Sabtu, 22 Oktober 2016

Driver Go-Food: Ga Bisa Beli atau Ga Mau Beli?

5 comments    
categories: 

Gambar dari sini

Saya mau tanya dong, kamu kalo beli makan siang itu rata-rata berapa sih budgetnya?
Biasanya mah tergantung sisa rekening yah, foya-foya setelah gajian, lalu mengirit di akhir bulan. Kalo lagi banyak duit, makan di all you can eat yang sekali makan hampir 200rban juga oke, tapi kalo lagi seret yah bawa bekel makan siang deh ehehehe. #dikeplak

Buat para pekerja kantoran di Jabodetabek, pasti ga asing lagi sama yang namanya Go-Food. Kalo lagi males makan di luar, atau karena deadline yang nggak bisa ditinggal, Go-Food jadi penyelamat banget. Tinggal buka hape, klak klik pesen makanan favorit, dianter deh ke kantor. Simple dan memudahkan banget layanannya.

Kami para langganan Go-Food ini sangat terbantu dengan layanan mereka. Tapi, ada yang menarik dari Go-Food. Belakangan ini screenshot di bawah jadi viral dan memancing banyak banget percakapan di socmed

Gambar saya ambil dari Twitter @sylvkartika

Perhatian saya terpaku pada paragraf keempat, yang menunjukkan bahwa ternyata) ada beberapa Driver Go-Food yang belum paham kenapa sih ada orang yang mau beli makanan mahal? Kan ada makanan murah. Saya jadi kepengen menanggapi dari sisi brand/marketing kuliner mengenai hal ini. Dua poin saya di bawah ini didasari dari apa yang saya ketahui soal brand dan marketing.

1. Pengalaman Kuliner
Sekarang coba deh dipikirin lagi, para driver Go-Food ini ga bisa beli makanan mahal, atau emang ga mau beli aja karena tau ada produk pengganti yang harganya lebih murah? Hayooooo~

Gini, semahal-mahalnya makanan pada umumnya, emang berapa sih harganya? Jutaan untuk steak, ratusan ribu untuk seafood, puluhan ribu untuk roti kan yah. Sesusah-susahnya pekerjaan tetap yang gajian, pasti bisa beli steak yang harganya (misal) satu juta lima ratus ribu. Kalo emang pengen banget mah, kan bisa nabung atau emang disisa-sisain dan dibelain banget demi steak idaman. Tapi kenapa banyak orang menolak untuk makan di steak yang harganya jutaan rupiah ini?

Kalo menurut screenshot di atas sih, mendingan makan nasi goreng di pinggir jalan yang harganya 12 ribu, daripada makan nasi goreng Solaria yang harganya 35 ribu. Kalo disimpulkan, berarti ini masalah harga, bukan rasa.

Tapi saya penasaran deh, kalo misalnya saya traktir nih beberapa driver Go-Food makan nasi goreng yang enak banget tapi harganya sekitar Rp 45.000,- misalnya (yang pasti bukan di Solaria lah ya), terus diminta ngomong jujur untuk milih enakan mana nasi goreng pinggir jalan atau nasi goreng yang mahal ini. Kira-kira mereka akan milih yang mana? Pasti pilih yang rasanya enak dong buat dimakan.

When it comes to taste, pasti kita pengen makan menu yang enak yang dibikin dengan bahan-bahan paling fresh. Dan kita tau, makanan kayak gini ga murah. Karena ada yang namanya riset, brand building, konsistensi rasa, marketing, bayar gaji para pegawainya, bayar lapak jualan, dan lain-lain. Makan nasi goreng emang enak, tapi kalo ada pilihan sushi, iga bakar, bebek betutu, pasta, pizza, atau steak pasti nasi goreng jadi pilihan ke sekian kan.

