Selasa, 10 Desember 2013

Sebelum Dua Puluh Tiga

2 comments    
categories: 
It's December.
Bulan di mana saya akan berulang tahun, dan waktu yang tepat untuk berkontemplasi udah ngapain aja saya di umur-umur sebelumnya. Rasanya cepet aja gitu udah menginjak usia dua puluh sekian. Tapi, begitu saya nengok ke belakang, rasanya seneng bahwa setidaknya saya nggak menyia-nyiakan waktu. Saya mengisinya dengan kegiatan juga orang yang bikin saya "sematang" sekarang.

Belakangan saya iseng obrak-abrik album di Facebook yang isinya milestone per tahun. Keliatan gitu tiap tahunnya saya ngapain. Rasanya hidup bermakna ala saya dimulai dari tahun 2009, sampai sekarang. Bedanya, sekarang saya udah mulai mengerucutkan mimpi dan hanya mengeksplorasi pada hal-hal yang saya sudah bisa prediksi dimana muaranya. Sedih sih, beberapa tahun belakangan ini, saya nggak banyak pecicilan. Tapi, pecicilan yang terdahulu udah buat saya yang lebih nggak gegabah hari ini.

Mumpung lagi iseng, mau nulis aja beberapa hal yang saya rindukan dari "main-main"nya saya dulu.


Semua dimulai dari sini. Saya sempat bergabung dengan keluarga besar Global Citizen Corps (GCC) Indonesia angkatan pertama. Isinya, adalah sekumpulan anak muda yang belajar banyak banget isu sosial (kelaparan, kemiskinan, HIV/AIDS, gender/seksualitas, HAM, dll) di satu minggu camp. Lalu, selama satu tahun mendatang, diwajibkan untuk membuat minimal satu aksi dari topik yang kita sukai. Di sini, saya belajar yang namanya networking dan mulai nyemplungin diri sendiri jadi volunteer. Seneng rasanya bisa tahu, kenal, sharing tentang topik yang ternyata jadi obrolan saya sehari-hari sekarang. Bagi saya, GCC ini adalah gerbang awal banget. Fase yang nggak akan bisa saya lupain.



Setelah dari GCC, saya beserta tiga teman saya di sana, berkolaborasi untuk bikin Open Public Discussion tentang HIV/AIDS dan kebebasan bicara di Internet. Acaranya memang didesain untuk peserta yang jumlahnya minim, karena ini bukan seminar atau workshop, tapi acara diskusi intensif soal HIV/AIDS dan kebebasan bicara di internet. Peserta yang datang, kita sajikan materi lalu dibagi kelompok kecil dengan mentor di dalamnya. Di situ kita ajukan studi kasus dan masing-masing kelompok bisa ngobrolin soal kasus tersebut. Akhirnya, diskusi kelompok dibawa ke kelompok besar untuk diambil konklusi.

Bagi saya, mengorganisir acara pertama kali di topik yang rentan debat ini, menantang banget. Bayangin aja, ngomongin HIV/AIDS bebas dari mitos, ngegali datanya susah banget. Tapi sesudahnya saya jadi khatam sama info-info soal HIV/AIDS. Plus, ngomongin kebebasan berbicara di internet yang notabene terikat "pasal karet"nya UU ITE dan berkaitan dengan isi HAM itu sendiri, kudu hati-hati cari celah biar peserta pada paham.

Buat saya, ini fase pertama saya bisa sharing sama orang lain. Abis acara ini, rasanya seneng aja diskusi berhari-hari sama panitia sebelum acara dan berjam-jam sama peserta di acara tentang dua topik itu.


Lupa ini tahun berapa, tapi setelah dari GCC, saya banyak aktif di Suara Pemuda Anti-Korupsi (SPEAK). Selain belajar topik antikorupsi disana, saya belajar jadi fasilitator juga. Pasalnya, pendidikan antikorupsi yang melahirkan aksi kongkrit butuh sebuah workshop dengan metode yang nggak biasa. Workshop yang saya maksud, butuh banyak fasilitator dan co-fasilitator untuk ngarahin peserta paham tentang topik sampai akhirnya beres buat aksi antikorupsi dia sendiri.


