Gambar dari : http://pinterest.com/pin/131800726564943331/ |
“Astaga, Ma. Marko baru check in. Telat banget nih. Nanti Marko telpon lagi ya kalau sudah sampai Manado,” ucap lelaki tinggi berkaus biru ini sembari menapaki koridor bandara Soekarno-Hatta dengan tergesa-gesa.
“Iya, kata petugasnya masih beberapa
menit lagi kok. Tenang aja, Marko nggak ketinggalan pesawat. Makanya nanti
ditelpon lagi ya, Ma,” jawabnya dengan nada mendesak. Setelah ibunya memutuskan
sambungan, Marko mempercepat langkah seraya memegang fedora hitamnya agar tak
jatuh. Saking terburu-buru, ia bahkan lupa bernapas dengan benar. Mengejar derap
demi derap menuju boarding gate
membuatnya menjadi sprinter dadakan.
Sesampainya di ruang tunggu A1, Marko
mengatur napasnya pendek-pendek. Sambil mengacungkan boarding pass, ia bertanya kepada petugas di meja resepsionis.
“Baru saja mau diumumkan, Mas.
Pesawatnya delay satu jam karena ada
persiapan teknis tambahan,” jawab petugas tersebut dengan nada datar. Seolah
sudah terlatih tak menunjukkan emosi apapun ketika menghadapi penumpang yang
mungkin saja hilang kesabaran.
Sambil mendengus kesal Marko berjalan
asal-asalan ke salah satu kursi yang kosong. Ia menggerutu panjang-panjang
dalam hati. Kausnya sudah basah oleh keringat, jantungnya seakan copot,
sekarang pesawatnya delay? Huh,
apa-apaan ini? Usaha sprint
dadakannya tadi, menjadi tak berbekas.
Marko mengeluarkan sapu tangan hitam
dari saku celana dan mengelap bulir-bulir keringat dari dahi dan muka. Ia
melirik beberapa pendingin di sudut ruangan yang sepertinya tak berfungsi
dengan baik karena ia masih merasa kepanasan. Setelah berkali-kali menenangkan
diri, kini ia sudah duduk tenang sambil mengeluarkan ponsel.
Pesawat Marko delay satu jam, Bu. Nanti Marko
hubungi lagi kalau sudah sampai ya.
Marko mengetik pesan singkat yang dikirimkan pada nomor ibunya. Kepulangan ke
Manado kali ini memang bukan tanpa alasan. Kakak sulung Marko akan menikah,
jadi semua keluarga diminta hadir.
Seharusnya Marko sudah pulang minggu
lalu, tapi kantor sedang banyak pekerjaan. Ia tak mungkin pergi cuti begitu
saja. Seusai berhari-hari lembur, Marko baru bisa bernapas lega dan
meninggalkan Jakarta tanpa beban.
Sudut mata Marko menjelajahi ruangan
tunggu A1 lamat-lamat. Kebanyakan isinya adalah eksekutif muda yang hanya
membawa satu ransel. Kemungkinan isinya adalah beberapa buku dan laptop, pikir Marko cepat. Saat itu
memang bukan musim liburan, jadi memang banyak penumpang yang bepergian untuk
urusan kantor, tebaknya langsung.
Setelah sekian lama memerhatikan,
Marko mengeluarkan sebuah buku strategi pemasaran dari ranselnya di bawah
bangku. Baru saat itu ia menyadari suede
boot warna cokelat yang dipakai gadis di sebelahnya. Saking sibuknya
memerhatikan orang lain, Marko nyaris luput dari gadis itu.
Marko membuka buku tersebut, namun pandangannya
tertuju pada sosok cantik di sampingnya. Gadis itu memakai floral print dress berwarna putih yang diselingi semburat jingga
samar selutut dan jaket denim.
Kakinya yang semampai dibalut suede boots
warna cokelat selutut yang dihias tali kepang. Marko langsung menyukai headband berbentuk bunga putih merambat
yang dipakai gadis ini. Ia tampak seperti peri hutan, ucap Marko dalam hati
sambil tersenyum kagum.
Sepertinya gadis misterius ini tak
sadar sedang diperhatikan karena matanya bergerak menelusuri baris demi baris
novel Hummingbird. Selera yang bagus,
tukas Marko. Novel Hummingbird karya LaVryle Spencer ini sangat detail, ia
pasti orang yang teliti, lanjut Marko membatin dalam hati.