Beberapa dari kamu pasti pernah mengalami hal ini, misal pertama kerja gaji kamu Rp 2.500.000,- sebulan pastinya kamu juga akan makan dan hidup dengan sederhana biar gaji cukup sampai akhir bulan. Lalu di tahun mendatang kamu naik jabatan dan dapet gaji Rp 6.000.000,- sebulan. Ada waktunya di mana kamu penasaran makan makanan yang pas gaji kamu dua juta ga akan bisa kebeli. Misal kamu kepengen makan shabu-shabu all you can eat yang harganya Rp 185.000,- sekali makan per orang. Pengalaman kuliner shabu-shabu ini jadi enaaak banget dan bikin kamu ketagihan. Kamu mulai coba-coba kuliner lain yang harganya lumayan tapi konon katanya enak. Kamu yang biasanya makan padang 12ribu, sekarang penasaran nyoba makan padang di Sederhana. Dulu kamu makan mie ayam yamin udah seneng, sekarang pengen cicip mie ayam yamin di Bakmi Naga yang harganya tiga kali lipat.

Pada tahap ini, pengalaman kuliner kamu jadi makin kaya dan udah tau makanan enak tuh kayak apa. Dalam hati, kamu pasti tau kenapa yamin di Bakmi Naga harganya tiga kali lipat dari yamin pinggir jalan. Kamu tau kenapa makan sushi tuh, mahal walaupun ukurannya kecil. Pada tahap ini, kamu mulai menaikkan standar kuliner kamu. Kamu masih doyan mie ayam pinggir jalan sih, tapi kalo lagi ada duit, makan di Bakmi Naga ga apa-apa kan. Itung-itung reward setelah bekerja seharian.

Nah, dari ilustrasi ini aja mudah-mudahan pada paham kenapa kelas menengah ngehe ini sering banget membelanjakan uang yang lumayan besar cuma buat makan siang. Bukan harganya, bukan foya-foya belanjain duitnya, tapi ya emang standar kulinernya udah naik seiring bertambahnya pemasukan.

Balik lagi ke  driver Go-Food ini, kalau menurut saya mah sebenernya mereka bisa aja beli makanan yang harganya lumayan. Pekerjaan sebagai driver Go-Food nggak menutup kemungkinan buat makan di Sushi Tei atau Nasi Goreng Kebun Sirih kan? Driver Go-Food bukannya nggak bisa beli makanan itu, mereka simply ga mau beli. Alasannya? Ya as stated before, pertama karena masalah rasa yang mungkin belum familiar, yang kedua karena masih puas dengan standar kuliner yang dimiliki. And it's okay to do that. Jadi ini bukan masalah siapa kaya siapa miskin sih. Ini soal.... pengalaman kuliner.

2. Perbedaan Target Market
Saya datang dari background social media. Jadi terbiasa memegang brand komersil dengan segala brandingnya. Setiap saya pegang brand atau brief produk baru, pasti nanya dulu bagaimana si brand atau produk ini pengen dicitrakan, atau bahasa kerennya, brandingnya gimana.Saya tanya target marketnya perempuan, laki-laki, atau keduanya. Range umur dari berapa sampai berapa tahun. Target marketnya kira-kira tinggal di mana, di kota besar kah, atau malah untuk orang-orang yang menikmati hal-hal tradisional. Dan yang terpenting adalah nih produk untuk SES mana, A, B, atau C?

SES itu adalah singkatan untuk Socioeconomic Status, definisi gampangnya adalah status sosial seseorang. SES A+ dan A adalah untuk orang yang hartanya ga abis-abis, tajir banget lah pokoknya. SES C, C- atau D ke bawah untuk orang-orang yang masih struggling lah untuk makan sehari-hari. Kenapa ini penting? Karena dari SES seseorang bisa dilihat pola pikir dan habit konsumsi seseorang.