Nah, saya termasuk salah satu yang beruntung yang bisa belajar jadi fasilitator. Biasanya fasilitator workshop berlangsung dua hari, acara digelar pagi sampai sore. Metodenya melibatkan banyak aktifitas otak kanan dan energi positif. Jadi, kalo ga terbiasa sama dua cara ini, sehabis ngefasilitasi, pasti badan jadi lemes banget. Ngefasilitasi workshop-workshop pertama, saya ampe tipes gegara kecapean. Bok, energinya dikeluarin semua demi peserta workshop mudeng. Modyar :))

Foto yang di atas ini, adalah formasi fasilitator default dari SPEAK. Ini belum ditambah co-fasilitatornya ya. Kami para fasilitator dan co-fasilitator, tugasnya nggak selesai sampai workshop berakhir. Setelahnya kudu diskusi berjam-jam soal dinamika peserta dan metode mana yang paling gampang diterima sama peserta. Para fasilitator dan co-fasilitator biasanya solid banget formasinya. Saling ngerti otak satu sama lain, jadi begitu ada kendala di workshop bisa langsung dihandle.

Aih, ngangenin banget lah jadi fasilitator :')



Masih ada hubungannya dengan fasilitator. Jadi selama di SPEAK, selain belajar jadi fasilitator, saya juga harus ikut workshop-workshop yang mereka adakan. Workshopnya macem-macem, mulai dari yang topiknya internal untuk SPEAK sendiri sampai international workshop dengan anak-anak Transparency International dari Vietnam.

Bagi saya, ada di sebuah workshop dan terlibat aktif di dalamnya (entah jadi fasilitator ataupun peserta), selalu buat saya bersemangat. Ini adalah ajang dimana saya menyelami energi positif, membagikannya dengan sumringah, dan pulang dengan cerita baru dari teman-teman yang akhirnya jadi partner kerja saya.

Di workshop ini, pemikiran saya "direbus", otak kanan saya dipakai dengan optimal, dan saya bebas berekspresi lebih daripada di hari-hari biasanya. Saya jadi kangen kebiasaan nempelin post-it di dahi saya yang sempet jadi trademark. Hehehee :D


Selama bertahun-tahun dari hidup saya, SPEAK adalah keluarga. Seneng rasanya punya sepaket teman organisasi yang nyambung diajak ngobrol apa aja, punya visi untuk Indonesia, teman begadang sampe pagi ngobrolin hal-hal yang substansial, dan tahu bagaimana caranya bersenang-senang. Buat saya, mereka ini spesial.

Foto di atas, diambil pas ngerayain ulang tahun SPEAK di kantor Transparency International Indonesia (which is jadi markas SPEAK juga). Acaranya intim banget, mulai dari BBQ-an, curhat ngalor ngidul soal personal dan visi SPEAK, sampe karaokean via YouTube. Oh, ngobrol sampe pagi sih pasti. Rasanya seneng punya teman yang bisa diandalkan, partner kerja yang nggak pernah ngecewain, dan teman ketawa bareng. Oh gosh, how I miss them so bad.


Ini jelas jadi salah satu momen terbaik saya selama hidup. Waktu itu SPEAKFest 2011 dan merupakan proyek terakhir dari SPEAK yang saya bantu sebelum hengkang dari sana. Kalo SPEAK adalah keluarga, SPEAKFest adalah acara yang selalu jadi selebrasi serta ajang ketemunya temen-temen baru.

Saya selalu suka SPEAKFest. Buat saya yang orang "awareness", SPEAKFest emang kece banget buat nyampein visi dan misi SPEAK selama ini. Disinilah fungsi saya sebagai orang awareness didayagunakan seluas-luasnya. Capek banget sih emang ngurusin aja segede ini. Tapi, rasanya plong dan berguna aja udah jadi satu bagian dari SPEAKFest :')


Setelah hengkang dari SPEAK dan nggak menyentuh dunia volunteer selama hampir setahun, saya kangen juga mengabdikan diri sebagai orang awareness. Akhirnya sama Ogi Wicaksana, saya bikin satu acara di Surabaya yang namanya Klasik Muda Surabaya. Isinya ngundang anak-anak Surabaya dan sekitarnya untuk ngasih workshop selama dua hari soal gimana caranya ngaktifin organisasi mereka masing-masing. Disini mereka diarahkan gimana bikin acara yang menarik, gimana fundraising dengan hasil duit ratusan juta, sampe gimana mengelola social media organisasi mereka.

