Rabu, 12 September 2012

#1 No Pain No Gain, They Said

2 comments    
categories: 
Nggak kotor, ya nggak belajar! Gitu kalo kata tagline sebuah iklan deterjen.

Sama juga dengan saya. Ibaratnya, saya lagi kotor-kotornya nih saat ngacak-ngacak lumpur ilmu. Lagi sedang banyak jatuhnya, berdiri lagi. Oleng dikit, bangkit lagi. Gitu terus. Tapi kalo nggak kayak gini, ya saya nggak akan belajar seumur hidup saya.

Jadi ceritanya saya berusaha mencemplungkan diri ke dunia penulisan fiksi lagi. Udah lama banget vakum nulis fiksi, menghindari malah. Saya ingat, terakhir kali nulis fiksi itu pas kelas 3 SMP. Lalu berhenti total saat tulisan saya dengan terang-terangan dan bahasa yang keras, dicap jelek oleh teman sekelas saya yang tulisan sci-fi dan fantasinya lebih bagus.

Sejak saat itu, saya bersumpah untuk tidak akan menulis fiksi lagi.

Sampai pada suatu saat saya ikut unit kegiatan mahasiswa yang alirannya adalah organisasi penalaran. Saya jatuh cinta pada divisi penulisan. Di ruangan sederhana itu, saya selama dua tahun mencoba memijakkan pena untuk menulis. Tulisannya non-fiksi pasti. Saya belajar jurnalistik garis keras, dan menghindari fiksi sebisa mungkin. Saat itu, saya memusatkan diri untuk terus menerus belajar menulis opini (artikel) dan feature. Karena jatuh cinta pada deskripsi, feature langsung jadi favorit saya.

Gambar dari :  http://pinterest.com/pin/412853490809841269/
Pertama kali belajar menulis, rasanya berat sekali. Kebetulan saya dimentori langsung oleh Hamzah Ichwal. Doi ini kalo udah nulis artikel, risetnya oke, waktu cepat, pemikiran dalam, tapi bahasanya mengalir! Ini yang saya suka. Saya langsung ngefans sama tulisan-tulisan dia.

Pertama kali belajar nulis langsung mau sok-sokan ikut lomba artikel tentang Ciliwung. Kata kak Hamzah, saya mending nulis dulu sampai habis, baru konsultasi. Begitu saya menunjukkan hasil tulisan saya, master saya ini langsung nyorat nyoret tulisan saya sampai halaman itu lebih penuh sama komen dia daripada tulisan asli saya!

Jangan tanya perasaan saya, pastinya kecewa banget. Mau nangis saat itu juga. Berasa nggak bakat nulis, dan trauma dikritik saya muncul lagi. Tapi, kak Hamzah ini mengkritik dengan cara yang tidak teman SMA saya lakukan. Ia menuliskan komentar-komentar detail pada setiap kalimat yang saya bubuhkan. Mencoret beberapa kata yang tak perlu, menulis paragraf tambahan sebagai saran, dan lain-lain. Pokoknya spesifik banget!

Beda sama teman SMA saya yang langsung bilang kalo tulisan saya jelek. Alih-alih menilai secara keeluruhan, kak Hamzah membantu saya memperbaiki kalimat satu per satu. Dari situ saya belajar tentang kelemahan saya yang harus diperbaiki, sampai rambu-rambu baru yang harus diperhatikan saat menulis. Dan voila! Saat revisiannya dia baca, dia bilang saya belajar banyak setelah revisi. Ah senangnya :')

Sampai saat ini, ketika nulis non-fiksi, saya selalu keinget sama kak Hamzah. Dia yang ngajarin saya untuk terus menulis, tak peduli betapa berantakannya tulisan pemula. Dia yang ngebimbing saya untuk mendengar "suara tulisan" sendiri. Dia yang ngajak saya berlomba-lomba nulis rutin dan produktif. Kak Hamzah nggak hanya ngajarin saya nulis, tapi juga ngajarin untuk pede dengan hasil karya saya sendiri :')

Coba kalo saya berhenti di tengah usaha saya dulu, nggak ada nih blog ini :)))

Gambar dari :  http://pinterest.com/pin/269230883943960295/

PS : Saya masih belajar nulis sampai sekarang kok. This is a lifetime learning! ;)

-- hit me on @dinikopi

2 komentar:

Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?