Kamis, 27 September 2012

#WritingClass - Aku Ingin Jatuh Cinta

No comments    
categories: 

Gambar dari : http://pinterest.com/pin/139119075959588415/

“Jangan bilang lo sendirian lagi ke sini,” Raksha memicingkan mata pada sahabatnya yang tersenyum cengegesan. Ia tahu betul sudah beberapa bulan ini Sharima yang hobi berganti kekasih, selalu bepergian sendiri lantaran menolak menjalin hubungan baru dengan lelaki lain.

“Nggak kok, tadi dianterin sama Tejas. Eh gue belum cerita sama lo ya?” Sharima mengibaskan tangannya seraya mengajak Raksha segera turun ke kolam renang. Hari itu, dua sahabat yang lama tak bertemu, memanjakan diri berenang di salah satu tempat favorit mereka sejak SMP.

“Pacar baru? Cepet banget, katanya belum ada yang cocok,” ucap Raksha sambil menenggelamkan diri pada jernihnya air kolam. Ia heran pada sahabatnya ini. Aneh jika Sharima menunda berpacaran lantaran tak cocok. Biasanya langsung tancap gas saja tanpa meerhatikan cocok atau tidak, perihal belakangan.

Sharima hanya tersenyum seulas sambil memandang ujung kolam renang di seberangnya.

“Yah, Tejas ini baik banget, nggak tega gue. Lagian udah capek main-main mulu. Sesekali boleh berpacaran serius kan?” jawab Tejas sambil menghela napas panjang. Raksha semakin tak mengerti.

“Lho, bagus dong kalau dia baik banget. Bukannya yang  dicari memang tipe baik ya kalau mau berpacaran serius? Setidaknya nggak berandalan kayak mantan-mantan lo dulu,” goda Raksha sambil mengerlingkan matanya.

Sharima tersenyum masam dan menelan kepahitan yang ia rasakan sendiri.

“Justru itu, si Tejas ini suka sama gue, tapi gue biasa aja. Nggak ada tuh berontakan sayap kupu-kupu di perut atau detak jantung yang semakin cepat kalau ketemu dia. Aneh kan? Padahal kami udah sekitar tiga minggu dekat,” terang Sharima yang langsung menyelam ke bawah air dan melancarkan gaya katak untuk berenang ke ujung kolam di seberangnya.

Raksha yang mengetahui kegetiran sahabatnya ikut menyusul. Begitu sampai di ujung kolam, ia mendengar Sharima mendesah.

“Nggak tahu lah, Sha. Belum gue pikirkan lagi, masih temenan biasa aja dulu,” katanya dengan senyum tenang yang biasa ia lontarkan. Raksha mengangkat bahu dan menyahut “Terserah saja lah, yang paling baik buat lo,” katanya sambil terkekeh dan kembali menyelam.

Sharima memberikan senyum kelegaannya. Raksha memang paling mengerti, pikirnya.

***

“Jangan pulang dulu sebelum ku jemput,” ucap Tejas mewanti-wanti saat Sharima tengah bersiap kembali dari studio tari. Lima hari lagi dirinya akan terbang ke San Fransisco untuk mengikuti malam kebudayaan di sebuah acara. Ia dan beberapa penari lain akan membawakan beberapa tari khas Indonesia di pagelaran tersebut, salah satunya adalah tari Jaipong.

Sharima memilin-milin tali tasnya selama menunggui Tejas. Raganya berada di halte depan studio, namun pikirannya melayang entah kemana. Teringat wejangan ibunya untuk segera menikah sebelum usianya menyentuh angka tiga puluh. Namun di tengah serangan pendekatan Tejas yang bertubi-tubi, ia malah merasakan risau, bukan harapan.

Tejas dan dirinya pertama kali bertemu di sebuah pameran fotografi dimana salah satu karya lelaki ini juga dipajang. Saat itu, mereka terpaku lama di sebuah gambar hitam putih yang menampakkan potret kehidupan masyarakat pasardi hari Minggu. Mengetahui dirinya menyukai seni, mereka langsung akrab serupa kawan lama yang sempat hilang.

