Senin, 14 Maret 2011

Bangkitlah Perempuan

2 comments    
categories: 
Otak saya sepertinya terlahir untuk gila diskusi. Entah kenapa kalo abis diskusi selalu pulang dengan pikiran dan badan seringan kapas. Belum lagi ditambah ide dan analisa baru yang mencerahkan.

Jadi ceritanya saya sangat suntuk minggu kemarin dan memutuskan untuk ke kantor Transparency International Indonesia. Rencananyanya sih mau ketemu Mbak Soraya buat ngobrol tentang SDM di kantor itu, eh gataunya ketemu Mbak Lila sama Mas Wawan di perpus. Jadilah diskusi berjam-jam dimulai. Sebenernya banyak banget topik diskusi yang mengalir. Random banget, dari satu topik ke topik yang lain. Tapi disini saya mau nulis satu topik tentang gender.

Saya memang lahir di Jakarta, tapi cuma numpang lahir doang, dan malah besar di Bekasi. Tempat saya tinggal termasuk yang pinggiran, masih sangat desa dan memang perbatasan antara Bekasi dan Bogor. Karena kulturnya yang masih desa, maka pendidikan di tempat saya bukanlah sesuatu yang penting. Banyak banget temen perempuan saya yang cuma bersekolah sampai SD atau paling mentok SMA, lalu setelah itu kerja di pabrik atau dipinang orang.

Pendidikan masih menjadi sesuatu yang mewah di tempat saya tinggal. Dan anggapan masyarakat disana adalah "ngapain capek-capek dan tinggi-tinggi sekolah kalau toh perempuan pada akhirnya turun ke dapur juga". Geez, jujur kalau denger kalimat itu, hati saya seperti disilet-silet. Perempuan sekarang masih saja disamakan dengan masa sebelum Kartini ada, yaitu diremehkan dan hanya diharapkan sebagai pelayan di rumah. Perempuan sekarang seperti tidak ada untungnya sekolah tinggi-tinggi.

Belum lagi siklus buruh di pabrik-pabrik itu yang merekrut perempuan jauh lebih banyak daripada laki-laki. Kenapa begitu? Karena perempuan yang labelnya bukan "pemimpin keluarga" jadi bisa dengan seenaknya diputus kerja setelah tiga bulan. Istilahnya hanya jadi karyawan sementara dan tidak diangkat jadi karyawan tetap. Jadilah banyak teman-teman perempuan saya hobi berganti-ganti pabrik tempat mereka kerja. Jarang ada yang menetap di satu pabrik saja.

Mbak Lila menambahkan, kalau di daerah dia tinggal, yaitu Cileungsi, ada lagi yang bilang "udahlah abis sekolah musti kerja, jadi tulang punggung keluarga, nanti kalo kamu kerja dengan keras bakal ada cowok sempurna yang mau nikahin kamu". Ya tuhaaaan, hanya sampai disitu kah perempuan diberdayakan? Hanya sampai menjadi tulang punggung keluarga lalu disuruh menikah? Dan setelah menikah hanya berfungsi sebagai "pelayan" untuk suami-nya? Geez...

Salah satu perempuan hebat di sekitar saya - Alanda Kariza
Dan ternyata fenomena serupa gak hanya berhenti di tempat saya atau Mbak Lila aja. Saya pernah diskusi panjang dengan pacar soal masalah gender ini di Surabaya, tempat dia tinggal sekarang. Pembicaraan dimulai dari topik "kenapa gak cewek aja yang jadi ketua di radio kampus?". Dan keluarlah berbagai anggapan masyarakat di Surabaya, kalo yang namanya perempuan itu pasti merepotkan, pasti moody, pasti gak bisa se-wibawa cowok, dan yang pasti gak ada perempuan disana yang berkompeten untuk dijadikan ketua. Penasaran dong, sampai segitunya kah perempuan di mata masyarakat sana sampai gak ada seorang pun yang menonjol? Dan ternyata, emang bener, kebanyakan perempuan disana gak terlalu memaksimalkan potensi mereka. Kalo pun handal, cuma dalam kuliah (baca : mendapatkan nilai di kampus), bukan dalam soft skill ataupun leadership. Kenapa? Karena mereka anggap buang waktu aja gitu mempelajari soft skill, toh entar jadi ibu rumah tangga juga.

Salah satu perempuan hebat di sekitar saya - Niesrina Nadhifah
Geez, masih banyak diskriminasi atas perempuan yang terjadi di sekitar saya, di Surabaya, bahkan di Jakarta sendiri. Perempuan masih dipandang makhluk dengan emosi labil dan tidak memiliki kemampuan memimpin yang matang. Saya jadi gregetan. Kalo ini dibiarkan, gimana mau memaksimalkan peran perempuan, wong mental dominasi perempuan di Indonesia sudah dijatuhkan oleh stigma dominan. Hey girls, you deserve more than this! Kamu bisa jadi APAPUN yang kamu mau dan mempelajari APAPUN yang kamu inginkan.

Salah satu perempuan hebat di sekitar saya - Retha Dungga
Kalo si pacar bilang, nyari cewek yang punya skill leadership itu susah, saya gak heran. Iyalah susah, wong setiap mau ikut organisasi, kebanyakan orang akan bilang "ngapain ikut begituan, kamu kan perempuan, udah belajar masak aja". Kalo banyak yang bilang perempuan itu lemah, saya gak heran. Iyalah lemah, wong kita jarang dikasih kesempatan untuk melindungi diri sendiri. Kalo pulang malem sendiri aja selalu diwanti-wanti "kamu tuh perempuan, ya mbo minta ditemeni temen kalo pulang malem. Kalo ada apa-apa gimana". Tuh kaan...

Saya rasa, ini jadi tantangan buat kita, para perempuan. Kalo kita bosen dipandang sebelah mata, yuk kita tunjukin bahwa kita juga bisa setara dengan laki-laki. Eits, setara bukan berarti disamakan. Maksudnya, kita punya kesempatan yang sama besar dengan laki-laki. Belajarlah skill leadership, olah emosi dengan baik, jadilah multitalenta (apalagi kita udah dianugerahi dengan otak yang dapat memikirkan banyak hal dalam satu waktu), jadilah perempuan yang kuat dan bisa dipercaya. Kita putus siklus tadi, kita buktikan bahwa perempuan juga bisa hebat.

2 komentar:

  1. Saya setuju dengan mbak.
    "Kesadaran Palsu" itu memang tidak mudah dihilangkan, apalagi telah mendarah daging dan menjadi produk budaya.
    Tapi yang disayangkan, terkadang perempuan pun "nyaman" dengan proses pemanjaan yang ia terima. Terlalu lama dimanja, maka lemah lah ia.

    BalasHapus
  2. nah makanya ayo perempuan, yuk bangkit dari kesadaran palsu :)

    BalasHapus

Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?