Gambar dari : https://pinterest.com/pin/267401296595290658/ |
Halo Ayah,
Sudah lama ya
kita tak bertemu. Aku harap kau menyesap kopi hitam pekat yang diseduh dengan
cangkir porselen warna hitam kesukaanmu saat membaca surat ini. Dan oh iya,
pasti kau lupa untuk sarapan. Kau biasanya melewatkan makan pagi dan langsung
merangkapnya menjadi makan siang. Kuharap itu tidak terjadi padamu sekarang,
Ayah. Fisikmu menua, dan aku khawatir akan hal itu.
Ayah ingat dulu
saat aku kecil? Waktu itu aku jadi putri kecil kesayangan Ayah dan Ibu. Hahaha,
dulu tak ada Aristha yang menggantikan singgasanaku. Ia tentu saja belum lahir.
Aku ingat sekali ada waktu lima tahun sebelum
kasih sayang kalian terbagi dua pada Aristha.
Dulu aku sangat
suka mengoceh, Ayah pasti masih mengenangnya sampai sekarang. Di rumah, tak
hentinya aku berceloteh tentang apa saja yang ingin ku sampaikan. Ibu yang
sudah kewalahan menanggapiku bahkan sampai rajin menyetel radio untuk
menggantikan perannya sebagai lawan bicaraku. Sekarang aku tahu mengapa aku
menyukai radio, Ayah. Ibu memang sudah membiasakanku dengan radio sedari kecil.
Ya, dari hobi
mengoceh ku itu.
Dan aku ingat
seusai Ayah pulang kerja pasti aku langsung menghambur ke pelukanmu untuk dapat
kecupan di pipi sebagai bonus. Kau akan terkekeh senang dan pura-pura terlalu
lelah untuk mengangkatku dari lantai. Tapi jangan sebut aku pengoceh handal,
Ayah. Aku selalu bisa membujukmu untuk menggendongku. Saat itu, aku merasa
melayang bebas tapi tetap aman dalam rengkuhanmu. Ah, aku rindu masa-masa itu,
Ayah.
Oh, juga
tingkahku yang selalu hanya bisa tidur jika sudah berada di ketiakmu. Ingatkah
kau pada kebiasaan kecilku itu, Ayah? Ketiakmu bagiku adalah tempat ternyaman
di seluruh dunia saat itu. Lihat saja, jika sudah berada di kepitan ketiakmu,
beberapa menit kemudian pasti aku sudah terpulas. Dan kau akan menggendongku
masuk ke kelambu agar tak ada seekor pun nyamuk yang menggigit.
Ayah berjanji
untuk tidak menangis kan? Ayah tidak mengeluarkan air mata di bagian suratku
yang ini kan? Ada banyak hal yang ingin ku sampaikan, Ayah. Tolonglah agar tak
menitikkan kesedihan. Dan aku akan terus mengoceh untuk menemani pagimu.
Aku terus tumbuh
besar, Yah. Aku masih ingat tatapan bangga Ayah saat aku menunjukkan NEM paling
tinggi di SD. Lihat kan Yah, nilaiku dulu mungkin saja merah, tapi aku bisa
kasih tunjuk ke Ayah kalau aku juga bisa berprestasi seperti yang Ayah
inginkan. Walaupun suka mengoceh, aku tetap bisa jadi bintang kelas. Ayah dan
ibu langsung mentraktir aku satu batang gulali merah jambu yang besar saat itu.
Gulali merah
jambu selalu mengingatkanku pada setiap perayaan yang terjadi di keluarga,
Ayah.
Kehadirannya juga tak absen saat aku memenangkan lomba karya ilmiah se-kabupaten.
Ayah ingat apa yang ku tulis saat itu? Iya, aku menulis soal rokok. Sangat
berbalik dengan keadaan Ayah yang seakan tak bisa lepas menghembuskan asap
nikotin setiap hari. Aku tahu mukamu saat itu pias, tapi juga ada semburat
kebanggan disana.
Aku terus menerus
menahan geli saat itu. Ibu dan Aristha kerap menyinggung tentang ironi ini.
Tapi kau hanya tersenyum sambil menyelipkan rokok pada bibirmu. Lucu sekali
saat itu, Ayah.
Aku selalu jadi
gadis kecil favorit Ayah, kan?
Walaupun pada
kenyataannya Ayah pernah menangis karena aku. Maafkan aku Ayah. Aku berusaha
keras untuk selalu membuatmu bahagia. Ya, salah satunya dengan bertutur seperti
sekarang ini padamu. Kau tidak akan kesepian kan? Masih ada aku disini, Ayah.
