Gambar dari : https://pinterest.com/pin/188306828139952440/ |
IBU
Tak ada yang
lebih menyenangkan daripada waktu berkualitas dengan sang ibu. Namun siapa
sangka saat yang telah ditunggu sekian lama oleh Serena berubah menjadi sangat
menjengkelkan hanya karena satu nama.
“Dicoba dulu aja, Kak,” ucap ibu dengan senyum
andalannya. Ibu memandangi anak semata wayangnya itu sambil menurunkan loyang kue
dari dalam tungku pemanas. Serena menghela napas sesaat seraya menyusun kue
cokelat batangan ke dalam toples sambil menunduk, tak mampu melihat mata ibunya.
Setengah hati ia mengatur luapan kekesalan agar tak sampai mematahkan beberapa
batang kue cokelat.
“Tapi Serena
nggak suka, Bu. Dia aja yang ngejar Serena melulu,” balasnya sambil cemberut.
Ibu kembali membahas Rayi, teman yang sedari SMP sudah terobsesi mendapatkan
Serena. Lagi-lagi nama itu.
Ya, Rayi yang
sejak Serena masih puber sudah naksir berat padanya. Usaha Rayi untuk menggaet
gadis manis berambut ikal ini, memang tak asing lagi di kalangan keluarga. Rayi
kerap mendatangi rumah Serena di malam minggu walaupun selalu pulang dengan
tangan kosong, sempat juga mengantarkan Serena pulang menerobos lebatnya hujan
di bulan Desember saat gadis ini tak membawa payung, dan sederet aksi heroik
Rayi yang dianggap angin lalu oleh Serena.
“Sepertinya baik kok
Rayi itu. Dari dulu lho ngejar kakak, tapi belum nyerah juga sampai sekarang.
Jarang ada laki-laki yang keukeuh
seperti itu,” timpal ibu sambil merapikan anak-anak rambut Serena yang
memberontak keluar dari ikatannya. Anak semata wayangnya ini masih saja
cemberut.
“Baik apanya, dia
berkali-kali ganti pacar tau, Bu. Katanya sih dia lebih suka sama Serena
daripada sama pacarnya. Tapi kan kalau seperti itu adanya, masa iya dia mau
pacaran sama gadis lain? Kan dari situ aja sudah ketahuan dia suka ngelirik
cewek lain walaupun sudah ada pacar. Serena berpacaran sama dia? Duh belum
apa-apa, dia pati sudah jelalatan ke yang lain lagi mungkin, Bu,” balas Serena
panjang lebar sembari memandang ibunya. Mencari pembelaan di mata bening itu.
Rayi memang
bertingkah seperti sang penyelamat yang tak mendapatkan cintanya jika di depan
keluarga Serena. Tak heran jika ibu dan ayah menaruh belas kasihan padanya.
Padahal saat sekolah dulu, Serena hapal betul gerak geriknya yang terlalu obsesif.
Seperti pschyo saja, Serena bergidik
memikirkan kemungkinan tersebut.
“Ya, dia kan
kayak gitu karena emang sukanya sama kamu, Kak. Makanya walaupun ada cewek
lain, dia tetap mandang kakak,” seloroh ibu sambil mengangsurkan kain lap untuk
membersihkan tangan Serena seusai meletakkan semua kue cokelat berbentuk
bantangan ke dalam toples.
“Ah, Ibu. Nggak
usah dibahas lah. Lagian kan, Serena juga udah lama bareng sama Kiano,” ucap
Serena dengan ketus tatkala emosinya sudah meluap-luap. Ingin rasanya percakapan
itu diakhiri saja. Waktu berharga berbincang dengan ibunya, kandas sudah.
Gegara satu nama.
“Kiano kan jauh,
Kak. Rayi itu lho, dekat. Kiano kan di... Dimana tuh, dia?”
“San Fransisco,
Bu.”
“Nah, itu dia.
