Senin, 01 Oktober 2012

#WritingClass - Seberkas Rindu

No comments    
categories: 

Gambar dari : https://pinterest.com/pin/188306828139952440/


IBU

Tak ada yang lebih menyenangkan daripada waktu berkualitas dengan sang ibu. Namun siapa sangka saat yang telah ditunggu sekian lama oleh Serena berubah menjadi sangat menjengkelkan hanya karena satu nama.

 “Dicoba dulu aja, Kak,” ucap ibu dengan senyum andalannya. Ibu memandangi anak semata wayangnya itu sambil menurunkan loyang kue dari dalam tungku pemanas. Serena menghela napas sesaat seraya menyusun kue cokelat batangan ke dalam toples sambil menunduk, tak mampu melihat mata ibunya. Setengah hati ia mengatur luapan kekesalan agar tak sampai mematahkan beberapa batang kue cokelat.

“Tapi Serena nggak suka, Bu. Dia aja yang ngejar Serena melulu,” balasnya sambil cemberut. Ibu kembali membahas Rayi, teman yang sedari SMP sudah terobsesi mendapatkan Serena.  Lagi-lagi nama itu.

Ya, Rayi yang sejak Serena masih puber sudah naksir berat padanya. Usaha Rayi untuk menggaet gadis manis berambut ikal ini, memang tak asing lagi di kalangan keluarga. Rayi kerap mendatangi rumah Serena di malam minggu walaupun selalu pulang dengan tangan kosong, sempat juga mengantarkan Serena pulang menerobos lebatnya hujan di bulan Desember saat gadis ini tak membawa payung, dan sederet aksi heroik Rayi yang dianggap angin lalu oleh Serena.

“Sepertinya baik kok Rayi itu. Dari dulu lho ngejar kakak, tapi belum nyerah juga sampai sekarang. Jarang ada laki-laki yang keukeuh seperti itu,” timpal ibu sambil merapikan anak-anak rambut Serena yang memberontak keluar dari ikatannya. Anak semata wayangnya ini masih saja cemberut.

“Baik apanya, dia berkali-kali ganti pacar tau, Bu. Katanya sih dia lebih suka sama Serena daripada sama pacarnya. Tapi kan kalau seperti itu adanya, masa iya dia mau pacaran sama gadis lain? Kan dari situ aja sudah ketahuan dia suka ngelirik cewek lain walaupun sudah ada pacar. Serena berpacaran sama dia? Duh belum apa-apa, dia pati sudah jelalatan ke yang lain lagi mungkin, Bu,” balas Serena panjang lebar sembari memandang ibunya. Mencari pembelaan di mata bening itu.

Rayi memang bertingkah seperti sang penyelamat yang tak mendapatkan cintanya jika di depan keluarga Serena. Tak heran jika ibu dan ayah menaruh belas kasihan padanya. Padahal saat sekolah dulu, Serena hapal betul gerak geriknya yang terlalu obsesif. Seperti pschyo saja, Serena bergidik memikirkan kemungkinan tersebut.

“Ya, dia kan kayak gitu karena emang sukanya sama kamu, Kak. Makanya walaupun ada cewek lain, dia tetap mandang kakak,” seloroh ibu sambil mengangsurkan kain lap untuk membersihkan tangan Serena seusai meletakkan semua kue cokelat berbentuk bantangan ke dalam toples.

“Ah, Ibu. Nggak usah dibahas lah. Lagian kan, Serena juga udah lama bareng sama Kiano,” ucap Serena dengan ketus tatkala emosinya sudah meluap-luap. Ingin rasanya percakapan itu diakhiri saja. Waktu berharga berbincang dengan ibunya, kandas sudah. Gegara satu nama.

“Kiano kan jauh, Kak. Rayi itu lho, dekat. Kiano kan di... Dimana tuh, dia?”

“San Fransisco, Bu.”

“Nah, itu dia. Kan jauh. Apa kamu nggak mau pacaran kayak anak-anak gadis normal lainnya? Itu lho, anaknya Pak Anderson yang di ujung gang itu, tiap malam minggu selalu diajak keluar sama pacarnya. Kapan nih, ibu bisa ketemu calon menantu ibu?” Serena kembali melengos pelan. Dirinya memang baru saja selesai kuliah jurusan tata boga di salah satu universitas negeri di Jakarta. Tak heran jika beberapa hari menjelang kelulusannya, ibu menanyakan soal pendamping.