Seakan kejutan tak berhenti mengalir,
Marko mengenali sayup-sayup suara Marit Larsen dalam lagu If A Song Could Get Me You yang terdengar dari earphone gadis ini. Astaga, masih adakah perempuan modern di jaman
sekarang yang mendengarkan suara jazz Marit Larsen yang lagunya pun tak begitu
hits di Indonesia? Menelaah gadis ini dengan detail serupa membuka bungkus
kejutan satu per satu.
Bagi Marko, gadis di sampingnya sungguh
unik. Bayangkan saja, memiliki aura peri hutan, penyuka novel yang menguras
banyak detail, dan eksentrik.
Demi semua perempuan cantik di
Jakarta, Marko ingin sekali mengajak gadis etnik ini berkenalan. Di kantor, ia
sudah biasa dijodohkan oleh berbagai gadis dari lintas divisi. Namun, tak ada
yang menarik. Semua sama saja, wanita karir, baik, tipe pasaran. Lihat,
sekarang di sampingnya, duduk gadis semanis peri yang selera berpakaian, musik,
bahkan bacaannya membuat Marko terkesan.
Kenalan, enggak, kenalan, enggak,
kenalan, hmm... atau nggak ya? Mario terus menerus membujuk ego dirinya untuk
nekat menyodorkan telapak tangan dan memperkenalkan diri. Ah, tapi apa alasan
yang ia katakan? Haruskah ia tembak langsung “Hai, selera musikmu nggak biasa
banget, boleh kenalan?” atau sebaiknya bertanya “Mau kemana, Mbak? Delay juga ya pesawatnya?”. Pilihan
sederhana, namun mengapa ia begitu risau. Jantungnya berdebar lebih cepat,
telapak tangannya basah.
Marko memantapkan hati, sekarang atau
tidak sama sekali. Dengan sedikit gemetar, ia mengulurkan tangan ke arah...
Kriiiing!
Astaga, tangannya sudah terjulur
sebagian, namun dering telpon Marko berteriak minta diangkat.
Ibu
“Halo Bu?” Marko mengatur nada
bicaranya, dalam hati ia merasa kesal diinterupsi.
“Iya, delay satu jam lagi. Tadi kan Marko sudah SMS,” tukasnya cepat
ingin mengakhiri telepon ini segera. Samar-samar terdengar suara petugas
bandara mengumumkan sesuatu yang tak diperhatikan dengan saksama lantaran
ibunya mengomel perihal siapa yang menjemput Marko selarut ini jika pesawat
terlambat.
“Nanti kan Marko bisa naik taksi atau
minta Om Bagas jemput. Nanti Marko telpon deh,” jawab Marko mengalah. Sedetik
kemudian, ia membelalakkan mata menyadari si gadis misterius mulai membereskan
tas tangan dan kopernya menuju boarding
gate. Rentetan kalimat ibunya sudah tak terdengar lagi, digantikan perasaan
sesak Marko yang bertalu-talu.
“Marko? Halo? Marko dengar Ibu kan?
Nanti naik taksi saja karena Om Bagas juga repot disini,” tukas ibunya dengan
nada tinggi.
Marko terkesiap dan menyadari
sambungan telepon belum terputus.
“Iya Bu, Marko naik taksi saja,”
tukasnya dengan pelan. “Yasudah nanti Marko telpon lagi ya Bu, Marko mau ke
toilet dulu,”sambungnya terburu-buru. Ia mengatakanan apapun yang terlintas di benaknya
untuk mengajak gadis itu berkenalan sebelum menghilang dimakan kerumunan.
Setelah sambungan telepon terputus,
Marko harus menelan kekecewaan melihat gadis tersebut melangkah menuju
pesawatnya dengan langkah ringan. Astaga bodoh sekali ia, sekarang sudah tidak
ada kesempatan lagi.
Marko terpekur memandangi gadis
tersebut hilang di belokan. Pertemuan singkat di bandara dengan gadis selangka
itu hanya terjadi satu kali, dan tidak bisa diulang! Mengapa ia begitu lama
memperhatikan gadis itu tanpa mengajaknya berkenalan langsung? Lihat kini apa
yang tersisa? Tanpa nama, tanpa nomor telepon, bahkan Marko tidak sempat
mendengar tujuan pesawat yang dinaiki gadis itu.
Ah, andai saja waktu bisa diputar!
-- hit me on @dinikopi
0 respon:
Posting Komentar
Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?