Kan jauh. Apa kamu nggak mau pacaran kayak anak-anak gadis normal lainnya? Itu
lho, anaknya Pak Anderson yang di ujung gang itu, tiap malam minggu selalu
diajak keluar sama pacarnya. Kapan nih, ibu bisa ketemu calon menantu ibu?”
Serena kembali melengos pelan. Dirinya memang baru saja selesai kuliah jurusan
tata boga di salah satu universitas negeri di Jakarta. Tak heran jika beberapa
hari menjelang kelulusannya, ibu menanyakan soal pendamping.
Sebenarnya Serena
tak pernah ada masalah menjalin hubungan jarak jauh dengan Kiano yang berada
ribuan mil dari tempatnya berpijak. Hubungan yang sudah terjalin tiga tahun ini
memang tak begitu meluap-luap seperti hubungan jarak dekat yang ia lihat
dialami oleh teman seumurannya. Namun, Serena merasa tenang. Dengan adanya
jarak seperti ini, mereka berdua mampu menyisakan ruang untuk berkembang lebih
baik dan memperkuat komitmen mereka.
Bukan hubungan
dengan gelora sesaat yang cepat berakhir.
Kiano yang
mengambil pekerjaan sebagai fotografer di salah satu agen periklanan San
Fransisco, juga menyambi sebagai barista di suatu kedai kopi internasional,
memang sudah lama tak pulang ke Indonesia. Berulang kali mereka berkomunikasi
via Skype dan surat elektronik. Tak ada layanan SMS bahkan telepon tiap malam.
Namun, Serena dan Kiano menyukai cara berhubungan seperti ini.
Lihat saja
buktinya, Serena mampu menandaskan pendidikan dalam kurun waktu tiga setengah
tahun, disertai beragam prestasi non-akademik lainnya. Bahkan ia memiliki
bisnis kedai kopi yang laris manis di kalangan para mahasiswa kampus. Begitu
juga dengan Kiano yang mengumpulkan pundi-pundi penghasilanya untuk masa depan
bersama Serena.
“Sudah lah, Bu.
Serena nyaman kok seperti ini. Pokoknya ibu tenang saja ya. Serena tidak akan
mengecewakan ibu,” ia tersenyum untuk memenangkan perempuan di depannya ini.
Tiga hari lagi
memang perayaan kelulusan Serena di rumah. Sehabis wisuda, seluruh keluarga dan
kerabat diundang datang ke rumah untuk ikut turut berbahagia. Sebenarnya ada
satu orang yang selalu diharapkan Serena datang. Ya, siapa lagi jika bukan
Kiano. Dengan kehadiran lelaki favoritnya itu, ia yakin bisa meredam berbagai
ucapan gundah orangtuanya.
Tunggu saja
sampai kedua orangtuanya menyukai peringai dewasa dan lemah lembut Kiano. Tak
akan ada lagi nama Rayi yang menjengkelkannya. Ya, Serena sangat yakin akan hal
ini.
***
SERENA
From : kiannosakti@gmail.com
To : serenabilla@gmail.com
Date : Fri, Dec 16,
2012 at 11:21 PM
Subject : Finally
Mailed-by : gmail.com
Apa kabar mentariku yang tak lelah menyinari
fragmen dunia maya yang ku rindukan?
Seusai
berakhirnya bumi beredar mengelilingi mentari, aku akan menghirup udara yang
sama denganmu, merasakan atmosfer serupa denganmu, bahkan mampu menyentuh
jemari rampingmu yang senantiasa mengirimiku cinta setiap malam.
Kita akan
berpesta, Sayang. Merayakan usainya penantian kita. Tak sabar melihatmu dalam
rengkuhanku.
PS : You know
where to meet me, Darling
From : serenabilla@gmail.com
To : kiannosakti@gmail.com
Date : Fri, Dec 16,
2012 at 11:21 PM
Subject : Re: Finally
Mailed-by : gmail.com
Benarkah, Kianno?
Ah ibu dan ayah pasti senang sekali mendengar ini.
