Sabtu, 07 Maret 2015

Morning Trance

No comments    
categories: 
Pagi adalah jam tersibuk dalam dua puluh empat jam jatah manusia
Semua orang bergegas untuk sampai ke suatu tempat, semua orang bergegas untuk menemui seseorang, semua orang bergegas untuk memulai sesuatu. Bahkan orang yang kamu pikir bukan morning person, pun sudah siap menyeduh kopinya dan asyik memperbincangkan peletakan semburat kuning pada logo kaus kaki.

Aku tak pernah membayangkan pagi bisa menjadi sesibuk dan (anehnya) semenarik ini. Tersesat dalam tempat di mana kelas menengah berkumpul dan menguras dompet mereka untuk secangkir kopi atau segigit sandwich. Aku melihat banyak orang yang kukagumi berkumpul dan mulai antusisas membahas proyek mereka, membuat dunia menjadi lebih baik lagi dalam versi masing-masing. Aku menyaksikan banyak teman lama yang menyempatkan bertemu sebelum pergi ke kubikel kantor. Saling bertukar cerita darimana-saja-kamu-selama-ini dan berteriak heboh. Aku terkikik dalam hati.

Di luar kemacetan yang tak mengunjung terurai di jalanan Jakarta, tapi di tempat ini aku menemui antusias untuk merayakan pagi, yang mana tak pernah ku lihat sebelumnya. Pelayan kafe sibuk membawa nampan dengan cangkir mengebul atau daging berdesis untuk memuaskan lidah para pengunjungnya. Di samping kiri dan kananku, sesosok eksekutif tengah menjajakan keahliannya pada investor. Dan perlu dicatat, ini jam setengah sembilan pagi. Waktu di mana aku masih bergelung malas di kasurku, bersiap untuk tidur kedua.

Aku tak pernah mencintai pagi sedalam ini. Dan di sini waktu tampak tak berjalan. Seolah-olah beku pada jam tujuh pagi dan tetap begitu sampai lampu padam. Orang-orang tetap antusias, tetap gembira, dan tetap fokus mengerjakan sesuatu di buku sketsa mereka.

Jika uang bukan masalah, aku rela datang setiap pagi ke tempat ini. Tapi jika uang bukan masalah, aku pasti tak akan sempat datang setiap pagi ke tempat ini, dan memilih untuk menghasilkan lebih banyak pundi lagi. Dan meneruskan siklus hidup tak bersyukur yang tak pernah memuaskan aku. Setidaknya, aku senang bisa tersesat di kuadran atasku dan bisa mengintip apa rasanya berjalan di sepatu seharga dua belas juta rupiah.

- ditulis untuk mengenang pagi beraroma kopi di Monolog

Gambar dari sini

-- hit me on @dinikopi

0 respon:

Posting Komentar

Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?