Aku melihatmu setiap hari. Melihat kalian.
Aku memang suka
ngobrol, Yah. Sampai-sampai tak ragu lagi memilih jurusan komunikasi saat masuk
kuliah dulu. Kau sangat mendukungku dalam hal ini. Radio langsung menjadi
duniaku, Ayah. Seakan rumah keduaku.
Ingat saat siang
hari di bulan Mei tanggal dua puluh, aku menelponmu hanya untuk menyalakan
radio? Ya, aku meminta lagu How Deep Is
Your Love diputarkan khusus untuk Ayah. Aku tahu benar itu lagu kesukaanmu,
mengingat aku sudah hapal menyanyikannya lantaran kau putar terus saat
bepergian dengan mobil. Saat itu Ayah seperti tercekat kan? Aku bisa merasakan
suara Ayah dipenuhi oleh rasa haru.
Akhirnya aku jadi
penyiar, Ayah. Aku mencapai impianku dulu, cita-citaku sedari kecil. Tidak
sia-sia bukan usaha Ibu menenangkanku dengan radio. Eh, ternyata ktika besar,
aku sukses berprofesi menjadi penyiar. Punya jadwal cuap-cuap tersendiri di
salah satu stasiun radio swasta di Jakarta memang impianku dari dulu, Ayah.
Jangan salahkan radio jika di beberapa tahun umurku, kita sempat jarang bersua.
Tapi aku tetap mengingatmu dengan lengkap, Ayah. Mana bisa ku lupakan seseorang
yang melindungi ku sedari kecil.
Kesibukanku
memang makin ketat. Kita sudah jarang lagi mengobrol. Saat aku pulang, kau
sudah terlelap. Saat pagi menjelang, aku sudah terbirit-birit mengejar bis
untuk siaran paling pagi. Sudah tak ada obrolan sore hari di depan televisi
atau sesederhana mencuci mobil bersama sambil membicarakan masa depan. Ah,
andai bisa ku ulang waktu itu.
Perasaan bersalah
memang mendera hatiku tatkala aku tak mampu meluangkan waktu denganmu. Semenjak
kepergian Ibu di usiaku yang sedang puber, kita memang makin dekat satu sama
lain, begitu juga dengan Aristha. Maafkan aku Ayah jika aku tak ada untuk kau
pantau. Aku tahu masih ada Aristha yang mengurusimu. Izinkanlah aku Ayah
menyampaikan penyesalan terdalamku atas waktu-waktu yang terbuang percuma.
Terkadang di
beberapa kesempatan, makan pagi adalah satu-satunya kesempatan kita bersama bisa
berkumpul. Memang bukan waktu yang lama, namun aku menikmati saat-saat kita
bertiga mengelilingi meja makan. Itu adalah saatnya aku mengoceh singkat
tentang jadwal siaranku seraya memaksakan beberapa suap nasi masuk ke dalam
mulut. Aristha juga pasti akan mulai bercerita soal gurunya yang menyebalkan
atau banyaknya pekerjaan rumah yang dibebankan. Dan kau hanya tersenyum
memandangi polah kami berdua.
“Jaga kesehatan,
Kak. Kalau sibuk tapi sehat kan jadi lebih enak beraktivitasnya.” Aku ingat
kata-kata Ayah yang itu. Ya, Ayah memang selalu benar. Kalau aku lebih sehat,
pasti aku masih jadi penyiar favorit di ibukota. Kalau aku menuruti
perkataanmu, tak mungkin aku menuliskan surat ini diam-diam padamu. Pasti kita
sudah bercengkrama sembari mendengarmu mengomel soal kebiasaanku lupa makan.
Aku memang bukan
manusia paling sempurna, Yah. Aku seringkali mengecewakanmu dengan berbagai
keteledoran yang ku lakukan. Maafkan aku, Ayah. Andai kata maaf mampu
membalikkan kemudi waktu.
Andai saja...
Ayah ingat
pertengahan bulan Juli yang memulai semuanya? Saat itu aku memang sedang tak
berkonsentrasi ke hal apapun kecuali promosi acara off air kami. Rasanya mahakarya yang aku dan tim buat sudah sangat
sempurna. Tak mungkin kami meninggalkan sedetik pun bayi yang telah kami
rancang bersama-sama. Kami sangat sibuk saat itu, Ayah. Kau tahu sendiri aku
tipe perfeksionis. Tak akan ku lewatkan satu kesalahan lepas dari mataku. Pantas
saja aku dipercaya sebagai ketua tim untuk acara tersebut.