Tak kusangka kau
meloloskan permintaan terakhirku. Aku harap Mr. Smith tak memarahimu karena
mengambil cuti tambahan ya. :P
PS : Coffee for two is always our favorite!
Kedua mata Serena
terpaku memandangi layar komputernya. Surat elektronik yang dikirim Kianno
beberapa pekan lalu menari-nari di otakknya. Semburat senyum tak ayal lagi
menghiasi muka manis dara berkaus khaki polos ini. Kunciran kudanya bergoyang
kesana kemari seiring rasa semangatnya yang membuncah. Sungguh tak ada yang mampu
menandingi datangnya kabar gembira dari sang pujaan hati!
Ruang tamu masih
sunyi dari lalu lalang orang rumah. Terang saja, saat itu baru jam empat dini
hari. Serena tak tidur dan memilih terjaga di ruang tamu rumahnya demi
menyelesaikan pekerjaan. Jika dikerjakan di kamar, pasti tak akan selesai
lantaran godaan kasur yang terlalu kuat.
Setelah ia
menguap lima kali dalam satu jam terakhir, Serena yakin memang sudah saatnya
beristirahat. Walaupun badannya capai, pikirannya melayang pada surat
elektronik yang dibacanya tadi. Alih-alih tidur, ia membuka beberapa foto
dirinya dan Kiano saat liburan beberapa tahun lalu.
Kiano tampak
sangat konyol dengan es krim stroberi yang dipaksa Serena untuk dihabiskan.
Disampingnya, Serena tersenyum sangat lebar menyaksikan Kiano berjuang melahap
es krim tersebut dalam kurun waktu satu menit. Ah, those good times.
“Kak, belum
tidur?” Suara ayah mengagetkan Serena dari lamunannya. Tampak ayah sedang
bersiap shalat subuh.
“Iya, Yah. Ini
udah mau istirahat kok, shalat subuh dulu,” ujar Serena sambil tersenyum. Ayah
menghampiri meja yang anaknya pakai. Ia tersenyum melihat layar komputer
jinjing tersebut.
“Itu Kiano, Yah.
Nanti Serena bawa ke rumah ya. Ayah sama ibu sabar aja,” Serena memandang muka ayahnya
dengan yakin sambil berucap. Ayah hanya mengelus kepala anak kesayangannya itu,
pelan.
“Iya, dibawa ke
rumah. Ayah kan juga pengen kenal,” jawabnya sambil beringsut ke kamar mandi
untuk mengambil wudhu.
Serena segera
merapikan peralatan kerjanya dan menyusul ayah untuk shalat berjamaah. Betapa
damainya subuh itu bagi dirinya.
***
SERENA
Serena harap
pelayan disini tak keberatan jika ia mengetukkan kakinya berkali-kali ke lantai
granit kafe. Sudah berkali-kali ia mengerling ke arah pintu, berharap ada
semacam lonceng yang disisipkan di pintu masuk agar pengunjung tahu jika ada
orang yang keluar atau masuk tanpa perlu menengok. Oh, bahkan saking gemasnya,
Serena mengganti posisi duduknya tepat menghadap pintu tersebut agar lehernya
tak lelah berpaling ke arah kanan.
Ia berkali-kali
memikirkan apakah sebaiknya memesan sesuatu agar mejanya tak terlihat begitu
kosong, atau setidaknya ia memiliki aktivitas lain yang bisa dikerjakan untuk
menutupi raut mukanya yang gundah. Namun, nafsu makan Serena telah menguap
ditelan waktu. Kini di hadapannya hanya tersisa cappuccino yang tinggal dua pertiga, sebagian besar dihias oleh
lelehan es yang kian membanjir.
Setelah duduk
pada meja yang sama selama satu jam, Serena menyadari kesalahannya. Memesan cappucino yang merupakan kombinasi
cokelat dan kopi hanya mempercepat detakan jantung. Pantas saja ia merasa kadar
panik meningkat seiring berjalan waktu. Seharusnya Serena memesan cokelat
hangat saja tadi, agar tubuhnya relaks atau sedikit mengantuk agar tak serisau
ini.
