Selasa, 09 Oktober 2012

Aktivis Sosial Atau Seleb?

11 comments    
categories: 
Ngobrol sama teman sesama aktivis itu selalu menyenangkan. Rasanya udah lama banget saya nggak menengok ke dunia aktivisme anak muda Indonesia. Sejak hengkangnya saya setahun yang lalu untuk fokus ke dunia Social Media, jadi nggak tau pergosipan dan dinamikanya *halah*

Tapi, beberapa hari yang lalu saya kemabli ke SPEAK untuk mengisi Social Media Training for Social Movements juga janjian untuk ngobrolin proyek buku @pacaranLDR yang berujung diskusi sama @MNFirdha. Kedua diskusi ini sedikit banyak membawa saya ke persepsi baru.

Gambar dari : http://pinterest.com/pin/287737863661947852/
Jadi gini, kita kan tahu anak muda di Indonesia, khususnya Jabodetabek, mulai mau volunteering sejak tahun 2008an. Yah, atau nyerempet-nyeremet tahun itu lah, saya juga nggak tahu persis dimulai dari tanggal berapa. Tapi pada waktu itu, anak muda sedang bergairahnya ikut banyak banget organisasi luar kampus. Mendadak organisasi atau LSM jadi ngetop. Mendadak sebutan gaul diberikan pada mereka yang punya banyak kegiatan sosial.

Kota-kota besar pasti langsung dibanjiri oleh acara-acara sosial yang nggak melulu isinya berat, tapi malah fun dan penuh dengan partisipasi anak muda. Disini beberapa tokoh anak muda yang jadi prionir pun bermunculan. Saya nggak perlu menyebutkan dengan lantang siapa aja namanya disini. Kalo kamu mengikuti atau bahkan ada di dunia aktivisme pasti bisa menyebutkan banyak sekali anak muda yang jadi pionir kegiatan sosial.

Pionir-pionir ini membawa isunya masing-masing. Ada yang tentang politik, lingkungan, kepemudaan, pendidikan, dan masih banyak lagi. Mereka berlomba-lomba menciptakan kegiatan sosial dengan inovasi baru agar anak muda berbondong-bondong ikutan. Dan benar saja, yang ikutan makin banyak, yang melek makin banyak, yang mengidolakan mereka juga makin ramai.

Sang pionir kegiatan sosial ini pun beruntut diundang ke berbagai konferensi atau pertemuan anak muda di luar negeri. Membawa nama Indonesia untuk berbicara di forum dunia. Kebanyakan dari pertemuan atau konferensi ini mengimbau agar mereka membuat sesuatu saat pulang ke negara asal. Dan siklus tadi dimulai lagi. Pergi konferensi ke luar negeri - pulang - bikin acara inovatif - peminat makin banyak - pemrakarsa makin terkenal - diundang ke luar negeri - begitu seterusnya.

Untuk anak muda yang baru aja nyemplung di dunia aktivisme, pasti euforianya lagi gede tuh. Bakal bersemangat banget kalo bisa gabung di organisasi atau pertemuan yang sama dengan sang prionir, idola mereka ini. Secara sedikit banyak, mereka akan berkaca pada sang prionir. Dia mengerjakan proyek apa, bagaimana visi misinya, betapa susahnya perjuangannya, dan masih banyak lagi.

Gambar dari : http://pinterest.com/pin/175781191676174808/
Nah, si prionir kan udah diatas ya. Jadinya makin terkenal dong. Ada beberapa dari mereka yang membatasi popularitas, karena ya emang tujuannya mau mengabdi ke masalah sosial. Mereka yang kayak gini, nggak akan terkenal-terkenal banget. Orang nggak akan ngeh sama nama dia. Nah, ada juga sang prionir yang memanfaatkan popularitasnya. Waini!

Mumpung lagi diatas ya, saya perhatikan mereka agak melenceng dari tujuan semula. Banyak dari mereka yang sudah berani jadi model iklan, menulis tweet dan postingan blog berbayar (komersil untuk brand), bahkan ada beberapa teman yang perhatikan, gerakan sosial mereka lebih menyasar untuk kalangan mengeha keatas dan bukan grass-root!