Sebenarnya Serena tak pernah ada masalah menjalin hubungan jarak jauh dengan Kiano yang berada ribuan mil dari tempatnya berpijak. Hubungan yang sudah terjalin tiga tahun ini memang tak begitu meluap-luap seperti hubungan jarak dekat yang ia lihat dialami oleh teman seumurannya. Namun, Serena merasa tenang. Dengan adanya jarak seperti ini, mereka berdua mampu menyisakan ruang untuk berkembang lebih baik dan memperkuat komitmen mereka.

Bukan hubungan dengan gelora sesaat yang cepat berakhir.

Kiano yang mengambil pekerjaan sebagai fotografer di salah satu agen periklanan San Fransisco, juga menyambi sebagai barista di suatu kedai kopi internasional, memang sudah lama tak pulang ke Indonesia. Berulang kali mereka berkomunikasi via Skype dan surat elektronik. Tak ada layanan SMS bahkan telepon tiap malam. Namun, Serena dan Kiano menyukai cara berhubungan seperti ini.

Lihat saja buktinya, Serena mampu menandaskan pendidikan dalam kurun waktu tiga setengah tahun, disertai beragam prestasi non-akademik lainnya. Bahkan ia memiliki bisnis kedai kopi yang laris manis di kalangan para mahasiswa kampus. Begitu juga dengan Kiano yang mengumpulkan pundi-pundi penghasilanya untuk masa depan bersama Serena.

“Sudah lah, Bu. Serena nyaman kok seperti ini. Pokoknya ibu tenang saja ya. Serena tidak akan mengecewakan ibu,” ia tersenyum untuk memenangkan perempuan di depannya ini.

Tiga hari lagi memang perayaan kelulusan Serena di rumah. Sehabis wisuda, seluruh keluarga dan kerabat diundang datang ke rumah untuk ikut turut berbahagia. Sebenarnya ada satu orang yang selalu diharapkan Serena datang. Ya, siapa lagi jika bukan Kiano. Dengan kehadiran lelaki favoritnya itu, ia yakin bisa meredam berbagai ucapan gundah orangtuanya. 

Tunggu saja sampai kedua orangtuanya menyukai peringai dewasa dan lemah lembut Kiano. Tak akan ada lagi nama Rayi yang menjengkelkannya. Ya, Serena sangat yakin akan hal ini.

*** 

SERENA

From : kiannosakti@gmail.com
To : serenabilla@gmail.com
Date : Fri, Dec 16,  2012 at 11:21 PM
Subject : Finally
Mailed-by : gmail.com

Apa kabar mentariku yang tak lelah menyinari fragmen dunia maya yang ku rindukan?

Seusai berakhirnya bumi beredar mengelilingi mentari, aku akan menghirup udara yang sama denganmu, merasakan atmosfer serupa denganmu, bahkan mampu menyentuh jemari rampingmu yang senantiasa mengirimiku cinta setiap malam.

Kita akan berpesta, Sayang. Merayakan usainya penantian kita. Tak sabar melihatmu dalam rengkuhanku.
PS : You know where to meet me, Darling


From : serenabilla@gmail.com
To : kiannosakti@gmail.com
Date : Fri, Dec 16,  2012 at 11:21 PM
Subject : Re: Finally
Mailed-by : gmail.com

Benarkah, Kianno? Ah ibu dan ayah pasti senang sekali mendengar ini.
Tak kusangka kau meloloskan permintaan terakhirku. Aku harap Mr. Smith tak memarahimu karena mengambil cuti tambahan ya. :P
PS : Coffee for two is always our favorite!

Kedua mata Serena terpaku memandangi layar komputernya. Surat elektronik yang dikirim Kianno beberapa pekan lalu menari-nari di otakknya. Semburat senyum tak ayal lagi menghiasi muka manis dara berkaus khaki polos ini. Kunciran kudanya bergoyang kesana kemari seiring rasa semangatnya yang membuncah. Sungguh tak ada yang mampu menandingi datangnya kabar gembira dari sang pujaan hati!

Ruang tamu masih sunyi dari lalu lalang orang rumah. Terang saja, saat itu baru jam empat dini hari. Serena tak tidur dan memilih terjaga di ruang tamu rumahnya demi menyelesaikan pekerjaan. Jika dikerjakan di kamar, pasti tak akan selesai lantaran godaan kasur yang terlalu kuat.

Setelah ia menguap lima kali dalam satu jam terakhir, Serena yakin memang sudah saatnya beristirahat. Walaupun badannya capai, pikirannya melayang pada surat elektronik yang dibacanya tadi. Alih-alih tidur, ia membuka beberapa foto dirinya dan Kiano saat liburan beberapa tahun lalu.