Satu jam. Satu
jam lebih lima menit. Satu jam lebih sepuluh menit. Serena tak tahan lagi. Ia
mendatangi konter kasir.
“Red velvet satu, Mbak” ucapnya datar.
Sang pelayan memberikan tatapan kikuk. Serena mengamati betul pelayan yang satu
ini memerhatikan dirinya sedari tadi. Mungkin menghitung waktu kapan ia akan
memesan sesuatu setelah satu jam lebih berdiam di kafe tersebut.
Setelah memegang
pesanannya, Serena kembali ke meja yang telah ia huni sekian lama, dengan
gontai. Pesawat dari San Fransisco yang transit di Narita sudah mendarat empat
puluh lima menit yang lalu. Ia tahu benar fakta ini dari papan digital di depan
sana. Begitu juga dengan kenyataan ia melihat banyak orang-orang berpelukan
dengan saudara mereka yang memakai ransel berlabel San Fransisco. Ah,
pikirannya mungkin sedang kalut, timpal pikiran Serena menenangkan.
Sementara diluar
pikirannya, daftar lagu yang diputar kafe tersebut sudah diulang sebanyak dua
kali. Serena bahkan berani bertaruh daftar lagu tersebut berisi tujuh lagu yang
diputar berulang secara random dengan pemutar musik Winamp. Ah, sekosong itu kah otaknya sampai mampu menebak hal
kecil dengan detail?
Keruwetan simpul
yang tak berujung, membuatnya merasa harus bergerak dari tempat itu. Sambil
menyeret langkahnya lamat-lamat, ia berjalan ke arah toilet kafe yang berada di
sampingnya. Sepi. Baguslah, semakin minim orang yang akan melihatnya frustasi.
Sambil mengeluarkan sisir dari kotak aksesorisnya, ia menyisir rambut ikalnya
dengan teliti. Menguncir ulang dengan sudut kemiringan yang berbeda, serta
menambahkan headband berbentuk bunga
merambat warna tan. Mencermati penampilannya, kemudian ia melangkah keluar
dengan hati harap-harap cemas.
Ah, setitik
harapan sirna sudah, mejanya masih kosong. Hanya ada tas lusuh warna cokelat di
bangku samping dan red velvet yang
bahkan belum disentuhnya sejak dipesan. Serena menelan iced cappucino dalam gerakan lambat. Lagi-lagi untuk membunuh
waktu. Sudah satu jam lebih tiga puluh lima menit.
Yang jelas-jelas saja, Kak.
Ini sudah jelas
kok, Bu. Serena hanya butuh waktu untuk membuktikan pada ibu dan ayah.
Kamu nggak tahu kan, dia disana kayak apa,
sama siapa, lagi ngapain dengan detail? Kamu masih mau bertahan?
Diamlah, Rayi.
Kau tak mengerti perasaan tenang yang aku rasakan bersama Kiano.
Kapan nih ayah bisa ngobrol-ngobrol sama calon
suamimu? Bawa ke rumah dong, Kak. Ayah kan juga mau kenal.
Iya, Ayah. Hari
ini akan kupenuhi permintaanmu. Tolong beri Serena waktu.
Tidakkah kamu melihat aku yang selalu ada
untukmu, Serena? Bertahun-tahun aku tak menyerah.
Aku tak memintamu
untuk bertahan, Rayi. Berhentilah bersikap seakan-akan penderitaanmu itu adalah
salahku. Hadapi pilihanmu sendiri dengan dewasa.
Itu lho, anaknya Pak Anderson yang di ujung
gang itu, tiap malam minggu selalu diajak keluar.
Ibu tahu Serena
bukan gadis seperti kebanyakan orang. Serena punya pilihan sendiri, Bu.
Udah ada pendamping wisudanya belum?
Nggak usah ditunda-tunda, kalo udah cocok mah
langsung aja.
