Kamis, 27 September 2012

#WritingClass - Andai Waktu Bisa Kuputar Kembali

No comments    
categories: 

Gambar dari : http://pinterest.com/pin/131800726564943331/

“Astaga, Ma. Marko baru check in. Telat banget nih. Nanti Marko telpon lagi ya kalau sudah sampai Manado,” ucap lelaki tinggi berkaus biru ini sembari menapaki koridor bandara Soekarno-Hatta dengan tergesa-gesa.

“Iya, kata petugasnya masih beberapa menit lagi kok. Tenang aja, Marko nggak ketinggalan pesawat. Makanya nanti ditelpon lagi ya, Ma,” jawabnya dengan nada mendesak. Setelah ibunya memutuskan sambungan, Marko mempercepat langkah seraya memegang fedora hitamnya agar tak jatuh. Saking terburu-buru, ia bahkan lupa bernapas dengan benar. Mengejar derap demi derap menuju boarding gate membuatnya menjadi sprinter dadakan.

Sesampainya di ruang tunggu A1, Marko mengatur napasnya pendek-pendek. Sambil mengacungkan boarding pass, ia bertanya kepada petugas di meja resepsionis.

“Baru saja mau diumumkan, Mas. Pesawatnya delay satu jam karena ada persiapan teknis tambahan,” jawab petugas tersebut dengan nada datar. Seolah sudah terlatih tak menunjukkan emosi apapun ketika menghadapi penumpang yang mungkin saja hilang kesabaran.

Sambil mendengus kesal Marko berjalan asal-asalan ke salah satu kursi yang kosong. Ia menggerutu panjang-panjang dalam hati. Kausnya sudah basah oleh keringat, jantungnya seakan copot, sekarang pesawatnya delay? Huh, apa-apaan ini? Usaha sprint dadakannya tadi, menjadi tak berbekas.

Marko mengeluarkan sapu tangan hitam dari saku celana dan mengelap bulir-bulir keringat dari dahi dan muka. Ia melirik beberapa pendingin di sudut ruangan yang sepertinya tak berfungsi dengan baik karena ia masih merasa kepanasan. Setelah berkali-kali menenangkan diri, kini ia sudah duduk tenang sambil mengeluarkan ponsel.

Pesawat Marko delay satu jam, Bu. Nanti Marko hubungi lagi kalau sudah sampai ya. Marko mengetik pesan singkat yang dikirimkan pada nomor ibunya. Kepulangan ke Manado kali ini memang bukan tanpa alasan. Kakak sulung Marko akan menikah, jadi semua keluarga diminta hadir.

Seharusnya Marko sudah pulang minggu lalu, tapi kantor sedang banyak pekerjaan. Ia tak mungkin pergi cuti begitu saja. Seusai berhari-hari lembur, Marko baru bisa bernapas lega dan meninggalkan Jakarta tanpa beban.

Sudut mata Marko menjelajahi ruangan tunggu A1 lamat-lamat. Kebanyakan isinya adalah eksekutif muda yang hanya membawa satu ransel. Kemungkinan isinya adalah beberapa buku dan laptop, pikir Marko cepat. Saat itu memang bukan musim liburan, jadi memang banyak penumpang yang bepergian untuk urusan kantor, tebaknya langsung.

Setelah sekian lama memerhatikan, Marko mengeluarkan sebuah buku strategi pemasaran dari ranselnya di bawah bangku. Baru saat itu ia menyadari suede boot warna cokelat yang dipakai gadis di sebelahnya. Saking sibuknya memerhatikan orang lain, Marko nyaris luput dari gadis itu. 

Marko membuka buku tersebut, namun pandangannya tertuju pada sosok cantik di sampingnya. Gadis itu memakai floral print dress berwarna putih yang diselingi semburat jingga samar selutut dan jaket denim. Kakinya yang semampai dibalut suede boots warna cokelat selutut yang dihias tali kepang. Marko langsung menyukai headband berbentuk bunga putih merambat yang dipakai gadis ini. Ia tampak seperti peri hutan, ucap Marko dalam hati sambil tersenyum kagum.

Sepertinya gadis misterius ini tak sadar sedang diperhatikan karena matanya bergerak menelusuri baris demi baris novel Hummingbird. Selera yang bagus, tukas Marko. Novel Hummingbird karya LaVryle Spencer ini sangat detail, ia pasti orang yang teliti, lanjut Marko membatin dalam hati.