Kiano tampak sangat konyol dengan es krim stroberi yang dipaksa Serena untuk dihabiskan. Disampingnya, Serena tersenyum sangat lebar menyaksikan Kiano berjuang melahap es krim tersebut dalam kurun waktu satu menit. Ah, those good times.

“Kak, belum tidur?” Suara ayah mengagetkan Serena dari lamunannya. Tampak ayah sedang bersiap shalat subuh.

“Iya, Yah. Ini udah mau istirahat kok, shalat subuh dulu,” ujar Serena sambil tersenyum. Ayah menghampiri meja yang anaknya pakai. Ia tersenyum melihat layar komputer jinjing tersebut.

“Itu Kiano, Yah. Nanti Serena bawa ke rumah ya. Ayah sama ibu sabar aja,” Serena memandang muka ayahnya dengan yakin sambil berucap. Ayah hanya mengelus kepala anak kesayangannya itu, pelan.

“Iya, dibawa ke rumah. Ayah kan juga pengen kenal,” jawabnya sambil beringsut ke kamar mandi untuk mengambil wudhu.

Serena segera merapikan peralatan kerjanya dan menyusul ayah untuk shalat berjamaah. Betapa damainya subuh itu bagi dirinya.

***

SERENA

Serena harap pelayan disini tak keberatan jika ia mengetukkan kakinya berkali-kali ke lantai granit kafe. Sudah berkali-kali ia mengerling ke arah pintu, berharap ada semacam lonceng yang disisipkan di pintu masuk agar pengunjung tahu jika ada orang yang keluar atau masuk tanpa perlu menengok. Oh, bahkan saking gemasnya, Serena mengganti posisi duduknya tepat menghadap pintu tersebut agar lehernya tak lelah berpaling ke arah kanan.

Ia berkali-kali memikirkan apakah sebaiknya memesan sesuatu agar mejanya tak terlihat begitu kosong, atau setidaknya ia memiliki aktivitas lain yang bisa dikerjakan untuk menutupi raut mukanya yang gundah. Namun, nafsu makan Serena telah menguap ditelan waktu. Kini di hadapannya hanya tersisa cappuccino yang tinggal dua pertiga, sebagian besar dihias oleh lelehan es yang kian membanjir.

Setelah duduk pada meja yang sama selama satu jam, Serena menyadari kesalahannya. Memesan cappucino yang merupakan kombinasi cokelat dan kopi hanya mempercepat detakan jantung. Pantas saja ia merasa kadar panik meningkat seiring berjalan waktu. Seharusnya Serena memesan cokelat hangat saja tadi, agar tubuhnya relaks atau sedikit mengantuk agar tak serisau ini.

Satu jam. Satu jam lebih lima menit. Satu jam lebih sepuluh menit. Serena tak tahan lagi. Ia mendatangi konter kasir.

Red velvet satu, Mbak” ucapnya datar. Sang pelayan memberikan tatapan kikuk. Serena mengamati betul pelayan yang satu ini memerhatikan dirinya sedari tadi. Mungkin menghitung waktu kapan ia akan memesan sesuatu setelah satu jam lebih berdiam di kafe tersebut.

Setelah memegang pesanannya, Serena kembali ke meja yang telah ia huni sekian lama, dengan gontai. Pesawat dari San Fransisco yang transit di Narita sudah mendarat empat puluh lima menit yang lalu. Ia tahu benar fakta ini dari papan digital di depan sana. Begitu juga dengan kenyataan ia melihat banyak orang-orang berpelukan dengan saudara mereka yang memakai ransel berlabel San Fransisco. Ah, pikirannya mungkin sedang kalut, timpal pikiran Serena menenangkan.

Sementara diluar pikirannya, daftar lagu yang diputar kafe tersebut sudah diulang sebanyak dua kali. Serena bahkan berani bertaruh daftar lagu tersebut berisi tujuh lagu yang diputar berulang secara random dengan pemutar musik Winamp. Ah, sekosong itu kah otaknya sampai mampu menebak hal kecil dengan detail?

Keruwetan simpul yang tak berujung, membuatnya merasa harus bergerak dari tempat itu. Sambil menyeret langkahnya lamat-lamat, ia berjalan ke arah toilet kafe yang berada di sampingnya. Sepi. Baguslah, semakin minim orang yang akan melihatnya frustasi. Sambil mengeluarkan sisir dari kotak aksesorisnya, ia menyisir rambut ikalnya dengan teliti. Menguncir ulang dengan sudut kemiringan yang berbeda, serta menambahkan headband berbentuk bunga merambat warna tan. Mencermati penampilannya, kemudian ia melangkah keluar dengan hati harap-harap cemas.

