Selasa, 31 Agustus 2010

Membedakan yang Sama


Minggu sore lalu, karena iseng, saya mengikuti diskusi yang diselenggarakan oleh Change Magazine. Topik obrolannya menarik (setidaknya menurut saya), yaitu keberagaman, atau yg biasanya kita kenal dengan pluralisme, kejamakan, or whatever you call it. Rencananya, diskusi ini didampingi oleh Inayah Wahid, beliau adalah putri kedua (kalau saya tidak salah) dari almarhum Gusdur. Jujur, saya sebenarnya kurang mengetahui sepak terjang dari perempuan yang akrap disapa Mbak Nay ini. Tapi never mind, namanya diskusi, mau sama siapa pun orangnya, saya selalu antusias. Hehe, lumayan nambah-nambah isi otak saya yang masih bolong.

Apa sih pluralisme? Tadinya yang saya tahu, pluralisme adalah perbedaan, titik. Oo..oo saya ternyata keliru. Setelah diskusi mulai memanas, saya baru tahu kalo pluralisme itu adalah mengakui adanya perbedaan dalam masyarakat. Nah ada lagi yang namanya multikulturalisme, itu adalah menghargai juga memfasilitasi perbedaan yang ada. 

Simplenya gini, pluralisme itu adalah sebuah restoran yang bisa dimasuki oleh siapa aja, ga peduli dia suka warna kuning atau hijau, dengerin Fall Out Boy apa gak, atau dia gape soal komputer apa malah autis komputer, pokoknya semua orang bisa bebas masuk. Tapi multikulturalisme itu kalo si restoran menyediakan semua jenis makanan, dari cemilan garing, asin, manis sampai makanan berat dengan rasa pedas, manis, atau gurih. Si restoran disebut multikultur kalo udah bisa menghidangkan semua jenis dan rasa makanan untuk menyambut customer mereka yang memiliki beragam lidah.

Nah kalo di Indonesia sendiri, anak TK juga tahu kalo negara ini dibangun atas dasar perbedaan, slogannya aja Bhineka Tunggal Ika, jadi jangan kaget kalo saya bilang Indonesia adalah negara penuh kejamakan. Tapi, gara-gara banyak hal yang berbeda, masyarakat malah menganggap ini masalah! Apalagi kalo ngebahas masalah perbedaan agama yang wuih gak akan ada habisnya. Saya tahu, agama itu sangat prinsip dan sensitif untuk didiskusikan. Mungkin yang bisa saya tarik dari diskusi itu, adalah jika sebuah agama sudah mendominasi suatu wilayah, maka pemeluk agama itu rentan untuk memarjinalkan pemeluk agama lain. Contoh umum, di Jakarta yang mayoritas Islam, para non-muslim sangat sulit untuk beribadah, padahal menurut UU, itu seharusnya dilindungi negara. Atau di luar negeri yang dominasi agama Kristen, para muslim akan jarang menemukan mesjid untuk mereka shalat. 

Seperti itulah simpelnya (karena jika digali lebih dalam, akan panjang sekali tulisan ini), atas nama dominasi, mereka bisa mendiskriminasikan para minoritas. Padahal saya yakin kok, di setiap agama ataupun keyakinan pasti mendukung hidup aman, damai, dan tentram walaupun dengan penganut paham yang berbeda.

Mengenai toleransi kita terhadap keberagaman, kita mungkin secara sadar ngomong “kita harus menghargai perbedaan yg ada” atau “perbedaan itu saling melengkapi” tapi secara gak sadar, kita sendiri mempermasalahkan perbedaan. Kontras banget gak sih?

Contoh nih yaa, hayoo ngaku deh kita sering komentar sama perbedaan orang lain. Seorang temen rambutnya gondrong ala cewek, atau badannya gemukan dikit, pasti mulut kita tuh usil dan gatel pengen ngomen. Walaupun itu cuma sekedar “ya ampun, itu rambut lo kenapa” sampe komentar ngeselin kayak “ih kok lo jadi gendut gini sih? Harusnya lo jaga badan kea gw dong”. Eeerr, saya sendiri risih sama komentar-komentar miring ini. Menurut saya, ya udah sih itu hak mereka mau ngapain juga, selama gak bikin kita mati (ini ekstrim) atau selama apa yang dia lakuin gak buat kita jadi orang paling kere di dunia, yaa ngapain juga musti dikomentar apalagi sampe campur tangan. Yaa, saya ga munafik juga sih, terkadang (sering mungkin) secara ga sadar juga ikut-ikutan komentar tentang perbedaan orang lain. Hahaa, oke mulai sekarang harus lebih diminimalisir kayaknya :D