Gambar dari sini
Orang yang udah setajir Pangeran William pasti udah nggak mikir lagi harga barang-barang yang dia pake, kalo dia nemu jas dengan bahan yang dia suka dan model yang sesuai, harga berapa pun pasti diambil. Berbeda dengan yang kelas menengah ke bawah dengan SES C yang beli teh kemasan di Alfamart aja pasti cari harga paling murah, selisih harga dua ratus perak berarti banget. Malah mendingan seduh teh sendiri daripada beli teh di Alfamart :))

Produk yang punya SES A pasti beda cara marketingnya dengan produk SES C. Produk SES A dipasarkan di mana orang yang punya duit berkumpul. Contohnya dipasarkan dengan endorse ke salah satu sosialita, dipost di Instagram (karena biasanya mereka lebih main IG daripada Twitter), dan dipromosiin di acara arisan ibu-ibu pejabat. Berbeda dengan produk SES C yang cara marketingnya biasanya dengan dijual harga murah di terminal, kalo baju ya dipasarkan outdoor dengan digelar gitu aja terus si penjual teriak-teriak pake toa. Dengan tau target market dari produk yang mau kita pasarkan, kita juga tau harus dipasarkan dengan cara apa produk ini.

Kalo ada suatu produk yang namanya jarang (atau belum pernah) kita denger, terus kita merasa kayaknya nggak perlu deh beli gituan, berarti kita bukan target market si produk :))

Contohnya film Cinta Brontosaurus, saya sih tau itu yang bikin the famous Raditya Dika, saya juga ngefans sama Raditya Dika as a figure, karena menurut saya Raditya Dika itu cerdas banget dalam "jualan" karyanya. Pas film Cinta Brontosaurus keluar, saya nggak mau nonton film itu. Bukan, bukan karena filmnya jelek. Tapi karena saya sadar saya bukan target market dari film ini. Kalo dipaksa nonton, pasti jadi pengalaman yang nggak enak karena bisa aja saya ga ketawa di scene yang menurut satu bioskop lucu. Errr so awkward lah pokoknya.

Pernah dengan Namaaz Dining? Satu restoran di Jakarta yang menyediakan masakan Indonesia dalam konsep Gastronomi Molekular. Jadi misal kamu makan sate lilit, tapi bentuk makanannya adalah es potong, penyajian makanannya unik-unik banget deh. Dan yap, harga untuk sekali dining di sana nggak murah. Saya sendiri sih ngerasa gak perlu lah makan di sana. Berarti.... ya saya bukan target market mereka :)) *ngintip saldo di rekening*

Kayak es potong yang manis, padahal mah sate lilit yang gurih. Gambar diambil dari sini

Dari pemahaman ini, berarti Driver Go-Food ini emang bukan target market dari Solaria. Udah simply karena itu doang, bukan masalah keren-kerenan makan makanan mahal tiap lunch. Bukaaaaan :))

---
Menurut saya sih ya, kita-kita ini kan sama-sama kerja. Yang orang kantoran kerja dari pagi sampe sore berkutat di balik meja dengan dokumen yang kayaknya ga abis-abis, perjalanan pergi-pulang yang melelahkan, drama kantor, atau ga nyamannya harus pake heels tiap hari. Yang driver Go-Food juga tiap hari menerjang jalanan penuh polusi, panas-panasan, kadang ketemu customer yang bikin badmood. Kita semua sama-sama cari duit lah. Yang orang kantoran gak ongkang-ongkang kaki doang terus abrakadabra duitnya banyak, yang driver Go-Food juga banting tulang tiap hari demi rating tinggi dan orderan banyak. Sooooo, mendingan saling respect satu sama lain as a human. Ngomong sopan dan senyum ke orang lain kan emang harus dibiasain, bukan karena kita ketemu pejabat atau ketemu boss aja.