Tak sulit bagi Sharima untuk menyadari Tejas menyukai dirinya. Memiliki banyak mantan pacar membuatnya fasih tentang beberapa trik pria untuk mendekatinya. Tejas yang bersikukuh untuk mengantar jemput dirinya setiap kali ada kesempatan, beberapa undangan makan malam romantis di malam minggu, telepon-telepon malam mereka, telur mata sapi dengan kuning telur bulat sempurna kesukaan Sharima yang pernah Tejas berikan saat dirinya terlalu sibuk untuk sarapan, ah sudah banyak sekali yang lelaki itu berikan pada Sharima.

Entah mengapa ia tidak tertarik pada lelaki blasteran India-Indonesia ini. Mungkin alasan Tejas terlalu baik untuk dirinya terdengar begitu klise. Namun alasan apa lagi yang sanggup ia lontarkan pada hati kecilnya jika memang itu yang paling jujur? Ah, perkara jatuh cinta ini membuatnya pusing. Belum ada gelegak perasaan bahagia saja sudah merepotkan, apalagi jika ia benar-benar jatuh cinta? Entahlah.

Sharima hanya memikirkan perasaan laki-laki ini. Saat ia menganggap hubungan yang terjalin sebagai persahabatan belaka, hancurkah perasaan Tejas? Tentu saja mereka tak pernah membicarakan perihal ini. Tidak di depan Tejas, pikir Sharima. Tejas terlalu sempurna untuk disakiti.

Mobil Tejas tampak di belokan, Sharima segera berdiri seraya mengerling pada jam tangannya. Ah, bahkan Tejas muncul di waktu yang ia janjikan. How could this kind of person, exists? Desah Sharima dalam hati.

“Gimana tadi di studio?” Tejas menyapa lembut saat Sharima duduk di sampingnya.

“Tim udah siap nih, tinggal menunggu gladi resik dengan kostum dan setting panggung lengkap. Kamu datang ya saat gladi resik nanti,” ucap Sharima sambil tersenyum. Tejas tampak rapi seperti biasa dengan kaus dan kemeja yang lengan panjangnya ia lipat sebagian. Aroma khas lelaki ini menyeruak menggelitik hidung.

“Pasti aku datang. Nanti setelah kamu kemabli dari San Fransisco, kita akan merayakannya di La Amore ya? Ada sebuah restoran di pinggiran Bandung yang pasti kamu suka tempatnya. Banyak kerlip lampion, meja di atas balkon, musik jazz kesukaanmu, bahkan menurut ulasan yang aku baca, mereka memiliki teh tarik terbaik seantero Bandung,” Tejas berceloteh riang. Matanya berkilat-kilat ke arah Sharima.

Teh tarik dengan sensasi pahit di ujung lidah, adalah kesukaan Sharima. Ia tak menyangka lelaki di sampingnya ini mencari restoran yang melengkapi syarat kebahagiaannya. Ah, andai saja ia bisa jatuh cinta pada Tejas. Semuanya pasti terasa lebih mudah.

Sharima menikmati pilunya hati yang ia rasakan akibat betapa keras perjuangan Tejas untuk sekadar membahagiakannya. Lagu You Can’t Hurry Love dari Phil Collins yang diputar di radio mobil Tejas, telah berakhir riang di telinga Sharima. Ia tersenyum getir menyadari betapa cocoknya lagu tersebut menggambarkan perasaan dirinya yang resah.

“Itu dia tadi You Can’t Hurry Love dari Phil Collins untuk semua boys and girls yang sedang di perjalanan pulang ke rumah. Apakah kamu sedang mengejar cinta, boys and girls? Kenapa harus terburu-buru? Santai aja lagi, cinta itu bukan sebuah pacuan kuda yang harus kamu kejar garis finishnya,” ucap penyiar radio tersebut menghantam ulu hati Sharima.

Ia tak berani memandang Tejas. Seolah takut ketahuan basah mencuri, ia memalingkan wajahnya ke arah jendela.

Lamat-lamat ia mengulangi kata-kata penyiar tersebut.

Cinta itu bukan sebuah pacuan kuda yang harus kamu kejar garis finishnya.

Ya benar Sharima, mengapa harus terburu-buru? Pikirnya sambil menghela napas.


-- hit me on @dinikopi

0 respon:

Posting Komentar

Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?