Senin, 25 Oktober 2010

Budaya Hening di Sekolah

No comments    
categories: 
Beberapa tulisan saya belakangan ini memang bernada tentang pendidikan. Karena memang saya sedang gregetan terhadap pendidikan di Indonesia, pada budaya nya, pada kebiasaannya, pada sakleknya, semua deh. Entah apa yang menyentil saya sampai mulai gregetan seperti ini, tapi saya merasa ini perlu ditulis.

Dua hari yang lalu, Suara Pemuda Anti Korupsi dan Transparency International Indonesia mengadakan Video Workshop yang akan dilanjut sampai Februari 2011. Saya sebagai Project Officer dari acara ini pastinya terlibat aktif pada saat persiapan serta saat acara berlangsung. Dua hari yang lalu, resmi Video Workshop dibuka dan dilanjutkan dengan sesi Corruption 101 (pengenalan konsep antikorupsi kepada pemula) dan Creative Session oleh Creative Development.

Tapi bukan ini yang akan saya bahas dalam tulisan blog ini.

Saya ingin sekali membahas budaya hening di sekolah. Mengapa hening? ya, memang tidak ada suara. siapa yang tidak ada suara? jawabannya adalah para murid.

Para peserta workshop yang dominasi berasal dari anak SMA di Jakarta dan Karawang ini saya perhatikan sangat pasif dalam mengikuti diskusi. Saat ditanya apa opini mereka, yang keluar adalah "krik krik krik" suara jangkrik berbunyi alias gak ada yang jawab. Seakan mereka menunggu satu jawaban paling benar, seakan mereka sedang menyusun kalimat paling sempurna untuk diberi nilai 100, seakan mereka memandang teman sebelah mereka untuk berbicara agar kewajiban ngomong gugur, seakan mereka patung, seakan mereka lupa bahasa indonesia, seakan mereka takut diketawai jika mengeluarkan kata-kata belepotan. Masih banyak lagi seakan-seakan yang lain, ini menggganggu pikiran saya. Mengapa mereka sangat pasif, mengapa mereka takut sekali berbicara, entah itu berkata iya saja atau hanya sepatah kalimat, mengapa begini mengapa begitu. Pertanyaan ini rasanya tak berujung.

Apakah ini yang dibiasakan di rumah? atau di sekolah? saat satu pertanyaan dikeroyok rame-rame tapi tak ada yang berani menjawab dalam satu suara. Pantas saja banyak tawuran diluar sana tapi sangat langka duel antara dua orang. Mengapa mereka tak berani menjawab? karena takut diketawain, atau apakah karena memang mereka tak dibiasakan menyuarakan opini mereka? sampai mereka lupa bahwa mereka memiliki hak untuk berbicara, hak untuk percaya pada apa yang mereka ingin sampaikan, hak untuk belajar, bahkan hak untuk salah.

Saya jadi ingat beberapa masa sekolah saya, pada beberapa bagian saya mengalami saat-saat susah untuk menyuarakan apa yang saya percaya. Alasannya bisa beragam, takut dipoting nilainya oleh guru, takut diketawain, takut dikira ngaco, bingung gimana nyampeinnya, sampe ke yang bener-bener gak ngerti jadi gabisa berkomentar apa-apa. Tapi kesalahan saya dan berjuta anak lain di luar sana, mengapa tidak dicoba? apa salahnya malu di depan kelas, daripada berbuat fatal di pekerjaan nanti? Saya juga tidak mengelak bahwa saya sering sekali menemui guru dan dosen yang memang tak bisa didebat. Sekokoh apapun pendapat saya, beliau tetap tidak bergeming. Bahkan memotong nilai saya, namun tak jarang juga saya diberi poin tambahan karena apa yang saya jelaskan. Tapi disini perlu digarisbawahi, bahwa berkomentar bukan untuk diberi poin, saya berpendapat, mengatakan ini itu karena memang hal itu yang pantas diketahui orang. bukan untuk penghargaan atau reward lainnya.

By the way, jadi menyentil nih, apakah mekanisme bertanya untuk mendapatkan nilai itu salah? Hahaha, saya tak tahu itu salah apa benar, karena saya bukan Tuhan dan tak pantas memandang dari kacamata Tuhan. Namun kalo boleh saya berpendapat, orang yang hanya getol bertanya untuk mendapatkan nilai adalah orang-orang yang belum menyadari betapa berharganya pikiran mereka, betapa pentingnya pendapat mereka, betapa indahnya pemikiran mereka. Mereka belum menyadari ini sampai-sampai hanya mau berbagi apa yang mereka pikirkan hanya karena embel-embel nilai. Maaf, ini bukan pelabelan, tapi setidaknya saya ingin melihat pemuda Indonesia menghargai pendapatnya sendiri. Tidak menilai dahulu apakah pendapatnya salah atau benar. Perkara sempurna atau keliru, satu suara dari lubuk hati mereka tetaplah berharga.


He who does not have the courage to speak up for his rights cannot earn the respect of others


0 respon:

Posting Komentar

Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?