Namanya juga budaya, pasti judulnya turun temurun. Dari generasi satu ke generasi selanjutnya. Isi budaya yang diturunin juga tergantung dari keadaan pada saat itu. Nah ini dia yang menarik, karena budaya dibuat berdasarkan keadaan pada asal keadaan, bisa dibilang budaya itu ga permanen. Dan juga, karena manusia yang menciptakan budaya, bisa dibilang, kita, para manusia sekarang , juga bisa merubah kebudayaan yang ada.
Salah satu kebudayaan yang saya dan temen-temen lain, khususnya di SPEAK, pengen bangun adalah budaya kritis. Kritis seperti apa dulu nih? Saya disini ingin menyoroti dari perspektif kritis pada orang tua. Secara, masalahnya masih anget terjadi di saya.
Dari dulu, banyak anak yang diajarkan untuk selalu nurut tanpa berkata-kata lagi pada orang tua. Apa yang orang tua pengen, kita harus selalu patuh dan menjalankan sebaik-baiknya. Well, gak ada yang salah dari perspektif itu. Namun, jika ada saatnya kita berbentur prinsip dengan mereka, sepertinya negoisasi tetap dibutuhkan. Muncullah saat-saat kita harus mempertanyakan kembali sudut pandang orang tua dan membuka forum diskusi dengan mereka.
Beberapa orangtua belum nyaman jika anaknya bertanya-tanya tentang prinsip “mengasuh anak” ala mereka. Jika orang tua bilang gak boleh ikut organisasi A, ya artinya itu gak boleh, jangan dipetanyakan lagi. Kalo orang tua bilang gak boleh pergi ke tempat B, ya vonisnya tetap gak boleh apapun yang kita katakan untuk membujuk mereka. Alasan orang tua kerap kali berputar di kalimat “nanti kamu juga akan ngerti kalo jadi orang tua”
Saya pernah mempertanyakan perspektif ini pada dua orang tua lain, satu yang sudah punya tiga anak, satu yang belum. Mereka berdua sepakat bahwa jawaban “nanti kamu juga akan ngerti kalo jadi orangtua” tidak akan menyelesaikan masalah dan tidak menjawab pertanyaan saat itu. Iya, kalo si anak punya umur panjang untuk ngerasain jadi orang tua, dan iya juga kalo pada saat dia menjadi orangtua, ada kasus yang sama persis. Kalo enggak? Gimana tuh. Makanya, anak sebaiknya dijelaskan mengapa tidak boleh, apa kemungkinan terburuknya, agar si anak mengerti dan dengan senang hati mengikuti pendapat orang tua.
Karena ada beberapa orang tua tadi belum nyaman jika anaknya mempertanyakan kembali perspektif mereka, maka si anak dicap kurang ajar, suka ngelawan, ga sopan sama orang tua, bahkan mungkin tidak menghargai orangtua. Tapi yuk, kita bedah lagi deh sudut pandang ini. Jikalau si anak mengajak diskusi kedua orangtua-nya untuk mendengar apa sih jawaban orangtua-nya, bukankah itu namanya si anak mau menghargai pendapat orangtua-nya sendiri? Dibandingkan dengan anak yang hanya “telan jadi” kalimat orangtua-nya. Ini mungkin saja bisa disinyalir bahwa si anak belum mau peduli akan latar belakang dari keputusan sang orangtua.
Makanya itu, ruang diskusi tetap perlu dibuka. Agar tahu kemungkinan terburuk dari keputusan A itu apa aja, seberapa besar kadar kemungkinan terjadinya, kemungkinan baik dari keputusan A itu apa, seberapa besar persentase itu terjadi, lalu dimana keadaan yang sama-sama aman, yang minim resiko. Yah, win-win solution jadinya. Jika si anak dan orangtua bisa mengambil jalan itu, kan kedua pihak jadi senang dan merasa dihargai. Itung-itung menerapkan nilai demokratis di keluarga.
Seru ya kalo bisa kritis terhadap orang tua. Bayangin deh gimana bakal kompak banget sama orang rumah karena udah saling tahu stand point dan jalan pikiran masing-masing personil. Dan yang pastinya, meningkatkan kadar kepedulian terhadap masing-masing pendapat.
Tertantang untuk ikut kritis? Ayo, kita bangun sama-sama :)
ikutan kritis yuk :D
BalasHapus