You are not a judge
But if you are going to judge me,
Well, sentence me to another life
Saya punya seorang sahabat cowok. Yah, kalau kalian sering ngeliat tweet ataupun postingan blog saya, kalian pasti tau, dia sering saya panggil dengan sebutan sob. Dulu emang berawal karena dia adalah salah satu mantan saya, tapi sejak beberapa tahun lalu, kami udah putus dan memulai persahabatan. Ternyata persahabatan itu bertahan sampai sekarang. Sejak setahun yang lalu, saya emang udah gak ngarepin dia lagi karena emang I’m over him, case closed.
Orang tua saya tahu kalo saya sama dia sempat pacaran dan sekarang putus secara permanen. Dia punya pacar lagi, dan sekarang pacarnya dia itu adalah calon istri dia. Sedangkan saya melanjutkan hidup dengan mulai memiliki gebetan, sampai akhirnya sekarang saya membangun hubungan pacaran yang sangat manis dengan teman lama saya. Oke, pernyataan diatas sepertinya sangat cukup menjelaskan bahwa saya benar-benar “case closed” dengan sob saya itu. Yang ada cuma kepedulian yang besar sebagai seorang sahabat.
Nah, si sob dengan tunangannya ini akan melangsungkan pernikahan tanggal 6 Februari 2011. Sebagai sahabat dia, saya mau datang dong. Masa iya gak datang ke acara sakral sekali seumur hidup-nya sahabat saya sendiri. Rencana disusun dari jauh-jauh bulan untuk datang ke pernikahan mereka.
Saya sebelumnya pernah bilang sama orang rumah, especially orang tua, minta izin untuk dateng ke Cilacap. Secara sob saya dan tunangannya emang tinggal di Cilacap. Saat sebulan sebelum hari H saya minta izin, dengan sangat mudah perizinan diloloskan. Ayeee! Pokoknya ini rencana di otak udah mateng buat pergi ke Cilacap selama beberapa hari.
Nah, beberapa minggu sebelum hari H, saya sempat cerita ke orang rumah tentang si tunangan sahabat saya ini yang gak suka saya terlalu deket dengan calon suaminya. Well, kasus cemburu gitu, wajarlah. Akhirnya, saya emang udah mengurangi intensitas komunikasi dengan sob sejak akhir tahun lalu. Alasannya, karena saya ma sob lagi sering-seringnya beda pendapat (baca : sering berantem) dan waktu luang saya emang sengaja dihabiskan buat si pacar. Nah, ortu bilang ga baik saya sering-sering komunikasi sama si sob. Katanya takut dicap perusak rumah tangga orang lain. Dan jawaban saya, emang iya udah jarang banget komunikasi. Kalo gak penting-penting banget juga ga saling tegor.
Nah, tepatnya malam ini, saya bilang lagi sama orang rumah, kalo saya akan berangkat ke Cilacap itu hari Sabtu (5 Februari 2011). Sontak, nyokap bilang dengan tegas “ga boleh!”. Lho, bingung dong saya, dulu katanya boleh, sekarang kok berubah lagi. Saya tanya dong, kenapa gak bolehnya. Nyokap bilang ga baik anak perempuan pergi sendiri. Katanya ga etis dilihat orang. Katanya apa kata orang nanti disana ngeliat saya yang notabene perempuan datang ke pernikahan temen cowoknya. Mending kalo si sob rumahnya deket sama saya. Ini kan artinya saya bela-belain datang dari Jakarta seorang diri. Terus katanya jangan pergi karena bisa dicap orang sebagai perusak rumah tangga orang lain, ntar bakal dicap perempuan ga bener. Melanggar norma agama, etika, kesopanan, juga akhlak.
Well, saya makin gregetan dong. Weiiss, melanggar sebelah mana? Saya emang perempuan, dan sahabat saya itu laki-laki, lalu salah kami bersahabat? Saya emang dulu adalah mantan dia, laluapakah salah kalau kami sekarang bersahabat dekat? Lalu masalah gender itu, di sebelah mana yang salah jika seorang perempuan berumur 20 tahun, pergi dengan biaya-nya sendiri ke luar kota untuk mendatangi pernikahan sahabat laki-lakinya? Mengapa itu dianggap “tak pantas” oleh masyarakat, yang dalam kasus ini adalah keluarga saya. Dan saya datang karena senang akhirnya si sob itu menikah dengan tunangannya, sebelah mana ada niat untuk merusak rumah tangga orang lain?
Selain itu, norma agama apa yang saya langgar? Saya diajari untuk datang jika diundang. Wajib pula hukumnya menurut agama, kecuali jika sakit atau ada hal-hal sangat mendesak lainnya. Ayat mana yang saya langgar? Hadis mana yang saya langkahi? Juga untuk bagian kesopanan, saya malah sangat menyesal sekali mengabarkan bahwa saya tidak jadi datang kepada sob saya itu. Dan sob saya itu langsung tiba-tiba diam dan membalas sms saya dengan jawaban pendek-pendek setengah pasrah setengah kecewa. Itu yang disebut dengan sopan? Oh iya, juga tentang akhlak. Apakah dengan saya datang, saya adalah perempuan tak punya harga diri dan rendah akhlak mulia? Lagipula, apa sih akhlak itu?
Sebagai seorang dini, saya tidak mengerti logika berpikir kedua orangtua saya. Tapi mereka tetep keukeuh saya gak boleh pergi. Sebagai kalimat penutup, mereka bilang “nanti juga kalo jadi orangtua, dini akan ngerti kenapa”. Well, iya kalo umur saya panjang dan merasakan jadi orangtua, iya kalo zamannya masih sama dan kejadian seperti ini terulang persis. Kalo enggak? Jawaban penutup itu tidak menjawab pertanyaan saya sama sekali.
Saya jujur merasa kecewa. Kecewa terhadap keadaan. Sebal dengan apa yang masyarakat anggap normal. Muak dengan segala opini orang, dengan segala penilaian orang.
Saya hanya pengen ada di akad nikah sahabat saya sendiri. Tapi label masyarakat terhadap etika, ahklak, moral, agama, juga gender menghalangi saya.
0 respon:
Posting Komentar
Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?