Seakan kejutan tak berhenti mengalir, Marko mengenali sayup-sayup suara Marit Larsen dalam lagu If A Song Could Get Me You yang terdengar dari earphone gadis ini. Astaga, masih adakah perempuan modern di jaman sekarang yang mendengarkan suara jazz Marit Larsen yang lagunya pun tak begitu hits di Indonesia? Menelaah gadis ini dengan detail serupa membuka bungkus kejutan satu per satu.

Bagi Marko, gadis di sampingnya sungguh unik. Bayangkan saja, memiliki aura peri hutan, penyuka novel yang menguras banyak detail, dan eksentrik.

Demi semua perempuan cantik di Jakarta, Marko ingin sekali mengajak gadis etnik ini berkenalan. Di kantor, ia sudah biasa dijodohkan oleh berbagai gadis dari lintas divisi. Namun, tak ada yang menarik. Semua sama saja, wanita karir, baik, tipe pasaran. Lihat, sekarang di sampingnya, duduk gadis semanis peri yang selera berpakaian, musik, bahkan bacaannya membuat Marko terkesan.

Kenalan, enggak, kenalan, enggak, kenalan, hmm... atau nggak ya? Mario terus menerus membujuk ego dirinya untuk nekat menyodorkan telapak tangan dan memperkenalkan diri. Ah, tapi apa alasan yang ia katakan? Haruskah ia tembak langsung “Hai, selera musikmu nggak biasa banget, boleh kenalan?” atau sebaiknya bertanya “Mau kemana, Mbak? Delay juga ya pesawatnya?”. Pilihan sederhana, namun mengapa ia begitu risau. Jantungnya berdebar lebih cepat, telapak tangannya basah.

Marko memantapkan hati, sekarang atau tidak sama sekali. Dengan sedikit gemetar, ia mengulurkan tangan ke arah...

Kriiiing!

Astaga, tangannya sudah terjulur sebagian, namun dering telpon Marko berteriak minta diangkat.

Ibu

“Halo Bu?” Marko mengatur nada bicaranya, dalam hati ia merasa kesal diinterupsi.

“Iya, delay satu jam lagi. Tadi kan Marko sudah SMS,” tukasnya cepat ingin mengakhiri telepon ini segera. Samar-samar terdengar suara petugas bandara mengumumkan sesuatu yang tak diperhatikan dengan saksama lantaran ibunya mengomel perihal siapa yang menjemput Marko selarut ini jika pesawat terlambat.

“Nanti kan Marko bisa naik taksi atau minta Om Bagas jemput. Nanti Marko telpon deh,” jawab Marko mengalah. Sedetik kemudian, ia membelalakkan mata menyadari si gadis misterius mulai membereskan tas tangan dan kopernya menuju boarding gate. Rentetan kalimat ibunya sudah tak terdengar lagi, digantikan perasaan sesak Marko yang bertalu-talu.

“Marko? Halo? Marko dengar Ibu kan? Nanti naik taksi saja karena Om Bagas juga repot disini,” tukas ibunya dengan nada tinggi.

Marko terkesiap dan menyadari sambungan telepon belum terputus.

“Iya Bu, Marko naik taksi saja,” tukasnya dengan pelan. “Yasudah nanti Marko telpon lagi ya Bu, Marko mau ke toilet dulu,”sambungnya terburu-buru. Ia mengatakanan apapun yang terlintas di benaknya untuk mengajak gadis itu berkenalan sebelum menghilang dimakan kerumunan.

Setelah sambungan telepon terputus, Marko harus menelan kekecewaan melihat gadis tersebut melangkah menuju pesawatnya dengan langkah ringan. Astaga bodoh sekali ia, sekarang sudah tidak ada kesempatan lagi.

Marko terpekur memandangi gadis tersebut hilang di belokan. Pertemuan singkat di bandara dengan gadis selangka itu hanya terjadi satu kali, dan tidak bisa diulang! Mengapa ia begitu lama memperhatikan gadis itu tanpa mengajaknya berkenalan langsung? Lihat kini apa yang tersisa? Tanpa nama, tanpa nomor telepon, bahkan Marko tidak sempat mendengar tujuan pesawat yang dinaiki gadis itu.

Ah, andai saja waktu bisa diputar!

-- hit me on @dinikopi

0 respon:

Posting Komentar

Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?