Gambar dari : http://pinterest.com/pin/139119075959588415/ |
“Jangan bilang lo sendirian lagi ke
sini,” Raksha memicingkan mata pada sahabatnya yang tersenyum cengegesan. Ia
tahu betul sudah beberapa bulan ini Sharima yang hobi berganti kekasih, selalu
bepergian sendiri lantaran menolak menjalin hubungan baru dengan lelaki lain.
“Nggak kok, tadi dianterin sama Tejas.
Eh gue belum cerita sama lo ya?” Sharima mengibaskan tangannya seraya mengajak
Raksha segera turun ke kolam renang. Hari itu, dua sahabat yang lama tak
bertemu, memanjakan diri berenang di salah satu tempat favorit mereka sejak
SMP.
“Pacar baru? Cepet banget, katanya
belum ada yang cocok,” ucap Raksha sambil menenggelamkan diri pada jernihnya
air kolam. Ia heran pada sahabatnya ini. Aneh jika Sharima menunda berpacaran
lantaran tak cocok. Biasanya langsung tancap gas saja tanpa meerhatikan cocok
atau tidak, perihal belakangan.
Sharima hanya tersenyum seulas sambil
memandang ujung kolam renang di seberangnya.
“Yah, Tejas ini baik banget, nggak
tega gue. Lagian udah capek main-main mulu. Sesekali boleh berpacaran serius
kan?” jawab Tejas sambil menghela napas panjang. Raksha semakin tak mengerti.
“Lho, bagus dong kalau dia baik
banget. Bukannya yang dicari memang tipe
baik ya kalau mau berpacaran serius? Setidaknya nggak berandalan kayak
mantan-mantan lo dulu,” goda Raksha sambil mengerlingkan matanya.
Sharima tersenyum masam dan menelan
kepahitan yang ia rasakan sendiri.
“Justru itu, si Tejas ini suka sama
gue, tapi gue biasa aja. Nggak ada tuh berontakan sayap kupu-kupu di perut atau
detak jantung yang semakin cepat kalau ketemu dia. Aneh kan? Padahal kami udah
sekitar tiga minggu dekat,” terang Sharima yang langsung menyelam ke bawah air
dan melancarkan gaya katak untuk berenang ke ujung kolam di seberangnya.
Raksha yang mengetahui kegetiran
sahabatnya ikut menyusul. Begitu sampai di ujung kolam, ia mendengar Sharima
mendesah.
“Nggak tahu lah, Sha. Belum gue
pikirkan lagi, masih temenan biasa aja dulu,” katanya dengan senyum tenang yang
biasa ia lontarkan. Raksha mengangkat bahu dan menyahut “Terserah saja lah,
yang paling baik buat lo,” katanya sambil terkekeh dan kembali menyelam.
Sharima memberikan senyum kelegaannya.
Raksha memang paling mengerti, pikirnya.
***
“Jangan pulang dulu sebelum ku
jemput,” ucap Tejas mewanti-wanti saat Sharima tengah bersiap kembali dari
studio tari. Lima hari lagi dirinya akan terbang ke San Fransisco untuk
mengikuti malam kebudayaan di sebuah acara. Ia dan beberapa penari lain akan
membawakan beberapa tari khas Indonesia di pagelaran tersebut, salah satunya
adalah tari Jaipong.
Sharima memilin-milin tali tasnya
selama menunggui Tejas. Raganya berada di halte depan studio, namun pikirannya
melayang entah kemana. Teringat wejangan ibunya untuk segera menikah sebelum
usianya menyentuh angka tiga puluh. Namun di tengah serangan pendekatan Tejas
yang bertubi-tubi, ia malah merasakan risau, bukan harapan.
Tejas dan dirinya pertama kali bertemu
di sebuah pameran fotografi dimana salah satu karya lelaki ini juga dipajang.
Saat itu, mereka terpaku lama di sebuah gambar hitam putih yang menampakkan
potret kehidupan masyarakat pasardi hari Minggu. Mengetahui dirinya menyukai
seni, mereka langsung akrab serupa kawan lama yang sempat hilang.