Oo..ow. Menurut kami sih ini agak-agak mengancam dunia aktivisme anak muda di Indonesia ya. Mereka yang masih baru bergabung, mungkin saja akan berpikir "Enak ya jadi kakak X, pergi konferensi ke luar negeri, terus jadi buzzer, udah gitu sekarang jadi terkenal gara-gara udah masuk TV". Yah, kasarnya begitu. Nah lho kan jadi rancu. Orang mungkin saja mengejar popularitasnya dan bukan perjuangan sosialnya.

Mungkin salah satu dari kamu ada yang bilang, ah biar saja. Namanya kesempatan ya tidak boleh dilewatkan. Tapi, kalo menurut saya sih, selama kamu masih bawa embel-embel "seorang aktivis" harusnya bisa berpikir lebih idealis menyikapi banyaknya brand yang ingin diangkat oleh popularitasmu. Instead of being a buzzer, kayaknya bakal lebih seru jadi duta sosial apa gitu. Misalnya, kalo masih nggak mau ketinggalan popularitas.

Tapi lagi-lagi itu sih semua terserah orangnya. Saya hanya bisa menyayangkan dari sini. Dan semoga kamu yang baru baca ini bisa lihat kalo nggak cuma popularitas doang yang dikejar. Kalo mau mengabdi sama isu sosial ya, stick to the track! :)

Dan oh ya, saya nggak ngiri sama mereka yang popler kok. Cuma agak menyayangkan aja nama "aktivisme" jadi agak tercoreng gara -gara hal yang komersil :)

Gambar dari : http://pinterest.com/pin/269230883945093087/

-- hit me on @dinikopi

11 komentar:

  1. Wah, Lumayan nih buat jadi bahan diskusi. Gue nggak kenal loe, dan nemu link loe juga dari timeline. Tapi gue tergelitik dg postingan ini. But, I can get your points. Kurang lebih, intinya kamu bilang bahwa sekarang yang namanya 'aktivisme' itu sudah bergeser dari 'apa yang seharusnya', dan jadinya dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk popularitas (keuntungan pribadinya).

    Tapi, coba kita lihat dari sisi lain. Gue nggak bermaksud untuk ngebela siapa siapa disini. Gue tahu siapa yang lo maksud, let's say some names such as: Alanda, Iman, David, dll. Gue juga cuma tahu mereka, tapi nggak kenal personal. So, gue nggak punya kepentingan apapun disini.

    Kritik menurut gue boleh, dan harus, tapi harus hati-hati jangan sampe jadi fitnah.

    1. Siapa kita sih hingga bisa menghakimi orang? Apa kita benar-benar tahu apa yang ada di pikiran dan hati orang? Mungkin kelihatannya, orang yang lo sebutin pergi conference, balik bikin program, dan begitu siklusnya. Tapi mungkin aja lo nggak tahu kalo orang itu pengen banget bikin program itu dari zaman dulu. Cuma, karena keterbatasan network atau funding, programnya belum bisa terlaksana. Jejaring yang di dapat melalui conference, bisa dimaksimalkan untuk mewujudkan program yang memang pengen dia lakukan.

    2. Menurut gue, aktivisme juga bukan soal sebatas "dibayar/ nggak dibayar". Kalo gitu, apa ceritanya sama orang-orang di NGO yang seharinya di bawar buat ngerjain aksi mereka? Apa jadinya dengan tokoh2 besar yang kalo seminar kita undang, lalu dibayar? Menurut gue itu nggak mengecilkan aktivisme mereka. Kita juga nggak pernah tahu uangnya dipakai buat apa. Gue jadi ingat, pernah baca tulisan Iman Usman di blognya, misalnya yang nyeritain dia pake duit sendiri untuk brp programnya. Gatau bener atau nggak. Tapi coba kalo bener, menurut gue wajar-wajar aja sih.