Semuanya sudah
siap. Seluruh pengisi acara sudah menyanggupi permintaan kami. Aku dan segenap
kru sudah bersiap di belakang panggung saat itu. Dada kami bergemuruh oleh
gambaran betapa suksesnya acara tersebut akan berlangsung.
Tebakan kami
memang benar, Ayah. Acara pun bergulir satu demi satu. Di sela-sela acara, aku
melihat banyak sekali penonton yang tampak larut dengan penampilan yang kami
sajikan. Bahkan Pak Dimas, atasanku itu, menjanjikan promosi jabatan padaku
setelah acara ini.
Bukankah itu
hebat, Ayah?
Aku terus terang
sangat girang. Tampaknya setelah ini, semua masa depanku akan terpenuhi. Mimpi
sebagai penyiar, kuliah yang lancar dengan indeks prestasi memuaskan, bahkan
Aristha pun datang saat acara tersebut. Ayah kemana saat itu ya? Padahal aku
ingin sekali memeluk Ayah menyalurkan rasa kebahagiaan yang menjalari
sendi-sendi tubuhku. Ayah pasti bangga sekali padaku.
Ah, di bagian ini
Ayah memang selalu benar. Aku memang belum memasukkan makanan apapun sedari
sore lalu. Dan tentu saja setelah acara penutupan yang gegap gempita, aku sudah
tak mampu mengingat apa-apa lagi. Semuanya gelap, Ayah. Aku sangat takut saat
itu.
Kalau saja aku
punya satu permintaan yang sanggup diloloskan malaikat, aku hanya ingin bertemu
dengan Ayah. Meminta maaf soal betapa keras kepala dan teledornya aku. Jujur, aku
tak ingin membuatmu sedih.
Sudahkah ku
bilang bahwa senyummu adalah ketenangan bagiku, Ayah?
Tapi tentu saja
itu tidak mungkin. Untuk sesaat, tubuhku terasa tersedot ke dalam pusaran yang
kuat. Bagaikan ada sebongkah magnet besar yang menarik tubuhku sebagai partikel
besi. Aku merasa sangat pusing saat itu. Aku terjaga, Ayah. Tapi tak memiliki
kekuatan banyak untuk menggerakkan tanganku apalagi menghambur ke pelukanmu.
Aku ingat kau
menahan kesedihanmu dengan susah payah. Bibirmu gemetar dan remasan pada
tanganku kau perkuat. Aku tahu kau tak sanggup melihatku seperti itu. Ah,
maafkan aku Ayah. Maaf.
Sampai di saat
aku bahkan menyerah pada arus sedotan magnet tersebut. Rasanya sangat sakit, Ayah.
Kalau saja aku punya kekuatan untuk berteriak, pasti sudah terdengar raungan
maha dahsyat dari bibirku. Tapi aku tak berdaya. Perasaan itu tergantikan oleh
perasaan kebas. Aku seperti melayang, Ayah.
Tubuhku bebas
dari semua himpitan yang seolah mampu membuat kepalaku pecah. Tapi aku tertegun
melihat kau memeluk ragaku sambil mengerang sedih, Ayah. Apa artinya? Tolong
berhentilah bersedih. Aku tak kuat harus melihatmu terluka.
Di sisi lain aku
merasa bebas dari himpitan sesak yang menekan tubuhku, namun di sisi lain, aku
tak ingin membuatmu khawatir. Aku memang sudah bebas, Ayah. Melayang. Tapi
perasaan ini berbeda dengan perasaan melayang yang kau timbulkan. Saat kau
mengangkat badanku versi belia, aku merasa melayang namun aman. Namun sekarang
aku memag melayang tapi terlepas dari renguhanmu. Aku takut, Ayah.
Tahu apa yang
paling ku inginkan? Saat melihat kau menggenggam tanah merah keesokan harinya,
aku merasa ingin menarikmu ikut bersamaku. Sebut aku egois, Ayah. Namun tentu
saja aku tak mampu. Aku hanya bisa terdiam di sampingmu. Melihatmu terdiam
dengan pandangan kosong.
“Saatnya pulang,
Ayah,” begitulah kata Aristha saat itu. Dirinya tampak muram dengan setelan
hitam-hitam. Ah, apakah aku juga membuatnya sedih? Sebesar itukah aku meyakiti
kalian semua, orang-orang yang aku sayang?