Ah, setitik harapan sirna sudah, mejanya masih kosong. Hanya ada tas lusuh warna cokelat di bangku samping dan red velvet yang bahkan belum disentuhnya sejak dipesan. Serena menelan iced cappucino dalam gerakan lambat. Lagi-lagi untuk membunuh waktu. Sudah satu jam lebih tiga puluh lima menit.

Yang jelas-jelas saja, Kak.

Ini sudah jelas kok, Bu. Serena hanya butuh waktu untuk membuktikan pada ibu dan ayah.

Kamu nggak tahu kan, dia disana kayak apa, sama siapa, lagi ngapain dengan detail? Kamu masih mau bertahan?

Diamlah, Rayi. Kau tak mengerti perasaan tenang yang aku rasakan bersama Kiano.

Kapan nih ayah bisa ngobrol-ngobrol sama calon suamimu? Bawa ke rumah dong, Kak. Ayah kan juga mau kenal.

Iya, Ayah. Hari ini akan kupenuhi permintaanmu. Tolong beri Serena waktu.

Tidakkah kamu melihat aku yang selalu ada untukmu, Serena? Bertahun-tahun aku tak menyerah.

Aku tak memintamu untuk bertahan, Rayi. Berhentilah bersikap seakan-akan penderitaanmu itu adalah salahku. Hadapi pilihanmu sendiri dengan dewasa.

Itu lho, anaknya Pak Anderson yang di ujung gang itu, tiap malam minggu selalu diajak keluar.

Ibu tahu Serena bukan gadis seperti kebanyakan orang. Serena punya pilihan sendiri, Bu.

Udah ada pendamping wisudanya belum?
 
Nggak usah ditunda-tunda, kalo udah cocok mah langsung aja. 

Kapan nih dikenalin ke keluarga? Serena sendirian melulu kalo Lebaran.

Argh!

Serena menggelengkan kepalanya keras-keras. Astaga apa yang baru saja ia pikirkan. Kelebatan opini orang lain tak boleh membuat dirinya goyah. Itu memang prinsipnya sejak dahulu. Namun kini lihat apa yang terjadi, seratus dua puluh menit hampir membuatnya gila.

Red velvet yang dipesannya kini sudah tak utuh lagi. Sudah Serena comot disana sini, demi mengunyah sesuatu. Namun ia tak begitu bernafsu memakan per potong. Heran, padahal ia belum sarapan saat berangkat ke bandara.

Nada dering standar SMS BlackBerry mengagetkan Serena dari lamunannya.

Hari ini ada Jakarta Fashion Market di Senayan City lho, Ren. Dateng sama aku yuk. Aku tahu kamu bakal histeris liat banyak banget aksesoris lucu yang bakal ada disana.

Kalau saja pengirim pesan itu bukan Rayi, ia pasti akan antusias membalas secepat mungkin dengan anggukan positif dan pergi dari kafe bandara ini secepat mungkin. Bagi Serena, berburu aksesoris etnik seperti yang ada di Jakarta Fashion Market tak boleh dilewatkan. Apalgi perlu diingat bahwa selera Serena yang kental unsur etnik tak banyak dijual di toko aksesoris biasa.

Serena memilih untuk tak membalas pesan tersebut dan larut dalam lamunannya dengan tangan menyendok red velvet yang tak kunjung disuap. Sudah hampir dua jam setengah dan matanya masih terpaku pada pintu kafe.

Aku cuma nemenin, lho. Anggap saja permintaan dari seorang teman lama, oke? Ayolah, Ren. Sudah lama kita nggak ketemu kan?

Rayi tahu betul kegundahan hati Serena. Kini ia yang bingung. Pergi, tidak, pergi, tidak, pergi, atau... ah pilihan sederhana ini makin sulit saja.

Dua jam lebih tiga puluh tujuh menit.

Katakan dimana kamu ada, aku akan jemput. Hari ini hari terakhir Jakarta Fashion Market lho. Jangan sampai menyesal cuma gara-gara kamu gengsi sama aku.

Astaga, Rayi. Sejak kapan ia belajar jadi cenayang? Serena makin gundah. Waktu kian berjalan. Di depannya tak ada harapan sama sekali, namun kini Rayi mengajak membunuh waktu dengan kegiatan yang disukainya. Mungkin hanya pergi sekali dengan Rayi bukan dosa besar. Toh, Rayi memang teman lamanya. Apa yang salah?