    3) Jangan lupa kalo identitas orang itu nggak cuma satu. Let's say Alanda. Sebelum dia seperti sekarang, dia memang sudah jadi penulis dan blogger. Memang berada di lingkungan penulis dan pekerja media. Jejaringnya bagus. Kalau misalnya tiba-tiba dia jadi model, karena bukan hanya figurnya, tapi karena dia juga punya bakat. Apa itu salah? Gue rasa nggak ada satupun orang yang cuma punya 1 identitas. Pasti ada yang dominan, tapi kita nggak tahu kan, apakah org tersebut memang menganggap 'identitas yg kita sematkan' sbg yg dominan dalam dirinya. Kita (sbg orang luar) bilang Alanda itu aktivis muda, tapi itu kita yg sematkan. Dia belum tentu mau disebut begitu, dia mungkin lebih nyaman disebut penulis. Atau ada artis-artis seperti Melanie Subono, yang juga mulai jadi aktivis krn kepeduliannya. Lalu let's say dia nanti jd besar gara2 so-called activism, trus jd muncul dimana2, apakah dia aji mumpung? belum tentu

    4. Soal brand, ini bisa diperdebatkan. Tapi gue percaya bahwa activism nggak bisa kerja sendiri. Pasti ada dukungan donor, korporasi, dll. Bahkan NGO macam Amnesty pun juga pasti ada dukungan dr korporasi. Kalo kemudian sang aktivis terasosiasi dg brand tertentu, krn memang brand itu citranya positif untuk aktivisme, dan juga mendukung aktivisme, menurut gue ga masalah. Nggak usah dibikin ribet lah/

    Well, kurnag lebh ini pikiran gue. Udah panjang banget, tp seru sih. Thanks ya sudah memulai diskusinya. Tp sekali lagi, who are we to judge? hati-hati, jgn bergantung pada asumsi atau 'kata orang'.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi, wah seru nih jadi ada temen diskusi :D

      1. Gw nggak menghakimi, mas bro. Maaf kalau kalimat gw begitu nyiyir sampe sampe terkesan menghakimi. My bad. Gw cuma prihatin sama fenomenanya, dan agak menyayangkan. But yes, siapa gw buat ngejudge, bisa berkarya aja belum :)

      2. Kalo soal berbayar atau nggak, gw tahu mereka butuh uang untuk bertahan hidup. Aktivis paling idealis sekalipun harus tetap makan. Tapi kalau itu semua malah lebih banyak komersilnya daripada aktivismenya kan jadi prihatin. Tapi ya lagi lagi who knows. Gw kan cuma liat dari apa yang dipublikasikan, yang tidak mereka koar koar ya gw nggak tahu. Disin gw hanya menulis dari apa yg gw lihat. Kalau itu salah, my bad :)

      3. Untuk yang memiliki lebih dari satu personal branding itu, gw maklum. Secara gw juga gitu :P Tapi yang jadi prihatin adalah ketika dia dikenal sama publik yang masih "awam" dengan label aktivisnya doang. Trus tenar dan mereka yang awam ini langsung mejudge bahwa aktivisme adalah cara instan buat tenar. Kalo untuk yang udah nyemplung lama sih, gw yakin lah bisa milah milah :)

      4. Untuk brand, setuju. Secara gw nyemplung di dunia ini, jadi tahu betul kalau brand nggak melulu soal memanfaatkan ketenaran orang demi produk mereka. Banyak aktivis yang memanfaatkan dengan baik juga kok, kayak Shafiq Pontoh yang menggaet brand brand besar demi acara yang sukses. Hubungannya simbiosis mutualisme.

      He eh, terimakasih atas diskusinya. Seru kalo ada yang bisa nantang sama antitesis pikiran-pikiran gw. Dari balasan ini, ada komentar? Monggo :)

      Hapus
    2. 1. lu sotoy
      2. kebanyakan pake ":)" tandanya pongah
      3. kebanyakan self-claimed yang berpotensi menyesatkan

      -pengecut maya

      Hapus
  2. Gila men, nyebut produk! Gw ga kenal Alanda jadi ga mau komen. Gw kenal Iman dan David dan setahu gue, mereka bukan tipikal orang yang ditulis anonim di atas, semacam memanfaatkan popularitas. Nggak kok. Mereka tipikal pejuang sosial biasa. Gw tertarik dengan artikel ini. Dulu sempat bertanya-tanya dan gw ngambil kesimpulan juga sih.

