Sabtu, 25 September 2010

Mengintip Kurikulum Asing

"I like a teacher who gives you something to take home to think about besides homework." -- Edith Ann, [Lily Tomlin]


As i wrote before in my post, i am now teaching a girl named Tonya Ongko. She is now in four grade at Jakarta International School Pattimura. Now, im gonna write something related to her

Ini adalah murid kedua saya dari Chemie Privat yang berasal dari International School. Tapi dia masih orang Indonesia, jadi gak ada masalah dalam komunikasi, walaupun kami berbicara dalam bahasa campur-campur. Sebelumnya, saya juga pernah mengajar Shaun, seorang anak four grade di Pelita Harapan School. He is an Indonesian too. Walaupun tidak bisa berbahasa Indonesia secara lancar. He said, English is his first language. But still he wants to learn Bahasa more because he is still living in Indonesia.

One thing i wanna share is, their unique curriculum! Sebelumnya, saya sempat ketar-ketir waktu mengetahui saya akan punya murid dari International School. Kurikulum mereka pasti akan sangat berbeda dengan Indonesia, juga metode belajar mereka. Tapi akhirnya, saya malah tertarik!

Kurikulum mereka begitu hidup. Tonya yang baru kelas empat, memang belum dikenalkan kepada bagi-bagi dengan cara kurung, ataupun pembagian dengan angka ratusan bahkan ribuan. Di kelas empat, dia masih belajar operasi sederhana penambahan, pengurangan, perkalian, serta pembagian. Untuk pembagian dan perkalian, belum yang tiga digit. Masih berupa dua digit, alias masih puluhan. Ini berbeda sekali dengan kurikulum Indonesia kelas empat SD. Di ibu pertiwi ini, anak kelas empat SD sudah belajar KPK, FPB, pembagian kurung, perkalian sampai ratusan, dan berbagai metode rumit nan njelimet

Mungkin kalian berpikir, kalau begitu kurikulum luar jauh lebih ketinggalan dari Indonesia dong! Haa, gotcha! kalian gak sepenuhnya benar. Saya malah mengacungkan jempol untuk kurikulum asing. Pembagian bebean pelajaran mereka memang lebih ringan daripada di Indonesia, tapi mereka lebih efektif dan mendalam. Tidak seperti di Indoesia yang sejak SD sudah mengambil banyak sekali beban pelajaran yan terangkum dalam satu kurikulum tebal bin berat. Contoh saja, di setiap bab matematika, ada pendahuluan yang memungkinkan untuk mengetahui gunanya mempelajari bab ini. Jadi mereka gak asal belajar demi nilai saja, mereka belajar karena tahu ini akan sangat bermanfaat dan bisa diaplikasikan ke kehidupan mereka

Walaupun masih operasi matematika sederhana, materi mereka sangat runcing dan fokus. Mereka bahkan sudah belajar cara membuat grafik dan tabel sendiri dari soal matematika sederhana. Mereka diharapkan lihai dalam membaca tabel dan grafik, tidak seperti pelajar Indonesia, yang sampai uniersitas pun masih gagap menganalisa grafik (seperti saya, haha). Dalam pelajaran matematika pun, mereka bisa mengeksplorasi kreativitas mereka, dalam menyelesaikan soal deret angka, disediakan space untuk mereka membuat deret angka dengan pola mereka sendiri! Gak cuma deret angka, masih banyak materi yang menerapkan "What's My Rule" ini. Jadi mereka bisa menciptakan soal dan menyelesaikannya untuk diri sendiri.

Selain itu, soal mereka lebih down to earth, daripada soal di Indonesia yang seperti ngawang-ngawang.Contoh aja, ada soal pertambahan sederhana, yang menantang mereka untuk menghitung seluruh penghuni rumah mereka, mulai dari keluarga pribadi sampe pembantu dan supir. Aplikatif dan sederhana kan? Juga pernah ada soal statistika, ada tabel yang menceritakan riset tentang berapa lama biasanya anak SD nonton televisi. Nah dari tabel itu, mereka menentukan, mana jam maksimal, mana jam minimal, rata-ratanya berapa, range data berapa, dan ditanyain si anak sendiri biasanya nonton televisi berapa jam per hari. See, so simple rite?

Selain matematika, ada juga pelajaran semacam riset gitu, saya lupa apa nama pelajarannya. Di pelajaran itu, mereka dikasih tugas untuk buat satu proyek penelitian mereka sendiri. Trus hasilnya ditulis di jurnal pribadi mereka. Waktu itu Shaun pernah nulis kenapa bisa terjadi gempa bumi, dan masih banyak lagi. Trus si guru komen per paragraf, komennya gak cuma diceklis doang, tapi bener-bener ngeliat perkembangan tulisan si murid. Guru pun gak canggung untuk memberi pujian kalo emang tulisan dan proyek si murid bagus banget. Tapi kalo ada yang gak bagus, mereka gak cuma ngecap itu salah, tapi juga dikoreksi bagian mana yang keliru dan diberi saran bagusnya gimana.

Well, so impressive!

Mungkin ini sekilas yang bisa saya tangkap, sekilas yang saya sangat salut pada kurikulum luar. Tapi well, namanya juga manusia yang punya banyak kekurangan, gak menutup kemungkinan, kurikulum mereka juga banyak bolongnya. Tapi setidaknya, path mereka yang saya lihat leibh lurus daripada Indonesia, hahhaa.

I still wish education in Indonesia could set the student free to express what they really interest, could accommodate their true passion, could measure all the ability, not only the exact side. Wish our education could be process-oriented :)





0 respon:

Posting Komentar

Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?