Senin, 25 Oktober 2010

Clever Alert

3 comments    
categories: 
Pernah dengar soal otak tengah?
Yap memang sekarang ini sedang ramai diperbincangkan, sedang hangat disajikan, dan dengan gencar dipromosikan. Tapi bagiamana keakuratan kualitas dari pelatihan aktivasi otak tengah? Well ada banyak sekali pro dan kontra yang beredar.

Saya bukan sedang membahas aktivasi otak tengah dari A sampai Z, tapi ingin menyentil topik ini sedikit karena baru tadi sore saya terhentak.

Seorang teman saya yang berasal dari Global Citizen Corps Indonesia, salah satu leader juga, telah berhasil menjalani aktivasi otak tengah dan terbukti ampuh sekarang. Apa yang dijanjikan oleh promosi pelatihan ini berhasil padanya. Namun di lain sisi, saya punya teman seorang teman yang mendalami bidang psikologi klinis yang masih kuliah di Atmajaya, ia menuturkan bahwa yang namanya aktivasi otak tengah itu bullshit, karena a, b, c, d, sampai z

Well saya sebenarnya jujur pernah tertarik dengan aktivasi otak tengah ini, karena saya terobsesi dengan bebrapa topik alam bawah sadar dan otak, dan pengen aja gitu otak tengah saya ikutan diaktivasi untuk menyeimbangkan otak kana dan kiri saya agar tak terlalu random. Tapi saya gak begitu ngerti tentang mekanismenya bagaimana, ditambah pernah ngebrowsing tentang efek samping otak tengah dan berbagai manipulasinya. Hiyy serem deh pokoknya.

Dan baru sore ini, saya mendengar ucapan yang saya sangat sayangkan dari seseorang. Orang ini memiliki dua orang anak. dan saya tahu bagaimana anak-anaknya. Jadi anak-anaknya ini diantarkan ke tempat pelatihan otak aktivasi dengan embel-embel "pengen pintar". Astaga, apakah seinstan inikah tahun 2010? Sampai pintar bisa dipesan dengan uang sekian juta.

Walaupun mengaku tetap saja belajar adalah satu-satunya cara untuk membuat pintar, tapi si orang ini terus saja menyelipkan maksud "shortcut" pada usaha aktivas otak tengah pada kedua anaknya. Entah kenapa saya miris. miris sepenuhnya.

Pendidikan di Indonesia membuat para orang tua dan murid ketar-ketir. Kata pintar hanya disandangkan bagi mereka yang memiliki nilai sempurna 100 diatas kertas ujian juga cap ranking satu di kumpulan kertas bernama raport. Ini membuat murid menjadi score-oriented, bagaimana pun caranya, yang penting angka sempurna itu ada di tangan, dan senyuman orang tua pun menjadi lebar. Apa yang terjadi bila keadaan dibalik? Angka 60 di hasil ujian dicap murid paling bodoh, selisih 2 angka di nilai UTS dengan teman sebangku bisa menciptakan permusuhan dingin tiga tahun, nilai PR si anak 85 saja orang tua menuntut 100. Olalalaa budaya macam apa ini? ketika semuanya diukur dengan angka. Tak heran para koruptor merajalela, karena kemapanan mereka hanya dihitung berdasarkan angka kekayaan bukan integritas dan kredibilitas kerja. Jadinya, mereka berlomba-lomba menumpuk angka tabungan di bank.



Kalian pasti akan tersentak kaget melihat kenyataan ini. Tapi honestly i should say that this is true. Pendidikan Merobotkan Manusia.

3 komentar:

  1. secara sains memang aktivasi otak tengah agak sulit dipercaya.. but however that's an extremely bright-light business for people who put an IQ as above everything in live. Aktivasi otak tengah tidak populer di AS, Inggris, Jerman padahal mereka negara2 termaju di dunia...why? It simple: that's because number doesn't put absolute position in those countries...

    BalasHapus
  2. hahaa, komentar terakhir lo sip banget jie!
    yap, kata temen gw yang anak psiko itu gitu, aktivasi otak tengah tidak terbukti secara sains, masih diperdebatkan kan?

    yes we are sooo score oriented. any idea how to change this?

    BalasHapus
  3. Ya kita bisa contoh pendidikan AS yang menempatkan seorang siswa/mahasiswa bukan sebagai objek tapi sebagai subjek. Maksudnya kita jgn menjadikan siswa sbg mesin penghapal tapi jadikan para siswa itu manusia yg bisa berkreasi sesuai dgn bakat dia.. But it may seems difficult since many business-oriented course and government institutes gaining a sum of profit from score-oriented paradigm. Its kind of paradox condition I guess.... Karena kalau mengembangkan kemampuan individu sesuai kemampuan nanti ngga ada lagi les2an karena semua orang punya bakat atas bidang yg dia suka.

    BalasHapus

Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?