Tak sulit bagi Sharima untuk menyadari
Tejas menyukai dirinya. Memiliki banyak mantan pacar membuatnya fasih tentang
beberapa trik pria untuk mendekatinya. Tejas yang bersikukuh untuk mengantar
jemput dirinya setiap kali ada kesempatan, beberapa undangan makan malam
romantis di malam minggu, telepon-telepon malam mereka, telur mata sapi dengan
kuning telur bulat sempurna kesukaan Sharima yang pernah Tejas berikan saat
dirinya terlalu sibuk untuk sarapan, ah sudah banyak sekali yang lelaki itu
berikan pada Sharima.
Entah mengapa ia tidak tertarik pada
lelaki blasteran India-Indonesia ini. Mungkin alasan Tejas terlalu baik untuk
dirinya terdengar begitu klise. Namun alasan apa lagi yang sanggup ia lontarkan
pada hati kecilnya jika memang itu yang paling jujur? Ah, perkara jatuh cinta
ini membuatnya pusing. Belum ada gelegak perasaan bahagia saja sudah
merepotkan, apalagi jika ia benar-benar jatuh cinta? Entahlah.
Sharima hanya memikirkan perasaan
laki-laki ini. Saat ia menganggap hubungan yang terjalin sebagai persahabatan
belaka, hancurkah perasaan Tejas? Tentu saja mereka tak pernah membicarakan
perihal ini. Tidak di depan Tejas, pikir Sharima. Tejas terlalu sempurna untuk
disakiti.
Mobil Tejas tampak di belokan, Sharima
segera berdiri seraya mengerling pada jam tangannya. Ah, bahkan Tejas muncul di
waktu yang ia janjikan. How could this kind
of person, exists? Desah Sharima dalam hati.
“Gimana tadi di studio?” Tejas menyapa
lembut saat Sharima duduk di sampingnya.
“Tim udah siap nih, tinggal menunggu
gladi resik dengan kostum dan setting panggung lengkap. Kamu datang ya saat
gladi resik nanti,” ucap Sharima sambil tersenyum. Tejas tampak rapi seperti
biasa dengan kaus dan kemeja yang lengan panjangnya ia lipat sebagian. Aroma
khas lelaki ini menyeruak menggelitik hidung.
“Pasti aku datang. Nanti setelah kamu
kemabli dari San Fransisco, kita akan merayakannya di La Amore ya? Ada sebuah
restoran di pinggiran Bandung yang pasti kamu suka tempatnya. Banyak kerlip
lampion, meja di atas balkon, musik jazz kesukaanmu, bahkan menurut ulasan yang
aku baca, mereka memiliki teh tarik terbaik seantero Bandung,” Tejas berceloteh
riang. Matanya berkilat-kilat ke arah Sharima.
Teh tarik dengan sensasi pahit di
ujung lidah, adalah kesukaan Sharima. Ia tak menyangka lelaki di sampingnya ini
mencari restoran yang melengkapi syarat kebahagiaannya. Ah, andai saja ia bisa
jatuh cinta pada Tejas. Semuanya pasti terasa lebih mudah.
Sharima menikmati pilunya hati yang ia
rasakan akibat betapa keras perjuangan Tejas untuk sekadar membahagiakannya.
Lagu You Can’t Hurry Love dari Phil
Collins yang diputar di radio mobil Tejas, telah berakhir riang di telinga
Sharima. Ia tersenyum getir menyadari betapa cocoknya lagu tersebut
menggambarkan perasaan dirinya yang resah.
“Itu dia tadi You Can’t Hurry Love dari Phil Collins untuk semua boys and girls yang sedang di perjalanan
pulang ke rumah. Apakah kamu sedang mengejar cinta, boys and girls? Kenapa harus terburu-buru? Santai aja lagi, cinta
itu bukan sebuah pacuan kuda yang harus kamu kejar garis finishnya,” ucap penyiar radio tersebut menghantam ulu hati
Sharima.
Ia tak berani memandang Tejas. Seolah
takut ketahuan basah mencuri, ia memalingkan wajahnya ke arah jendela.
Lamat-lamat ia mengulangi kata-kata
penyiar tersebut.
Cinta itu bukan sebuah pacuan kuda yang harus
kamu kejar garis finishnya.
Ya benar Sharima, mengapa harus
terburu-buru? Pikirnya sambil menghela napas.
-- hit me on @dinikopi
0 respon:
Posting Komentar
Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?