Kapan nih dikenalin ke keluarga? Serena
sendirian melulu kalo Lebaran.
Argh!
Serena
menggelengkan kepalanya keras-keras. Astaga apa yang baru saja ia pikirkan.
Kelebatan opini orang lain tak boleh membuat dirinya goyah. Itu memang
prinsipnya sejak dahulu. Namun kini lihat apa yang terjadi, seratus dua puluh
menit hampir membuatnya gila.
Red velvet yang dipesannya kini sudah tak utuh lagi.
Sudah Serena comot disana sini, demi mengunyah sesuatu. Namun ia tak begitu
bernafsu memakan per potong. Heran, padahal ia belum sarapan saat berangkat ke
bandara.
Nada dering
standar SMS BlackBerry mengagetkan Serena dari lamunannya.
Hari ini ada Jakarta Fashion Market di Senayan
City lho, Ren. Dateng sama aku yuk. Aku tahu kamu bakal histeris liat banyak
banget aksesoris lucu yang bakal ada disana.
Kalau saja
pengirim pesan itu bukan Rayi, ia pasti akan antusias membalas secepat mungkin
dengan anggukan positif dan pergi dari kafe bandara ini secepat mungkin. Bagi
Serena, berburu aksesoris etnik seperti yang ada di Jakarta Fashion Market tak
boleh dilewatkan. Apalgi perlu diingat bahwa selera Serena yang kental unsur
etnik tak banyak dijual di toko aksesoris biasa.
Serena memilih
untuk tak membalas pesan tersebut dan larut dalam lamunannya dengan tangan
menyendok red velvet yang tak kunjung
disuap. Sudah hampir dua jam setengah dan matanya masih terpaku pada pintu kafe.
Aku cuma nemenin, lho. Anggap saja permintaan
dari seorang teman lama, oke? Ayolah, Ren. Sudah lama kita nggak ketemu kan?
Rayi tahu betul
kegundahan hati Serena. Kini ia yang bingung. Pergi, tidak, pergi, tidak,
pergi, atau... ah pilihan sederhana ini makin sulit saja.
Dua jam lebih
tiga puluh tujuh menit.
Katakan dimana kamu ada, aku akan jemput. Hari
ini hari terakhir Jakarta Fashion Market lho. Jangan sampai menyesal cuma
gara-gara kamu gengsi sama aku.
Astaga, Rayi.
Sejak kapan ia belajar jadi cenayang? Serena makin gundah. Waktu kian berjalan.
Di depannya tak ada harapan sama sekali, namun kini Rayi mengajak membunuh
waktu dengan kegiatan yang disukainya. Mungkin hanya pergi sekali dengan Rayi
bukan dosa besar. Toh, Rayi memang teman lamanya. Apa yang salah?
Bandara Soekarno-Hatta. Terminal 2F.
Serena menulis
kalimat singkat pada Rayi. Ada perasaan bersalah yang mendera sedetik seusai
pesan terkirim. Namun cepat-cepat ditepisnya. Kiano bisa dihubungi nanti, toh
ia hanya mampir ke Jakarta Fashion Market sebentar bersama teman lama. Serena meyakinkan
hati.
***
KIANO
Penerbangan
berjam-jam yang melelahkan dari San Fransico ke Jakarta memang selalu membuat
lelaki berahang keras ini linglung. Perbedaan waktu, suasana, bahkan atmosfer
yang melingkupi seakan dirasakan begitu drastis. Apalagi ditambah pesawatnya
harus berhenti di Narita selama tiga jam karena ada perbaikan teknis. Sangat
menguras kesabaran, sampai-sampai para penumpang dialihkan ke pesawat lain.
Namun tak apalah, lebih baik daripada dipaksakan menaiki pesawat yang pincang.