Bandara Soekarno-Hatta. Terminal 2F.

Serena menulis kalimat singkat pada Rayi. Ada perasaan bersalah yang mendera sedetik seusai pesan terkirim. Namun cepat-cepat ditepisnya. Kiano bisa dihubungi nanti, toh ia hanya mampir ke Jakarta Fashion Market sebentar bersama teman lama. Serena meyakinkan hati. 

***

KIANO

Penerbangan berjam-jam yang melelahkan dari San Fransico ke Jakarta memang selalu membuat lelaki berahang keras ini linglung. Perbedaan waktu, suasana, bahkan atmosfer yang melingkupi seakan dirasakan begitu drastis. Apalagi ditambah pesawatnya harus berhenti di Narita selama tiga jam karena ada perbaikan teknis. Sangat menguras kesabaran, sampai-sampai para penumpang dialihkan ke pesawat lain. Namun tak apalah, lebih baik daripada dipaksakan menaiki pesawat yang pincang.

Bandara Soekarno-Hatta tak banyak berubah seingat Kiano. Ini adalah kunjungan pertamanya sejak dua tahun yang lalu. Ya, sejak saat itu, ia memang tak pernah mengunjungi Indonesia lagi. Berkali-kali keluarganya membujuk agar ia pulang saat Idul Fitri atau hanya sekedar melepas kerinduan. Namun tak mudah bagi Kiano melepas pekerjaannya begitu saja. Mengingat atasannya, Mr. Smith, adalah orang yang perfeksionis namun baik, tidak mungkin melepaskan anak kesayangan macam Kiano.

Ah, sudahlah. Setidaknya kini pundi tabungan Kiano makin menebal untuk membangun masa depan dengan Serena.

Gadis itu langsung terlintas di benak Kiano sesaat setelah ia menjejakkan kaki di bandara. Secepat mungkin ia mengambil beberapa koper dan melangkahkan kaki menuju kedai kopi favorit mereka di terminal 2F. Kedai kopi ini kerap mereka kunjungi saat mengantar atau menjemput Kiano. Kesukaan mereka berdua pada kopi membuat tempat ini menjadi semacam basecamp mereka.

Terengah-engah Kiano mencapai kedai kopi tersebut. Membuka pintu dengan cepat, yakin sekali pasti ada Serenanya di tempat duduk paling pojok dekat toilet.

Namun, ia harus kecewa. Tak ada Serena, bahkan menguap sudah aroma gadisnya ini.

Setengah melamun sambil merasakan sisa-sisa kekecewaan yang menggerogoti hatinya, Kiano menempati kursi pojok tersebut. Mungkin saja Serena sudah hadir sebelumnya dan menyerah karena terlalu lama berdiam diri tanpa kepastian. Mungkin saja Serena terlambat bangun. Mungkin saja Serena hanya keluar sebentar lalu akan mengampiri titik ini kembali.

Ada terlalu banyak “mungkin saja” yang diciptakan oleh Kiano.

Atau mungkin saja Serena dengan sadar meninggalkannya?

***

SERENA

“Kau pasti sudah lapar, Ren. Makan dulu yuk. Ada nasi urap di belokan jalan Kencana sana. Kedai baru gitu, kamu pasti suka deh. Udah lama nggak ketemu urap kan?” Serena memutar bola matanya, mendelik tajam mendengar ucapan Rayi membujuknya makan. Nasi urap memang sangat menggoda. Tapi, pikirannya terlalu khawatir pada sesuatu yang lain. Nasi urap masih bisa menunggu.

“Aku mesti pulang. Hari hampir gelap. Dan aku nggak lapar, Rayi. Berhentilah membujukku seperti itu,” desis Serena tegas. Rayi terlihat terkesiap sesaat namun segera mengatur air mukanya agar tak tampak terlalu terkejut. Serena sudah memutuskan pulang, atau kemanapun agar ia secepatnya bisa lepas dari Rayi.

“Ini nasi urap lho, Ren. Nasi urap,” Rayi menekankan nada pada poin tersebut, mencoba peruntungannya sekali lagi untuk membujuk Serena. Tapi dasar Serena sangat keras kepala, ia lagi-lagi menolak ajakan tersebut.