Menurut kalian gimana? I want to hear your opini and comment :D

-- hit me on @dinikopi

5 komentar:

  1. Saya lebih suka dengan penjelasan di poin no 2 daripada no 1. Bahwa ini masalah perbedaan target/segmen pasar. Karena itu juga, driver Go-Food yg misalnya SES C, mungkin sekali ga familiar dengan produk SES A. Karena itu, mereka heran kenapa orang2 ngabisin duit banyak untuk makan siang. Selama layanan Go-Food berlaku, akan terus ada risiko ini. Kalo dipikir, ini kan sama aja konsumen minta OB untuk beliin makanan di restoran. Bedanya, mereka dikasih duit lebih dulu baru beli, sementara driver bayar dulu pake duit sendiri, baru nanti diganti. Beda efeknya. Walopun nanti diganti, tapi karena make uang sendiri, dipake untuk membeli makanan yg menurutnya harganya mahal. Saya sendiri belum pernah pake layanan go-Food, dan karena baca postingan/screenshoot yg beredar, jadi mikir2 kalo mau pake, ga enak kalo ngerepotin drivernya. Saya lebih suka datang sendiri ke restorannya, atau pake jasa delivery dari restorannya.

    Btw untuk poin 1... saya kurang suka dengan nadanya.
    "Driver Go-Food bukannya nggak bisa beli makanan itu, mereka simply ga mau beli."
    kalo misalnya ga mau beli, karena mereka masuk golongan SES C yg struggling dalam memenuhi kebutuhan hidup (keluarga dan anak2) sehari2, apakah itu jatuhnya masih "ga mau beli"?

    BalasHapus
    Balasan
    1. aku setuju sama komen di atas.

      mungkin tulisan driver di atas terkesan justifikasi,sama juga sih dengan postingan ini. kasarnya, beda kasta. aku sih ngewajarin kalo mereka berpikiran seperti itu, mungkin kaget. "shock culture", mungkin. dia dan keluarga serta temen-temen yang dikenalnya nggak pernah seperti kakak-kakak customer, makanya bertanya-ttanya "nih orang gajinya berapa, sih?" yaa mungkin sekadar pertanyaan, apa salahnya?

      aku pikir tadinya tulisan ini akan membahas tuntas semua yang disampaikan oleh si driver, ternyata cuma separo. ya gapapa. cuma, sepemahamanku, sih, yang ditekankan oleh si driver bukan cuma "kenapa sih ada orang mau beli makanan mahal?", tapi faktor-faktor yang mengirinya;
      1. makanan itu mahal
      2. proses belinya susah; parkirnya, antrinya, nama makanannya, aksesnya,dll.
      3. sifat-sifat pembelinya; yang nggak mau nunggu, yang sukanya jutek, yang nggak ngehargai driver.

      kalo yang dibahas cuma nomor 1, yagapaa, tapi aku setuju sih sama komen di atas, mereka emang gak bisa beli. karena faktior-faktor pengiringnya tadi. *CMIIW*

      tapi btw, aku jadi tau nih istilah2 dalam target market. thanks, yaaa.

      Hapus
    2. Setuju dengan komen diatas ^^

      Memang driver go food ga bisa beli karena mereka yang harus nanggung billnya dulu, tentu mereka pilih orderan yang beli makanannya murah. Jujur aku kalo pesen makanan sampe ratusan ribu, susah dpt gojeknya dan aku maklumin ga semua abang go-jek punya duit segitu untuk bayarin makanan aku dulu.

      Malah sempat ada abang gojek yang bener2 mau nutupin poin go-jek terima orderan go-food tapi ga ada uang, trs dia bela-belain kerumah ku dulu ambil uang baru beli makanannya.

      kalo costumer mau order makanan mahal dan dibeli, pembayarannya ya lewat GO-PAY aja jadi ga mesti pake duit abangnya dulu ^^

      Hapus
    3. Nice point kak, tapi jangan "kapok" pake Go-Food kak. Dengan kita pake servicenya kan kita juga bantuin mereka tho :)

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Itu sih kata @dinikopi, menurut kamu?