Bandara
Soekarno-Hatta tak banyak berubah seingat Kiano. Ini adalah kunjungan
pertamanya sejak dua tahun yang lalu. Ya, sejak saat itu, ia memang tak pernah
mengunjungi Indonesia lagi. Berkali-kali keluarganya membujuk agar ia pulang
saat Idul Fitri atau hanya sekedar melepas kerinduan. Namun tak mudah bagi
Kiano melepas pekerjaannya begitu saja. Mengingat atasannya, Mr. Smith, adalah
orang yang perfeksionis namun baik, tidak mungkin melepaskan anak kesayangan
macam Kiano.
Ah, sudahlah.
Setidaknya kini pundi tabungan Kiano makin menebal untuk membangun masa depan
dengan Serena.
Gadis itu
langsung terlintas di benak Kiano sesaat setelah ia menjejakkan kaki di
bandara. Secepat mungkin ia mengambil beberapa koper dan melangkahkan kaki
menuju kedai kopi favorit mereka di terminal 2F. Kedai kopi ini kerap mereka
kunjungi saat mengantar atau menjemput Kiano. Kesukaan mereka berdua pada kopi
membuat tempat ini menjadi semacam basecamp
mereka.
Terengah-engah
Kiano mencapai kedai kopi tersebut. Membuka pintu dengan cepat, yakin sekali
pasti ada Serenanya di tempat duduk paling pojok dekat toilet.
Namun, ia harus
kecewa. Tak ada Serena, bahkan menguap sudah aroma gadisnya ini.
Setengah melamun
sambil merasakan sisa-sisa kekecewaan yang menggerogoti hatinya, Kiano
menempati kursi pojok tersebut. Mungkin saja Serena sudah hadir sebelumnya dan
menyerah karena terlalu lama berdiam diri tanpa kepastian. Mungkin saja Serena
terlambat bangun. Mungkin saja Serena hanya keluar sebentar lalu akan
mengampiri titik ini kembali.
Ada terlalu
banyak “mungkin saja” yang diciptakan oleh Kiano.
Atau mungkin saja
Serena dengan sadar meninggalkannya?
***
SERENA
“Kau pasti sudah
lapar, Ren. Makan dulu yuk. Ada nasi urap di belokan jalan Kencana sana. Kedai
baru gitu, kamu pasti suka deh. Udah lama nggak ketemu urap kan?” Serena
memutar bola matanya, mendelik tajam mendengar ucapan Rayi membujuknya makan.
Nasi urap memang sangat menggoda. Tapi, pikirannya terlalu khawatir pada
sesuatu yang lain. Nasi urap masih bisa menunggu.
“Aku mesti
pulang. Hari hampir gelap. Dan aku nggak lapar, Rayi. Berhentilah membujukku
seperti itu,” desis Serena tegas. Rayi terlihat terkesiap sesaat namun segera mengatur
air mukanya agar tak tampak terlalu terkejut. Serena sudah memutuskan pulang,
atau kemanapun agar ia secepatnya bisa lepas dari Rayi.
“Ini nasi urap
lho, Ren. Nasi urap,” Rayi menekankan nada pada poin tersebut, mencoba
peruntungannya sekali lagi untuk membujuk Serena. Tapi dasar Serena sangat
keras kepala, ia lagi-lagi menolak ajakan tersebut.
“Kamu anterin aku
pulang, atau aku bisa pulang sendiri. Toh emang dari awal aku bisa naik taksi
sebenarnya,” Serena mengancam. Ide untuk naik taksi terdengar sangat mewah. Ya,
bisa lepas dari Rayi memang sebuah kemewahan tersendiri bagi Serena.
Rayi hanya
mengangkat bahu dan mau tak mau mengiyakan permintaan Serena. Dengan cepat
dibelokkan mobil hitam miliknya menuju rumah Serena. Selama dalam perjalanan,
tak ada kata yang keluar dari mereka berdua.
Serena kalut luar biasa. Ia teringat Kiano.
Tentu saja ia mengingat lelaki ini setiap detiknya. Makin gelap, ia makin tak
bisa tenang. Sudah berulang kali ditelpon ponsel Kiano namun hasilnya nihil.