Kau tampaknya tak
mampu meninggalkan ragaku barang sesenti pun. Sejenak kau menggeleng perlahan.
Aristha terlihat rapuh dan mulai menghampirimu. Tangisnya pun pecah untuk yang
entah keberapa kalinya. Hatiku teriris, Ayah. Aku harus menyaksikan pemandangan
seperti itu. Anak durhaka macam apa aku ini.
Tempat
perbaringan terakhirku kini macam-macam
warnanya. Aroma bunga kamboja yang tajam tampak menguar liar. Tapi ada banyak
bunga krisantium di atasnya juga. Ah,
Ayah memang tahu kesukaanku. Bunga krisantium warna kuning pun tampak
mendominasi disitu. Aku ingat Ayah memperkenalkan bunya krisantium saat aku
berumur 14 tahun.
“Itu bunga apa,
Ayah?” tanyaku suatu hari sambil mengusap sebuah bunga berwarna kuning dengan
kelopak yang banyak.
“Namanya
krisantium. Cantik ya, Kak. Lihat deh, bunga ini punya banyak kelopak”, Ayah
mengelus kelopak bunga tersebut satu per satu. Aku mengikutinya sambil
terkagum-kagum. Saat itu, nama krisantium sangat indah sekali bagiku.
“Kelopaknya
banyak nih, Kak. Kalo dibagikan ke banyak orang, pasti kebagian semuanya.
Hehehe. Nah, kamu juga harus kayak bunga krisantium. Harus cukup untuk banyak
orang. Harus memberikan keindahan dan ketenangan bagi orang banyak,” jelasmu
sambil mencabut satu kelopak buga tersebut dan menaruhnya di telapak tanganku.
Aku hanya bisa
tersenyum cengengesan saat itu. Konsep bunga krisantium memang sudah berakar di
otakku berkat kau, Ayah. Harus cukup untuk orang banyak, harus memberikan
keindahan dan ketenangan bagi orang banyak. Jadi memang tak ada salahnya jika
aku ingin menyenangkan orang banyak, bukan? Tapi maafkan aku, Ayah jika prinsip
in yang akhirnya membuat aku terenggut dari sisimu.
Ah Ayah,
berhentilah tersedu. Aku tidak apa-apa kok. Aku hanya tersentuh jika kau
bersedih.
Bunga krisantium
terakhir yang kau persembahkan padaku itu jadi pusat pandanganku saat aku harus
menyaksikan ragamu tak mau beranjak dari tubuhku. Tanganmu terkepal keras, Ayah.
Aku mampu merasakannya dari sini.
Untung saja
Aristha cekatan membujukmu. Meski harus perih melihat kalian berdua berjalan
menjauh, aku dapat merasakan betapa inginnya kau kembali ke sebelah ragaku. Kau
berjalan lamat-lamat seakan tak mampu dipisahkan dari tempat ini.
Aku ingin
menangis saat itu, Ayah. Aku menyayangimu dan Aristha begitu dalam. Berhentilah
menyiksa diri kalian karena kesalahanku. Bahkan sampai sekarang, setelah waktu
terus bergulir, kalian berdua masih saja terus melamun. Puncaknya adalah ketika
kau melewati kamarku. Saking tak sanggupnya menahan panas di mata, kau menutup
kamarku dan tak menyentuhnya lagi.
Aku melihatnya, Ayah.
Aku melihat semuanya.
Tapi Ayah tenang
saja. Aku disini sudah tenang kok. Seharusnya ayah tak usah merisaukan aku. Aku
sudah tak lagi terhimpit sesuatu yang selama setahun terakhir ini menggangguku.
Aku sudah terbebas, Ayah. Sesekali aku memang melihat kalian, memantau dari
kejauhan untuk menenangkan hatiku.
Sekali lagi aku
harus menghaturkan banyak-banyak maaf padamu dan Aristha. Aku memang salah, aku
memang keras kepala, aku yang teledor ini melupakan pesan-pesanmu. Dan sekarang
lihat saja kalian yang harus menanggung kesedihan akibat kealpaanku.
Aku mencintaimu,
Ayah. Sampaikan salamku pada Aristha. Aku tahu benar dia akan tumbuh menjadi
gadis paling tegar dibandingkan teman-temannya. Ayah juga harus tetap bahagia.
