Minggu, 24 April 2011

Kacamata Magenta

No comments    
categories: 
Saya menemukan perspektif lain dalam menyikapi pelabelan. Sebenarnya, perspektif ini pertama kali disadari pada diskusi yang sudah usang. Namun banyak kejadian yang menimpa saya akhir-akhir ini, membangkitkan kembali pemikiran tentang label.

Saat kita bertemu orang untuk pertama kalinya, kita akan mengidentifikasi orang itu berdasarkan gerak geriknya yang pertama kali ia tunjukkan pada kita. Contohnya, saat pada pertemuan pertama sudah telat, maka mungkin saja orang itu dicap telat oleh orang yang baru pertama kali melihatnya. Ataupun saat kita membuat status yang bertuliskan "saya menghargai mereka yang gay ataupun lesbi. mereka memilih jalannya sendiri", kita bisa saja dilabeli "liberal" oleh orang yang tidak mengenal kita dengan baik.


Label erat kaitannya dengan penilaian. Saat kita memberikan label pada seseorang, disitulah letak penilaian kita. Namun, perspektif lain yang datang dari label, bisa begini : kita memberi label pada seseorang untuk menentukan bagaimana kita akan bersikap di depan orang tersebut. Contohnya saja, kalau kita ketemu sama orang yang setiap ketemu selalu mengucapkan salam serta bertanya "sudah shalat belum, antum?" apa yang ada di pikiran kalian? Orang ini adalah orang yang religius. Nah, religius disini adalah label. Kita memberi label "religius" pada orang itu, dan setiap kali kita ditanya tentang orang itu, kita akan selalu mengatakan pada orang lain bahwa dia adalah orang yang memang benar-benar religius.

Terlepas dari benar atau tidak label tersebut, kita toh menganggap dia religius dan memperlakukannya sebagai orang yang religius pula. Kita gak mungkin dengan lepasnya berbicara tentang hits terbaru dari Rihanna ataupun berapa harga tiket JavaJazz sama orang ini. Kita juga mungkin gak akan berani dengan refleksnya nempeleng dia saat becanda, atau duduk disebelahnya dengan jarak kurang dari sejengkal. Pokoknya, kita memperlakukannya sebagai orang yang mengerti agama banget deh.

Nah, ini dia.
Kita mencap religius agar kita bisa menentukan sikap apakah kita akan dengan bebasnya bercanda sama dia, atau apakah sopan untuk ngobrol tentang seksualitas sama orang seperti dia. Kita melabeli orang untuk mengambil sikap dalam berkomunikasi dengannya.

Kondisi ini terjadi saat belum ada pemahaman yang baik antara masing-masing individu. Makanya muncul penilaian (label) agar kita bisa menentukan sikap dalam berkomunikasi. Seiring dengan kita semakin kenal dengan orang yang bersangkutan, bisa saja label kita luntur dan berubah dengan yang baru.

Gak munafik, yang namanya melabeli atau menilai orang itu manusiawi. Yang fatal, kalau kita hanya menilai orang hanya berdasarkan kesan pertama saja. Jika label kita salah, itu berarti kita belum mengenal baik dengan orang ini. Si objek label pun jangan keburu marah. Kalau dilabeli yang terasa "bukan gue banget" tunjukkan sikap yang "ini baru gue banget".



Selamat melabeli orang dengan bijaksana!

0 respon:

Posting Komentar

Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?