    Pertama, ya kita ini siapa? Kita nggak berhak ngejudge orang dengan apa yang terlihat di kasat mata aja. Kecuali lo adalah teman dekat/keluarga orang-orang yang kau tuduh, baru bisa judge. Seringkali yang terlihat itu cuma permukaannya aja. Beda kalo keluarga/sama temen deket di mana ngelihat sendiri aktivitas dan pikiran2 mereka dari deket. Mereka yang kenal banget sama para aktivis itulah yang bisa ambil kesimpulan secara adil. Kita yang di luar lingkaran teman dekat ya ndak bisa ambil kesimpulan seperti itu. Dan jangan ambil kesimpulan begitu karena jatuhnnya nggak adil. Kalo ga salah Iman juga pernah nulis di blognya semacam klarifikasi. Iman ngeluh karena banyak orang judge dia. Tapi ya dia cuma bisa jalan terus.

    Kedua, kita nggak ada urusan sama judge. Kalo minjem istilah temen-temen kampus, "kita bukan hakim, kita hanya penyeru". Judge itu urusan Tuhan lah, tugas kita mah menyeru aja, berkarya aja. Mereka berkontribusi dan karyanya besar, harus kita akui. Sekarang introspeksi diri, karya kita apa? Dengan fokus pada karya niscaya pikiran-pikiran nggak produktip akan hengkang dengan sendirinya..

    Ketiga, popularitas ini semacam bola salju ya. dan inilah kepandaian para aktivis pergerakan baru (new movement) yang patut kita apresiasi. Mereka cerdas dalam marketing. Justru kita harus berterima kasih sama mereka karena udah ngebuat sktivitas sosial jadi sesuatu yang fun dan populer di kalangan anak muda. Justru menurut gw inilah yang harus ditiru sama aktivis sosial yang lain, yakni kemampuan menjual diri. Bisa jadi ada aktivis-aktivis laen yang jauh lebih hebat, tetapi mereka tak terekspos. Kenapa? karena mereka kurang paham marketing atau tidak menganggap marketing itu penting. Kita gak berurusan dengan niat mereka ya. Karena kata Umar bin Khattab, "Urusan kita adalah apa yang terlihat. Niat adalah urusan Allah". Sepanjang marketing itu membuat aktivitas sosial jadi lebih maju ya gw dukung.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Wahyu, terimakasih ya udah mau berdiskusi di tulisan ini :)

      Maafkan bahasa saya kalau terdengar sangat nyinyir dan membuat orang berkata "ajegila ini orang ngejudge nya parah". My bad :( Gw cuma curhat kok dari apa yang gw lihat. Dan yes, gw gatau apa yang mereka lakukan kalo mereka ga koar koar, jadi gabisa masuk penilaian gw dong :)

      Kalau masalah berterimakasih karena bikin isu sosial jadi lebih menarik, gw setuju. Karena it really works. Tapi prihatin juga kan kalo liat orang yang beberapa waktu masuk isu sosial cuma gegara kepengen ke luar negeri kayak kakak A, jadi buzzer kayak kakak B, diundang ke acara kece kayak kakak C. Tadinya gw malah ga percaya ada orang gini sampe gw menemukan beberapa, setahun yang lalu, dan sampe sekarang mereka masih nyemplung karena motivasi ini juga :)))

      Untuk marketing, gw setuju kok, secara gw nyemplung di dunia itu jadi sedikit banyak paham. Tapi ya kalo marketingnya terlalu jor joran dan melupakan niat awal (misalnya), ya jadinya ga sehat juga :D

      Hapus
  3. Keempat, kalo soal aktivis yang jadi ambassador brand itu kayaknya murni keputusan pribadi. Terserah dia. Tapi menurut gw gak adil juga kalo kita kaitkan kegiatan-kegiatan dia dengan kegiatan aktivisnya. Kan tiap orang punya multiidentitas. Misalnya lo anak orangtua lo, tapi lo juga mahasiswa, dan lo juga artis sekaligus aktivis. Mungkin dia mau cari uang dengan jadi brand ambassador dan promosiin sebuah merek. Ya itu keinginan dia sebagai orang yang mau kerja, bukan sebagai aktivis. Repot juga kalo semua dikaitkan sama kegiatan aktivisme nya.