Nah awalnya dari komentar miring, bisa lho memicu ribut hebat. Oswald (seorang peserta diskusi) sempet ngerangkum kalo alur masalah pluralisme adalah, ada perbedaan > trus kita risih ngeliatnya > terus mulai gatel nih mulut ngomen > eh jadi ga suka ma orang itu, bahkan mungkin sampe benci > nongol deh tuh masalah > kalo masalah dah runcing, ujungnya ya jadi ribut habis-habisan bahkan sampe tawuran dan anarkis. Kira-kira kayak begitu alur munculnya berita-berita di TV tentang gak harmonisnya kelompok-kelompok di Indonesia.

Oke, itu masalahnya. Dan saya yakin walau bejubel masalah perbedaan di Indonesia, dan mungkin kita pernah ada yang jadi pelaku atau malah korban, tapi di dalam hati kita pasti ga sreg kalo terus-terusan ribut begini terus. Capek juga ngurusin orang, terlalu nguras energi untuk membuat semua orang berpikir dan bertindak seperti maunya kita. Cara penyelesaiannya? Ya dialog!

Yup, saya dan temen-temen disana setuju banget kalo cara yang efektif untuk mengecilkan masalah yg terlanjur besar ini dengan cara dialog. Menurut Adi (seorang peserta juga), kita harus berani dan mau untuk berdialog antar kelompok yang berbeda. Nah kata “harus” dan “mau” emang musti dihighlight terang-terang. Karena untuk mau dan berani berdialog itu susahnya setara sama nangkep satu semut dalam seplastik beras. Bayangin aja gimana tengsin dan ogahnya kita dialog sama penganut paham alay, atau kira-kira seberapa terbuka sih kita dialog sama orang yang berbeda agama. Tapi lagi-lagi kalo dialog ini ga pernah dibuka, yaa sama aja dong kita omdo, ngakunya menghargai perbedaan tapi giliran ditantang untuk saling diskusi malah ciut. Oke, dialog ini kayaknya yang mesti kita catet gede-gede di halaman otak kita.

Ada beberapa saran juga untuk menyebarkan virus multikultur ini, para guru alias pendidik bangsa bisa nih ngasih contoh ke muridnya gimana seharusnya menjadi rakyat yang menghargai perbedaan orang lain, trus kalo ada diskusi soal multikultur coba ajak orang rumah atau temen kamu biar mereka juga ngeh dan mikir sendiri soal masalah perbedaan ini. Atau saat kita ngobrol santai bisa juga tuh diselipin pandangan multikultur, ga usah yang berat-berat (orang juga males kali kalo keberatan), cukup yang simpel aja kayak saat temen kita lagi usil ngomenin orang tentang perbedaan, kita bisa bales komen dengan bilang “ya udah sih itu hak mereka juga, toh ga ngebuat lo beneran muntah juga, hahaha”

Pengetahuan multikultur ini, menurut saya sih krusial banget. Karena sebenarnya gada yang mutlak sama atau mutlak beda. Misalnya, saya dengan teman saya boleh aja beda agama, tapi kami sama-sama suka Ashton Kutcher. Atau kamu sama adikmu boleh beda umur, tapi kalian tetap satu keluarga kan. Nah itu dia, karena gada yang mutlak beda, makanya ga bisa juga kalo kita keukeuh mutlak benar. Karena yang namanya kebenaran mutlak hanya milik Tuhan, masaa mau nyaingin Tuhan sih untuk urusan benar-benaran, hoho.

Dan pada akhirnya sih saya kepengen banget ngeliat bangsa Indonesia yang sarat akan perbedaan malah benar-benar bangga dengan keberagaman ini. Memang susah sih untuk ngerubahnya, apalagi ini tentang merubah mindset masyarakat yang sudah mengakar, tapi bukan berarti ga mungkin, kan? Impossible means i’m possible :)

Yeah, we are possible to make our Indonesia becomes peaceful country. No need to be pessimistic, i believe in dreams, because i am a dream worker. Are you going with me?

0 respon:

Posting Komentar

Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?