Banyak-banyaklah pergi keluar atau sekedar mengobrol dengan teman lama. Ayah
harus lebih banyak tersenyum mulai saat ini.
Aku baik-baik
saja, Ayah. Kapan-kapan kita ngobrol ya. Aku rindu sekali pada kalian.
Salam kecup,
Sera.
***
Aristha terbangun
dengan satu hentakan keras.
Mimpi apa yang
baru dialaminya tadi? Entahlah, ia tak begitu ingat. Bulir-bulir keringat jatuh
menetesi pakaiannya. Napasnya tersengal-sengal seakan lega sudah keluar dari
satu pusaran yang menghimpit badannya sesak.
Sekilas ia
merasakan kehadiran Sera, kakak sulungnya, di bunga tidur tadi. Tapi hanya
sesaat. Sera hanya tersenyum padanya sambil melambai ringan. Terdengar pula
tawanya yang begitu khas, tergelak sampai badannya ikut terjungkal. Dan bagian
yang paling iingat Aristha ialah ia melihat tubuh kakaknya ini disinari
pendar-pendar putih yang setengah redup, setengah menyala.
Namun setelah
itu, ia tak ingat apa-apa lagi. Apakah ia melompat ke mimpi yang lain atau
langsung terbangun, juga tak mampu direka oleh Aristha. Sampai dimana ia tersadar
dengan keadaan basah keringat seperti itu. Ah, mungkin ini akibat kesedihan
yang sudah berminggu-minggu mendera keluarganya. Terlalu dipikirkan sampai
masuk dalam mimpi, pikirnya singkat.
Aristha
mengerling ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul empat pagi. Ia ada
kuliah jam sebelas siang nanti. Tak ada tugas yang menghantui pikirannya.
Mungkin hanya Sera yang menghantuinya pagi ini.
Ia terkesiap oleh
pikirannya sendiri. Bisa-bisanya ia mencetuskan pemikiran seperti itu. Aneh.
Buru-buru ia
melangkah keluar kamar untuk membasuh muka. Mungkin mandi dini hari ini bisa
menyegarkan pikirannya. Teringat menu yang akan ia masak. Menyebutan satu per
satu bumbu yang ia masih ingat ada persediannya di dapur. Semenjak peninggalan
Ibu dan Sera, kini peran mengurus rumah dan Ayah adalah total tanggung jawabnya.
Ini membuat Aristha tak mampu berlarut-larut dalam kesedihan. Ada keluarga
kecil yang harus ia kelola. Mereka harus melanjutkan hidup.
Ayah memang masih
bekerja di percetakan miliknya. Belakangan ini, beliau bekerja dua kali lipat
lebih keras daripada biasanya. Pergi saat matahari terbit dan pulang saat malam
sudah setengahnya. Ada banyak pesanan, begitu timpalnya saat Aristha menanyakan
perihal ini. namun Aristha tahu, jauh di lubuk hati Ayah, ia hanya tak ingin
kesepian.
Andai Aristha
bisa menemani ayahnya setiap saat.
Seusai mandi ia
melangahkan kaki ke arah dapur. Berusaha membuat kebisingan seminim mungkin
saat memasak. Tak ingin membangunkan ayahnya yang baru pulang jam sepuluh malam
kemarin. Aristha tersenyum seulas memandangi lembar-lembar daun kangkung yang
sedang ia petik dari batangnya. Sera sangat suka sayur kangkung. Dulu kakaknya
ini sanggup memasak sayur kangkung selama seminggu tanpa jeda!
Ah, ternyata tak
hanya Ayah, dirinya pun sangat merindukan sosok Sera yang selalu enerjik serta
tak mampu berhenti mengoceh. Pantas saja ia menjadi penyiar. Sampai sekarang,
masih banyak penggemar siaran kakaknya yang mengirimkan bunga ke rumah.
Berbagai surat juga banyak dilayangkan ke email Sera. Aristha memantau ini
semua karena jelas ia tahu password
kakaknya. Tak ada rahasia diantara mereka berdua.
Aristha
cepat-cepat menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Ia tak boleh bersedih,
ide itu pasti tak disukai oleh Sera. Ya, kakaknya itu cepat sekali merasa sedih
jika orang di sekitarnya sedih. Namun, ia bisa jadi penarik kebahagiaan paling
kuat pada orang-orang di lingkarannya.
Krieeeet.
Aristha menoleh
ke ujung koridor. Ayah pasti sudah bangun.