    Kelima, ini fenomena aktivis pergerakan baru. Ini adalah perubahan citra aktivis. Dulu citra aktivis sosial ya kumuh, miskin, tukang cari ribut, dan semacamnya. Kayak yang di buku Benny dan Mice itu lho. Akibatnya orang males ikutan. Nah kita ubah citranya. Buatlah image seorang aktivis sosial itu populer supaya orang-orang makin melihat bahwa kegiatan sosial itu fun. Pada akhirnya mereka akan tertarik. Ini konsep yang keren banget. Mengubah mindset gitu. Tapi ini bener-bener soal niat perorangan dan kita nggak bisa judge kalo bukan temen yang bener-bener deket dengan mereka.

    Artikel ini angkat isu lumayan penting, sayangnya ditulis tanpa data akurat, misalnya ada obrolan dari temen deket aktivis yang bilang kalo mereka ngelakuin itu demi popularitas. Nah itu bisa jadi data yang menantang banget! Tapi penulis gak ada data sama sekali dan jatuhnya artikel ini adalah sebuah opini. Bisa dipatahkan dengan mudah.

    Kesimpulannya ada dua. Pertama, urusan kita bukan dengan niat, tapi dengan karya. Selama dia berkarya, selama itu juga kita dukung. Kedua, artikel ini penting banget banget untuk refleksi dan pengingatan atas niat kita. Siapapun yang baca ini patut mengulik lagi niatnya jadi aktivis. Begitulah, pada akhirnya gw nganggap artikel ini adalah sebuah pengingatan, bukan judge. Makasih buat penulis yang udah mengingatkan kita semua..

    Kalo kata ustadz, ini tausiyah, hehe :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenernya tulisan ini ditulis juga karena ada email balas balasan antara temen-temen dengan orang-orang yang merasa saya sebutkan namanya diatas. Isinya nggak bisa gw bocorin dong :D Intinya, dia bilang "selagi ada kesempatan, ya dimanfaatkan", gitu. Mungkin kita bisa ketemu dan ngobrol ngobrol soal ini lanjut juga oke. Temen gw sih kemungkinan besar masih simpen emailnya :D

      Hapus
  4. Gue setuju sama dua komentar di atas. Gue kenal sama beberapa nama yang disebut (udah jelas lah ya), atau mungkin juga nama-nama yang belum sempat tersebut. Dan gue yakin bahwa mereka punya tujuan yang mulia kok, setidaknya itu yang gue tangkap dari PERKENALAN gue dengan mereka. Gue masih lebih salut dengan mereka yang mau dikatain nyari pamor atau apalah, tapi bisa ngasih dampak nyata. Setidaknya mereka bikin orang yang awalnya bodo amat sama aksi sosial, sekarang jadi mulai terlibat. Meskipun emang masih di permukaan banget, tapi gue yakin itu bisa jadi benih untuk seleksi mana yang akan total.

    Aktivisme kayaknya juga jangan dibatasin sebatas apa "yang loe tahu". Aktivisme itu kalo lihat dari arti katanya bisa luas banget. Kalaupun dia nanti berkarir di pemerintah, atau artis sekalipun, dan juga punya aktivitas lain di masyarakat, tetap aja bisa disebut begitu. Selama ini tiap definisi yang kita pegang itu cuma hasil bentukan masyarakat. Bahkan mungkin bukan masyarakat, cuma kelompok kita.

