kehilangan Sera. Dan ia yakin Ayahnya pun merasakan hal yang sama dengannya.



-- hit me on @dinikopi

2 komentar:

  1. Nah ini yang sedih :(

    BalasHapus
  2. Aaakkkk tapi cerpen ini yang salah nulis. harusnya anak laki laki :P

    BalasHapus

Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?