“Aristha masak
dulu ya, Yah,” teriaknya pada sosok kurus yang keluar dari kamar. Ayahnya hanya
tersenyum dan berjalan ke arah dispenser.
“Eh Ayah mau
minum kopi? Tumben pagi banget. Sebenatar, biar Aristha saja yang bikin,”
sahutnya bergegas menyudahi memetik kangkung.
“Udah, nggak
apa-apa. Kamu terusin aja masak dulu. Biar Ayah bikin kopi sendiri,” jawabnya
sambil memegang cangkir hitam favoritnya setiap menyeruput kopi. Warnanya
hitam. Sengaja memakai gelas itu terus menerus agar aroma kopi yang menempel
pada permukaan cangkir tak bercampur dengan cangkir lain.
Aristha
melanjutkan urutan memasaknya sambil mengawasi gerak gerik Ayah melalui sudut
matanya.
“Tadi malam Ayah
mimpi soal Sera lho,” ucap Ayah singkat. Ia terpekur duduk di meja makan sambil
memegang cangkirnya yang panas. Aristha tersedak.
“Hah?”
“Iya, Ayah
mimpiin Sera tadi malam. Katanya kirim salam buat kamu. Dia bilang, kamu akan
tumbuh jadi gadis yang paling tegar dibandingkan teman-temanmu. Hahaha.” Ayah tergelak
pelan sambil menggelengkan kepalanya geli.
Aristha hanya
bisa terpaku. Ayah memimpikan Sera? Astaga, apakah mimpinya tentang Sera tadi
malam, juga nyata?
“Dia... ngomong
apa, Yah?” Aristha berusaha keras menahan getaran pada kalimatnya.
“Banyak. Dia
ngomong banyak hal. Dia ajak Ayah ngobrol ngalor ngidul. Soal masa kecilnya,
tentang pekerjaan yang ia cintai, tentang acara off air yang terakhir kali itu, tentang kamu, impiannya, ah banyak
sekali. Ayah... jadi bisa melepaskan sebagian rindu Ayah padanya.” Hati Aristha
berdenyut-denyut nyeri mendengar ucapan Ayah.
“Dia cantik
sekali, Ris. Ada pendar putih mengelilingi tubuhnya. Rasanya dia bersinar
sekali, dan raut mukanya ceria. Katanya kita nggak boleh sering-sering sedih.
Harus banyak-banyak tertawa seperti ini. Hahaha,” sahut Ayah sambil meneruskan
tertawa. Aku hanya mampu terpekur.
Perlahan-lahan
aku menghampiri Ayah. “Tadi malam, Aristha juga sepertinya mimpiin Sera, Yah.
Tapi ingatan Aristha tentang itu buram. Entah beneran mimpi atau nggak. Apa
kabar ya dia, Yah? Aristha kangen banget,” ucapnya terbata. Sudah menguap
keinginan memasak. Yang tersisa hanyalah keinginan untuk mengenang Sera lebih
dalam.
Ayah hanya
terdiam mendengar ucapan anak bungsunya ini. Himpitan yang familiar Aristha
rasakan sejak beberapa mingu lalu kini menggerogoti perasaan kembali. Matanya
panas. Aristha menengadahkan wajah agar tak jatuh air mata yang sekuat tenaga ditahan.
Tidak di depan Ayah, pikir Aristha.
Ayah meremas
tangan Aristha pelan. Mata perempua ini tak dipungkiri, semakin panas.
“Jangan nangis,
Ris. Sera akan semakin sedih. Kakakmu itu, memang ngangenin sih ya,” kata Ayah
lamat-lamat.
Pertahanan
Aristha resmi jebol. Ia mengangkupkan wajah ke punggung Ayah. Keluar sudah
semua air mata yang ditahannya pagi ini. Bayangan Sera yang cerewet, yang
selalu jadi tempat curhat tiap kali
Aristha risau, Sera yang mengajari Aristha untuk jadi perempuan hebat, Sera
yang ceria. Semua berkelebat ganas dalam pikiran Aristha.
Kini lupakan
sudah Aristha yang tegar. Untuk saat ini saja Aristha ingin sekali menumpahkan
kesedihan yang ia simpan pada Ayahnya. Betapa terlukanya ia kehilangan Sera.
Dan ia yakin Ayahnya pun merasakan hal yang sama dengannya.
-- hit me on @dinikopi
Nah ini yang sedih :(
BalasHapusAaakkkk tapi cerpen ini yang salah nulis. harusnya anak laki laki :P
BalasHapus