    Betul kata Wahyu Awaluddin di atas. Jangan berasumsi! Mungkin kalo tulisan ini dibaca sama orang yang udah ngerti, dan bisa memilah informasi jadi nggak masalah. Tapi coba kalo informasi ini dibaca sama orang yang nggak ngerti apa-apa, dan jadinya mereka juga punya prasangka buruk (sama orang yang bahkan gak mereka kenal). Siapa yang dosa? Hayoo...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehee maafkan saya ya kalo ternyata tulisan saya kelewat nyinyir jadi terkesan menjudge. My bad :)

      Hapus
  5. Sebenarnya gak ada yang salah dengan mencoba untuk menjudge ataupun tidak. Karena esensi dari tulisan ini adalah menilai dari sudut pandang penulis terkait dengan apa yang dia tahu berikut keterbatasannya.
    Dan dari tulisan ini lebih menyorot tentang bagaimana memanfaatkan peluang. Tidak ada yang salah kok. sikap menyayangkan yang penulis tulis pun lebih diarahkan kepada mereka yang ternyata justru akhirnya melenceng dari apa yang para aktivis ini perjuangkan sebelumnya. Hal ini logis, karena disaat ada sebuah obyek yang berubah bentuk, pro kontra pasti selalu ada. Saat seorang Kirana Larasati memutuskan untuk mengundurkan diri dari dunia akting, banyak yang berkomentar sepakat, banyak pula yang berkomentar kontra dari keputusan yang dia ambil.
    Berita bagusnya menurut saya adalah tulisan ini telah mem blow up penilaian dari sisi kontra, dan komentar teman2 diatas lebih ke penilaian secara pro. maka selamat datang pada ranah diskusi. tulisan yang menarik dan komentar2 yang menarik pula. ahhh...saya sungguh senang terlempar dari timeline menuju blog bagus ini. :)

    BalasHapus
  6. Gue kenal Alanda secara pribadi dan gue tau Iman/David dari nama. Kalo menurut gue tulisan lo justru malah men-judge ketiga orang di atas.

    "Nah, ada juga sang prionir yang memanfaatkan popularitasnya."
    Gue merasa justru popularitas harus dimanfaatkan! Gue pribadi ngerasain manfaat memanfaatkan popularitas pionir ini karena gue terlibat langsung di gerakannya. Dari pengalaman gue menjalankan gerakannya selama 3 tahun, banyak orang yang tau pionirnya dulu baru gerakannya. Coba perspektif lain deh. Bisa aja mereka "terpaksa" meninggalkan image-aktivis-yang-dulunya-kumuh ini demi membesarkan nama gerakan/organisasinya. Win-win solution. Pionir kece, gerakan/organisasinya ikutan kece, impactnya makin besar. Salah?

    "... gerakan sosial mereka lebih menyasar untuk kalangan mengeha keatas dan bukan grass-root!"
    Kayaknya lo harus belajar lagi deh. Ada banyak sumber yang nyebutin kalo menengah atas itu menentukan arah suatu negara. Terus lo liat pilkada/pemilu/dsb, yang abstain justru banyakan dari kelas menengah atas. Nah, kalau semua gerakan cuma menyasar grass-root yang cenderung hanya follower, yaudah kan sama aja hasilnya. Setiap gerakan/organisasi punya "pasar" masing-masing. Salah?

    "Mumpung lagi diatas ya, saya perhatikan mereka agak melenceng dari tujuan semula."
    Dari mana lo tau tujuan mereka? "Changing the world can be fun!" Ini prinsip salah satu pionir. Orang boleh mengubah dunia tapi dirinya melarat, tapi orang juga boleh pula mengubah dunia dengan cara menyenangkan. Ini pilihan setiap orang. Salah?

    Gue pribadi justru merasa mereka punya hak memanfaatkan ketenarannya. Itu hak mereka seperti halnya lo punya hak untuk membranding diri sebagai social media strategist. Yang penting adalah gimana caranya supaya gerakannya-lah yang gak melenceng. Ketimbang hanya melihat sisi ekonomis yang didapatkan para pionir, lebih baik lo membuat tulisan yang bisa menjaga agar gerakan/organisasinya tetap berada di track-nya.

    BalasHapus

Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?