Saya jujur kaget pas liat antusiasme mereka yang luar biasa. Acara berjalan sukses dengan hasil yang diluar ekspektasi. Saya ngeliat ada potensi yang besar banget dimiliki oleh anak muda Surabaya. Selepas Klasik Muda Surabaya, kita masih bikin kelanjutan acara untuk mengaktivasi inisiatif anak muda Surabaya membangun kotanya. Acara puncak ini, baru aja kelar awal Desember kemarin, bernama Surabaya Youth Carnival.

Menjadi bagian anak muda yang mengaktivasi salah satu kota di Indonesia, bagi saya sebuah kesempatan yang ajib banget lah. Bisa aja setelah ini kita bikin di kota lain kan ;)



Hengkang dari dunia volunteer dan aktivisme, bikin saya agak gerah juga kalo nggak ngapa-ngapain. Karena waktu itu saya lagi mendalami bidang social media, saya mulai banyak nulis soal social media di blog dan Twitter. Karena banyak yang nanya gimana caranya jadi anak socmed, saya iseng bikin workshop kecil-kecilan soal Social Media.

Pertama kali bikin ya kolaborasi sama SPEAK, eh nggak tahunya banyak yang minat, saya buka kembali workshop kedua di markas SPEAK juga (secara yang wifi kenceng plus colokannya banyak :P). Setelah itu, malah diajak ngisi sesi Social Media for Working di Akademi Berbagi Solo sama temen saya. Beberapa hari setelah itu, saya mendarat juga di Madiun untuk ngisi sesi Akademi Berbagi soal social media.

Rasanya seneng udah berbagi sedikit soal yang saya ketahui. Saya juga masih belajar social media kok, malah banyak yang lebih jago dari saya. Tapi, kalo nggak ada yang mau ngedukasi orang awam soal social media secara teknis dengan kalimat yang sederhana, kalo bukan saya ya siapa lagi. Yah sukur-sukur kalo ilmunya dipake, kalo nggak ya yang jelas saya udah bagi yang saya tahu :D



Sekarang, saya udah memutuskan off sementara dari dunia volunteer dan social media. Karena sesederhana, saya kudu lulus kuliah! Udah bertahun-tahun kuliah saya harus diselesaikan sebelum menghambat mimpi saya yang lain. Dan, karena saya termasuk mereka yang terlambat wisuda, jadi sekarang temen saya di kampus udah pada nggak ada lah ya.

Kangen gitu kayak di foto ini, pas temen sekelas masih lengkap. Saling ngebackup kalo ada tugas kuliah, begadang bareng untuk nuntasin pendalaman materi Kimia Organik demi ujian besok paginya. Atau sesederhana ngerjain laporan percobaan kimia setiap hari, ngoleksi banyak pulpen tinta hitam demi selesainya laporan, pagi-pagi udah komat-kamit ngapalin teori demi lulus pre-test, gegoleran di panasnya laboratorium, sampe merelakan jas lab ketumpahan KMnO4 sampe jadi ungu-ungu ga bisa dibersihin sampe sekarang.

Duh, kangeeen rasanya. Sekarang yang ada cuma masuk kelas, belajar, keluar kelas dengan damai. Ngehindarin dosen pembimbing, nyariin kalo revisian udah kelar, dan diledekin sekretaris jurusan gegara belum lulus juga. I miss my college life when there are a bunch of friends :(

--

Pfuih, kalo diliat ke atas lagi, setidaknya saya udah melakukan hal-hal yang saya mau di hidup saya. Beberapa emang belum kesampean gara-gara kuliah yang belum lulus. Tapi, setidaknya saya bersyukur udah menyicipi sedikit dunia setelah perkuliahan walaupun sebentar, dan bersenang-senang di dalamnya.

-- hit me on @dinikopi

2 komentar:

Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?