Mungkin saja Kiano belum menyalakan nomor Indonesianya kah? Atau mungkin saja
keberangkatan Kiano diundur? Atau mungkin saja Kiano sangat jetlag dan memilih langsung
beristirahat?
Ah, mengapa ada
banyak “mungkin saja” berseliweran di kepalanya? Serena cepat-cepat menepis
pikiran terburuk. Semua akan baik-baik saja, seperti hubungan mereka yang
bertahun-tahun. Tetap setia, tetap bersama, tetap meyakini satu sama lain.
Setelah melewati
lika-liku pikiran terburuk yang bisa Serena ciptakan dalam otaknya, setelah
mengarungi kebisuan lama dengan Rayi di dalam mobil, akhirnya mereka berhenti
di depan rumah Serena. Rayi langsung membuka sabuk pengaman yang dicegah oleh
Serena.
“Aku bisa masuk
sendiri. Tak usah ditemani,” tandas Serena dengan cepat. Ia tahu benar Rayi
adalah tipe laki-laki yang tak bisa diberi angin segar sedikit. Menjadi incaran
Rayi selama bertahun-tahun membuatnya mengerti benar hal tersebut.
Sebelum Rayi
mampu berbuat atau berkata lebih banyak lagi, Serena membuka sabuk pengamannya
dan menjinjing tas belanja keluar mobil. “Terimakasih Rayi sudah menemani aku
belanja,” ucapnya singkat dengan senyum seulas yang dipaksakan. Walaupun kesal,
namun Serena tentu masih ingat bagaimana caranya berterima kasih.
Serena melangkah
dengan cepat menuju pintu rumahnya dan tak mempercayai apa yang dia lihat.
Kiano?
Hati Serena yang
sesak perlahn memudar tergantikan dengan perasaan lega luar biasa. Matanya
panas menahan air mata haru. Tak ada yang mampu melukiskan betapa senang dan
leganya ia melihat orang yang sudah dua tahun ia impikan tiap malam, kini
tersenyum lebar duduk di kursi terasnya. Semua perasaan kesal pada Rayi, lelah
yang mendera, dan pertanyaan “mungkin saja” yang dilontarkan hatinya sudah
lenyap.
Serena menghambur
ke pelukan Kiano. Rasanya... masih sehangat yang dulu.
“Aku kira kamu
nggak dateng, aku kira kamu lupa sama aku, aku kira ada apa-apa yang terjadi
sama kamu, aku kira...” Ucapan Serena terhenti oleh remasan pelan Kiano di
bahunya.
“Tsuuut, yang
penting aku udah dateng kan. Tadi pesawatnya transit di Narita lama banget,
jadinya telat. Maaf ya,” kata Kiano menenangkan. Tak dipungkirinya sudah lama
ia ingin memeluk Serena seperti ini. Setelah bertahun-tahun terpisah.
Serena tersenyum
memandang laki-laki impiannya dapat dijangkau sedekat ini sekarang. Sudah, tak
ada lagi kecemasan tersisa. Dengan bersemangat iya mengajak Kiano masuk.
“Kamu udah
kenalan sama orang rumah? Sini yuk, ayah pasti senang banget lihat kamu
datang.”
***
RAYI
Ah, ternyata
sudah pulang. Pantas saja Serena tampak cemas dan kalut seharian ini. Tak
apa-apa, laki-laki itu mungkin bisa saja memenangkan hati Serena sekarang, tapi
bukankah cinta didesain untuk jadi kompetisi selamanya? Belum ada yang bisa
memiliki Serena secara permanen, itu berarti masih terbuka arena pertarungan
bagi Rayi.
Ia menyunggingan
senyum seulas dan perlahan menjauh dari tempat itu. Otaknya kembali menyusun
rencana baru untuk mendapatkan Serena. Siapa bilang ia menyerah begitu saja?
-- hit me on @dinikopi
0 respon:
Posting Komentar
Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?