“Kamu anterin aku pulang, atau aku bisa pulang sendiri. Toh emang dari awal aku bisa naik taksi sebenarnya,” Serena mengancam. Ide untuk naik taksi terdengar sangat mewah. Ya, bisa lepas dari Rayi memang sebuah kemewahan tersendiri bagi Serena.

Rayi hanya mengangkat bahu dan mau tak mau mengiyakan permintaan Serena. Dengan cepat dibelokkan mobil hitam miliknya menuju rumah Serena. Selama dalam perjalanan, tak ada kata yang keluar dari mereka berdua.

 Serena kalut luar biasa. Ia teringat Kiano. Tentu saja ia mengingat lelaki ini setiap detiknya. Makin gelap, ia makin tak bisa tenang. Sudah berulang kali ditelpon ponsel Kiano namun hasilnya nihil. Mungkin saja Kiano belum menyalakan nomor Indonesianya kah? Atau mungkin saja keberangkatan Kiano diundur? Atau mungkin saja Kiano sangat jetlag dan memilih langsung beristirahat?

Ah, mengapa ada banyak “mungkin saja” berseliweran di kepalanya? Serena cepat-cepat menepis pikiran terburuk. Semua akan baik-baik saja, seperti hubungan mereka yang bertahun-tahun. Tetap setia, tetap bersama, tetap meyakini satu sama lain.

Setelah melewati lika-liku pikiran terburuk yang bisa Serena ciptakan dalam otaknya, setelah mengarungi kebisuan lama dengan Rayi di dalam mobil, akhirnya mereka berhenti di depan rumah Serena. Rayi langsung membuka sabuk pengaman yang dicegah oleh Serena.

“Aku bisa masuk sendiri. Tak usah ditemani,” tandas Serena dengan cepat. Ia tahu benar Rayi adalah tipe laki-laki yang tak bisa diberi angin segar sedikit. Menjadi incaran Rayi selama bertahun-tahun membuatnya mengerti benar hal tersebut.

Sebelum Rayi mampu berbuat atau berkata lebih banyak lagi, Serena membuka sabuk pengamannya dan menjinjing tas belanja keluar mobil. “Terimakasih Rayi sudah menemani aku belanja,” ucapnya singkat dengan senyum seulas yang dipaksakan. Walaupun kesal, namun Serena tentu masih ingat bagaimana caranya berterima kasih.

Serena melangkah dengan cepat menuju pintu rumahnya dan tak mempercayai apa yang dia lihat.

Kiano?

Hati Serena yang sesak perlahn memudar tergantikan dengan perasaan lega luar biasa. Matanya panas menahan air mata haru. Tak ada yang mampu melukiskan betapa senang dan leganya ia melihat orang yang sudah dua tahun ia impikan tiap malam, kini tersenyum lebar duduk di kursi terasnya. Semua perasaan kesal pada Rayi, lelah yang mendera, dan pertanyaan “mungkin saja” yang dilontarkan hatinya sudah lenyap.

Serena menghambur ke pelukan Kiano. Rasanya... masih sehangat yang dulu.

“Aku kira kamu nggak dateng, aku kira kamu lupa sama aku, aku kira ada apa-apa yang terjadi sama kamu, aku kira...” Ucapan Serena terhenti oleh remasan pelan Kiano di bahunya.

“Tsuuut, yang penting aku udah dateng kan. Tadi pesawatnya transit di Narita lama banget, jadinya telat. Maaf ya,” kata Kiano menenangkan. Tak dipungkirinya sudah lama ia ingin memeluk Serena seperti ini. Setelah bertahun-tahun terpisah.

Serena tersenyum memandang laki-laki impiannya dapat dijangkau sedekat ini sekarang. Sudah, tak ada lagi kecemasan tersisa. Dengan bersemangat iya mengajak Kiano masuk.

“Kamu udah kenalan sama orang rumah? Sini yuk, ayah pasti senang banget lihat kamu datang.”

***

RAYI

Ah, ternyata sudah pulang. Pantas saja Serena tampak cemas dan kalut seharian ini. Tak apa-apa, laki-laki itu mungkin bisa saja memenangkan hati Serena sekarang, tapi bukankah cinta didesain untuk jadi kompetisi selamanya? Belum ada yang bisa memiliki Serena secara permanen, itu berarti masih terbuka arena pertarungan bagi Rayi.

Ia menyunggingan senyum seulas dan perlahan menjauh dari tempat itu. Otaknya kembali menyusun rencana baru untuk mendapatkan Serena. Siapa bilang ia menyerah begitu saja?


-- hit me on @dinikopi

0 respon:

Posting Komentar

Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?